Korban dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), SA (27), melaporkan nasibnya yang tersandera di Myanmar ke Bareskrim Polri.
SA jadi korban TPPO setelah sebelumnya dijanjikan pekerjaan dengan gaji Rp150 juta. Namun setelah pergi, korban malah disiksa dan disekap di Myanmar, serta dimintai tebusan.
Perwakilan keluarga SA, Yohanna Apriliani, mengatakan, laporan dumas itu menindaklanjuti arahan dari Satgas TPPO Bareskrim.
“Kita sudah bercerita banyak tentang kasus SA kepada Satgas TPPO, lalu kita diarahkan lagi untuk mengajukan dumas sekaligus melampirkan berkas bukti-bukti lainnya,” kata Yohanna ketika ditemui di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (12/8/2024).
Bukti-bukti yang dibawa antara lain adalah bukti percakapan korban SA dengan R, sosok yang mengajak korban ke Myanmar. Ada juga laporan keluarga korban ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan BP2MI, serta rekaman suara.
Yohanna yang merupakan sepupu SA bercerita bahwa pada mulanya korban ditawarkan pekerjaan di Thailand oleh R yang merupakan teman dekatnya. R menawari pekerjaan kepada korban ketika sudah berada di Thailand.
“R mengabarkan SA bahwa bosnya sedang mencari tenaga kerja dan R disuruh mencari 10 orang untuk satu tim,” kata dia.
Karena teman dekat, korban tak curiga dan berangkat ke Thailand pada 11 Juli 2024. Empat hari di Thailand, komunikasi SA dengan keluarga masih lancar.
Namun setelahnya jadi masalah saat R memberangkatkan SA dengan tujuan Mae Sot, Thailand. Korban dan R berpisah di suatu terminal lantaran R masih harus mencari anggota tim baru lainnya. Korban SA ternyata dibawa ke Myanmar dan ke lokasi kerja yang tidak sesuai ekspektasi.”SA bilang perusahaan yang dituju itu jorok, kotor, kumuh, dan tidak seperti kantor-kantor sama sekali. Kata dia, lebih seperti rumah susun,” ucap Yohanna.
Kemudian, SA kehilangan kontak dengan R. Selama tinggal di Myanmar, SA disekap dan dimintai tebusan sebesar 30 ribu dolar AS atau sekitar Rp478 juta.”Selama uang itu belum masuk, SA menelepon ke kita bahwa dia selalu disiksa sama orang sana. Tidak dikasih makan. Minum pun harus menunggu air hujan,” ujarnya.
Lantaran keluarga tidak bisa membayar, pelaku memaksa meminta 30 persen bagian dari jumlah yang semula diajukan. Apabila tidak bisa dipenuhi dalam waktu empat hari, pelaku mengancam akan mengamputasi kaki SA.
Karena ketiadaan biaya, pihak keluarga pun meminta bantuan kepada pemerintah dan kepolisian untuk membantu membebaskan SA.”Harapannya pastinya ingin ada pergerakan dari kepolisian Indonesia untuk kebebasan ataupun kepulangan SA karena kalau dari keluarga untuk bayar uang tebusan sebesar ratusan juta, kami benar-benar tidak mampu,” ucapnya.
Sementara itu, Kemlu RI menyatakan bahwa telah berkoordinasi dengan otoritas Myanmar terkait dugaan penyekapan SA.”Masih koordinasi dengan otoritas Myanmar, wilayahnya daerah konflik sehingga prosesnya kompleks,” kata Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Rina Komaria.