KabarRamadan

Kuasa Jadikan Sultan Lupakan Ulama

“Sultan, pasukan musuh kian mendekati wilayah kita!” lapor seorang pejabat ketika mengabarkan gerak maju pasukan musuh, yang kian berani memasuki wilayah Dinasti Mamluk, kepada penguasa ke-4 Dinasti Mamluk di Mesir dan Suriah, Sultan Al-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari Al-Shalihi. Kala itu, sang penguasa sedang berada di Damaskus, Suriah.

Mendengar laporan itu, Sultan pun termangu dan masygul. Selepas merenung, Sultan akhirnya menyadari bahwa tidaklah mudah untuk menghadang gerak maju pasukan musuh, Sang Sultan pun mengundang para ulama ke istana di Damaskus. Sang Sultan mengharapkan, kiranya para ulama berkenan menggunakan seluruh pengaruhnya terhadap masyarakat luas untuk mendanai Sultan dalam usahanya menghadang gerak maju pasukan musuh menuju Damaskus.

Menerima permintaan demikian, para ulama menyepakati langkah Sultan, selain seorang ulama, Mubyiddin Al-Nawawi*. “Tidak boleh!” tolaknya.

“Mengapa Tuan Guru tidak membolehkan kami menghimpun harta kaum Muslim untuk kami gunakan berjuang di jalan Allah sebagaimana yang difatwakan para ulama yang lain?” sergah Sultan penasaran.

“Sultan. Dahulu, engkau adalah seorang budak belian. Kini, engkau adalah seorang sultan. Engkau memiliki tidak kurang dari 1.000 budak. Setiap budak engkau lengkapi dengan pelbagai pakaian kebesaran, untuk kemegahanmu, penuh bertabur emas. Engkau juga mempunyai 100 dayang. Sekujur badan mereka penuh pula dengan hiasan emas dan permata. Jika engkau bersedia menanggalkan pakaian emas 1.000 budak dan 100 dayang, menggantinya dengan baju biasa selama perang ini, saya akan mendayagunakan pengaruh saya kepada rakyat agar mereka bersedia berkorban!”

Mendengar ucapan ulama dengan kepribadian yang penuh integritas itu, Sultan penyuka olahraga polo itu pun murka dan mengusir sang ulama dari Damaskus, “Keluar kau dari kota ini! Aku tidak ingin kau tinggal di sini!”

“Sultan! Siapa pula yang menginginkan aku berada di satu tempat bersamamu. Aku akan pergi dari kota ini!”

Mendengar sergahan penuh wibawa, sultan yang sebelumnya terkenal sebagai panglima yang piawai memimpin pasukan di medan pertempuran itu pun menundukkan kepala beberapa saat. Tidak lama kemudian, dia menarik kembali ucapan sebelumnya karena merasa khawatir termaktub sebagai penguasa yang berperangai buruk. Dia kemudian berucap pelan dan santun, “Tuan Guru, untuk apa Tuan Guru keluar dari negeri ini? Kuizinkan Tuan Guru tinggal di sini.”

Namun, nasi telah menjadi bubur. Selepas pertemuan tersebut, Muhyiddin Al-Nawawi memilih kembali ke desa kelahirannya, Nawa, dan menetap di sana hingga berpulang pada Rabu malam, 24 Rajab 676 H/22 Desember 1277 M pada usia sekitar 45 tahun.

Sultan Al-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari Al-Shalihi pun hanya kuasa menyesali sikapnya yang emosional dan tidak terkendali.

Sultan AL-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari Al-Shalihi lahir pada 620 H/1223 M. Dia berasal dari Kipchak, Kaukasys wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki. Kala masih kecil, dia dijual dengan harga murah bersama para budak dan direkrut Al-Malik Al-Shalih (karena itu mendapat sebutan Al-Shalihi) dari Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, untuk diberi pendidikan militer dan dijadikan sebagai pengawal sultan. Mereka diberi kedudukan tinggi, tetapi kemudian memberontak dan mendirikan Dinasti Mamluk.

Sang mamluk ini menjadi salah seorang saksi tegaknya Dinasti Mamluk pertama, atau Dinasti Mamluk Bahriyyah. Kala Al-Malik Al-Muzhaffar Quthuz berkuasa, dia diangkat sebagai atabeg para serdadu. Namanya mulai berpendar dalam Perang Salib karena berhasil menangkap Raja Louis IX dari Prancis.

Selain itu, dia ikut bertanggung jawab dalam peristiwa terbunuhnya Turan Syah, seorang penguasa dari Dinasti Ayyubiyyah. Namanya kian harum kala berhasil mengadang gerak maju pasukan Mongol dalam Pertempuran ‘Ain Jalut yang terjadi pada Jumat, 25 Ramadhan 658 H/2 September 1260 M. Kala Quthuz tewas, Baibars terpilih sebagai penggantinya pada tahun yang sama. [ ]

Keterangan:
*Seorang ulama kondang yang terkenal dengan karya besarnya,”Riyadh Al-Shalihin”, dan gaya hidup yang sangat keras terhadap diri sendiri. Dia bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jum‘ah Al-Nawawi Al-Syafi‘i. Dia lahir pada Ahad, 10 Muharram 631 4/16 Oktober 1233 M di Nawa, Jawlan di selatan Damaskus, Suriah.

Pada 649 H/1251 M, selepas memperdalam berbagai ilmu keislaman, Al-Nawawi muda pun menapakkan kakinya menuju Kota Damaskus. Di kota ini, karena keluasan ilmu dan wawasannya, dia diangkat sebagai staf pengajar Perguruan Dar Al-Hadis Al-Asyrafiyyah. Selain itu, dia juga mencurahkan perhatiannya terhadap dunia tulis-menulis sehingga lahir sederet karya-karya tulisnya, antara lain “Raudhah Al-Thalibin”, Al-Minhaj, Daqa’iq Al-Minhaj, Al-Manasik Al- Sughra, Al-lsyarat li Bayan Asma’ Al-Mubhimat, Al-Tibyan, Al-Fatawa, Syarh Muslim, Al-Arba‘un Hadisan, dan “Riyadh Al-Shalihin”.

Sumber : Islamic Golden Stories

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button