News

KUHP Teror Ruang Ekspresi

Keresahan publik merespons pengesahan Rancangan KUHP (RKUHP) terus ditunjukkan. Argumentasinya, tak sedikit pasal yang bisa dijadikan alat oleh pemerintah memberangus kebebasan berpendapat. KUHP baru seolah menjadi senjata legal pemerintah meneror ruang dan membatasi warga untuk berekspresi.

Aktivis HAM Asfinawati yakin betul RKUHP yang sudah disahkan menjadi undang-undang (UU) terhitung sejak palu dalam sidang paripurna DPR diketuk pada Selasa (6/12/2022), mengembalikan Indonesia pada era otoritarian. Ruang ekspresi menyempit, akademisi kritis dibungkam, pers pun diberangus. Alasannya, terdapat muatan pasal yang dianggap bertentangan dengan UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sebetulnya masalah dalam KUHP adalah banyak pasal-pasal yangg multitafsir,” kata Asfin, dalam diskusi bertajuk “Penyempitan Ruang Sipil dan Upaya Membangun Partisipasi yang Bermakna” di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Dia menyoroti pemberlakuan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden di muka umum yang diatur dalam Pasal 218 ayat 1 KUHP. Pasal tersebut dianggap wujud dari pembungkaman warga untuk mengeritik kepala negara dan wakilnya. Apalagi tidak dijelaskan secara rigid definisi penghinaan di muka umum tersebut, kendati deliknya tak lagi umum tetapi delik aduan.

A9fad998 7148 444a 961d A12cc7a423f6 - inilah.com
Aliansi Masyarakat Sipil menolak pengesahan Rancangan KUHP karena mengakomodasi pasal-pasal kontroversial. (Ilustrasi: Inilah.com/Haviez Ali)

Terdapat pula Pasal 240 dan 241 yang mengatur pidana terhadap penghinaan pada pemerintah dan lembaga negara. Belum lagi ketentuan dalam Pasal 256 KUHP yang mengharuskan demonstrasi dilakukan atas izin polisi yang menandakan ruang ekspresi warga dipersempit seiring dengan adanya pasal-pasal yang membungkam warga untuk mengeritik.

Asfin mengingatkan UU No 9/1998 yang diundangkan pasca-reformasi tidak lahir tiba-tiba, kebebasan berpendapat menjadi undang-undang merupakan simbol perlawanan terhadap orde baru yang otoritarian. Artinya terdapat makna penting dari lahirnya UU tersebut yang kini tak lagi bermakna lantaran KUHP baru.

Dia meyakini warga banyak mengeluhkan lahirnya KUHP baru namun tak berani bersuara lantaran sudah terteror lebih dulu akan sanksi pidana. “Jadi bukan publik tidak sadar akan haknya tapi ruang tadi itu sengaja dikecilkan, ditakut-takuti sehingga membuat mereka lemah,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) Kunto Adi Wibowo menyinggung, pemerintah sudah serupa dengan China karena memberlakukan demokrasi semu kepada warganya, keran demokrasi seolah dibuka namun terdapat batasan ketat untuk menyampaikan pendapat sekalipun dalam ruang digital.

Warga China, kata Kunto, diperkenankan menyampaikan kritik kepada pemerintah lokal tetapi jangan harap kritik disampaikan kepada pemerintah komunis di pusat. Di Indonesia, gelagat tersebut terlihat berdasarkan hasil penelitian atau monitoring Kedai Kopi dalam platform Twitter. Warga boleh memberi kritik terhadap kebijakan pemerintah seperti tingginya harga tiket masuk Pulau Komodo, namun untuk hal-hal yang substantif seperti RKUHP, Omnibus Law Cipta Kerja yang tagarnya ramai dan diperbincangkan hingga jutaan netizen, tidak diakomodasi karena berkaitan dengan kebijakan prioritas pemerintah.

“Ini menunjukkan bagaimana kecenderungan pemerintah atau penguasa hari ini untuk menyusutkan ruang sipil,” tandas Kunto.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button