News

Krisis Minyak Goreng di Negara Produsen Kelapa Sawit Terbesar Dunia

Pada pertengahan Maret 2022, Izawati Dewi, ibu satu anak, mulai mengantre pada pagi hari sekitar pukul 04.00 WIB di warung tak jauh dari rumahnya di sebuah kota di Jawa Tengah untuk membeli minyak goreng. Pada saat warung dibuka, antrean telah mengular sepanjang 2 kilometer. Izawati cukup beruntung untuk ‘mengamankan’ minyak goreng yang berhasil ia beli.

Kelangkaan minyak goreng terjadi secara nasional. Di Kalimantan Timur, yang memproduksi hampir dua perlima minyak sawit Indonesia, setidaknya dua ibu rumah tangga sepanjang Maret lalu saat tengah mengantre untuk membeli minyak goreng.

Sebelumnya pada Februari, Pemerintah Indonesia membatasi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada Rp14.000 per liter untuk minyak berkualitas tinggi, dan Rp11.500 untuk jenis yang lebih murah. Namun, minyak goreng tampak ‘menghilang’ dari pasaran. Bagi mayoritas rakyat Indonesia, minyak goreng impor merupakan barang mewah yang tak terjangkau.

Pada 16 Maret, saat HET dicabut, secara ‘ajaib’ stok minyak goreng kembali melimpah. Namun dalam prosesnya, harga naik lebih dari tiga kali lipat!

Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman, yang memantau harga minyak goreng di 274 pasar di Indonesia, menyalahkan kenaikan harga pada sejumlah faktor termasuk perang di Ukraina dan pandemi COVID-19. Pada Februari, harga minyak sawit mentah (CPO) telah melonjak 40 persen YoY

Berharap untuk menekan harga eceran komoditas penting, Pemerintah Indonesia pada Januari memberlakukan kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) 20 persen untuk semua produsen, yaitu bagian output yang harus mereka tawarkan di pasar lokal sebelum mengekspor. Pada awal Maret, DMO ini dinaikkan menjadi 30 persen. Kemudian, setelah pemasok menolak dengan keras, seminggu kemudian Pemerintah Indonesia menghapus DMO, dengan mengenakan pungutan ekspor CPO yang lebih tinggi.

Minyak goreng di bawah skema DMO awal dijual dengan harga tetap, yang menurut produsen menyulitkan untuk menutupi biaya bahan. Yeka mengatakan itu adalah ‘perbedaan besar antara harga CPO dan DMO yang menyebabkan panic buying dan terjadi penimbunan’.

Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia, mendesak pemerintah harus mengejar oligarki industri yang sering menimbun pasokan.

Eddy Hartono dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan DMO awal 20 persen dengan mudah melebihi permintaan lokal, dan minyak hilang di suatu tempat dalam rantai distribusi. Memang, pada pertengahan Maret, ditemukan jutaan ton minyak goreng ditimbun oleh konglomerat. Pihak kejaksaan, yang menyelidiki kelangkaan minyak goreng, mengatakan mereka tengah melakukan investigasi terkait peran kartel.

Mantan Presiden Megawati Sukarnoputri sempat mengusulkan untuk melakukan reformasi kuliner. Ia berkata, “Selian menggoreng, apakah tidak ada cara lainnya, seperti merebus atau mengukus? Ini menu Indonesia juga lho. Mengapa begitu rumit?”

Sejumlah masyarakat tidak menerima ucapan Megawati dengan baik. Bahkan ada seorang warganet yang kemudian menanggapinya dengan video krupuk udang rebus dan tempe kukus. Sedangkan yang lain memposting foto bakwan kukus dengan tulisan ‘Apakah ini masa depan?’ Itu tidak terlihat enak.

(sumber: The Economist)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ikhsan Suryakusumah

Emancipate yourselves from mental slavery, none but ourselves can free our minds...
Back to top button