“La Trahison des Législateurs”, Saat DPR Bersikap Lancung dan Khianat pada Rakyat

Dorongan sikap (anggota) DPR RI untuk–masih saja–merevisi UU Pilkada di akhir-akhir jabatan yang tak pernah diisi laku legislasi membanggakan, jelas menunjukkan sikap lancung dan khianat itu. Sementara selama lima tahun ini, banyak kalangan publik yang melihat DPR RI pun tak lebih dari tukang stempel kebijakan eksekutif belaka.  

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Dalam sistem demokrasi perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya menjadi corong utama bagi suara rakyat. Namun, belakangan ini kita menyaksikan semakin jauhnya sikap para anggota DPR RI dari aspirasi masyarakat yang mereka wakili. 

Contoh-contoh nyata, seperti pengesahan Omnibus Law yang mengabaikan kritik publik dan disahkannya UU IKN tanpa kajian mendalam yang transparan,  menunjukkan betapa mekanisme representasi ini justru sering kali melenceng dari harapan rakyat.

Keadaan ini semakin layak disorot dengan adanya rencana revisi UU Pilkada setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membuka ruang bagi proses Pilkada yang lebih demokratis. Benar, Kamis (22/8) kemarin DPR RI mengambil sikap membatalkan Revisi UU Pilkada yang telah mereka utak-atik seiring putusan MK  hanya berselang hari sebelumnya. 

Tetapi jelas, sikap (para anggota) DPR itu sikap yang lancung dan khianat. Sikap yang memperlihatkan bagaimana mereka lebih sering mempertahankan status quo daripada melindungi hak-hak politik rakyat. Maka, wajar jika muncul pertanyaan: apa yang bisa kita harapkan dari lembaga perwakilan seperti ini untuk lima tahun ke depan? Apalagi kita tahu, banyak di antara anggota DPR RI saat ini yang terpilih Kembali via Pileg 2024 untuk Kembali ‘manggung’ di Senayan lima tahun ke depan. Artinya, seolah para anggota DPR RI yang masih berkantor di Senayan itu mengikuti sikap dan polah eksekutif, yang dalam banyak sisi—apalagi politik, hukum dan demokrasi–tergolong suúl khatimah alias buruk hingga akhir. 

Dorongan sikap DPR RI untuk–masih saja–merevisi UU Pilkada di akhir-akhir jabatan yang tak pernah diisi laku legislasi membanggakan, jelas menunjukkan sikap lancung dan khianat itu. Sementara selama lima tahun ini, banyak kalangan public yang melihat DPR RI tak lebih dari tukang stempel kebijakan eksekutif belaka.  

Dalam kasus revisi UU Pilkada, jelas publik menginginkan proses yang lebih terbuka dan demokratis. Kecenderungan ini mengindikasikan bahwa siklus lima tahunan kekuasaan mungkin hanya mengulangi pola lama—wakil rakyat yang lebih sering memprioritaskan kepentingan elit dibandingkan kepentingan rakyat.

 

“La Trahison des Législateurs”

Dalam kajian filsafat politik, pengkhianatan oleh lembaga perwakilan terhadap rakyat yang mereka wakili bukanlah fenomena baru. Teori tentang elitisme, seperti yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto, menyoroti bagaimana dalam setiap masyarakat, segelintir elit cenderung mendominasi kekuasaan, sering kali dengan cara yang mengkhianati kepentingan mayoritas. Sikap lancung DPR kita dapat dipahami dalam kerangka ini—sebuah fenomena di mana mereka yang terpilih melalui mekanisme demokrasi justru memperkuat kepentingan elit kekuasaan.

Jika intelektual Prancis, Julien Benda menyatakan La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual) untuk kalangan intelektual lancung yang menggadaikan idealismenya demi “butunisme” (paham asal perut dan bawah perut gua kenyang), maka para anggota DPR yang lancung layak disemati sebutan “La Trahison des Législateurs”. Istilah ini menggabungkan kata “trahison” (pengkhianatan) dan “législateurs” (para legislator atau anggota legislatif), yang menggambarkan bagaimana mereka mengkhianati peran dan mandat yang seharusnya mereka emban untuk rakyat.

Benar, fenomena anggota parlemen yang berkhianat terhadap rakyat yang mereka wakili itu bukanlah hal baru. Gaetano Mosca dalam bukunya The Ruling Class (1896) dan Vilfredo Pareto dalam The Mind and Society (1916), mengemukakan teori elitisme, yang menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat, kekuasaan pada akhirnya dikuasai oleh sekelompok elit kecil. 

Ketika elit ini berkuasa, kepentingan mereka cenderung berlawanan dengan kepentingan mayoritas. Dengan kata lain, para wakil rakyat yang seharusnya membawa aspirasi publik justru sering kali menjadi bagian dari elit yang melanggengkan kekuasaan mereka sendiri.

Pemikir modern seperti Francis Fukuyama dalam bukunya “Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity”, juga menyoroti pentingnya kepercayaan sosial dalam membangun kohesi masyarakat dan stabilitas politik. Ketika lembaga-lembaga perwakilan kehilangan kepercayaan publik karena dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, ancaman terhadap stabilitas sosial dan politik menjadi semakin nyata.

 

Itu yang selama ini terjadi dalam politik kita. Omnibus Law Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana legislasi disusun dengan terburu-buru dan minim partisipasi publik. Terlepas dari berbagai aksi protes dan kritik dari masyarakat sipil, DPR tetap mengesahkannya dengan alasan mendorong investasi. Hal yang sama terjadi pada UU IKN yang disahkan dengan pro dan kontra tanpa kajian komprehensif. Sikap ini menggambarkan bagaimana aspirasi rakyat sering kali terpinggirkan oleh agenda politik dan ekonomi elit.

 

Nasib “Trust”: ancaman disintegrasi sosial

Krisis kepercayaan ini bukan hanya soal ketidakpuasan, tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap stabilitas sosial. Menurut Fukuyama, trust atau kepercayaan adalah modal sosial yang penting dalam menjaga kohesi dan solidaritas dalam masyarakat. Ketika kepercayaan ini terkikis oleh perilaku lancung para wakil rakyat, masyarakat dapat semakin terpecah, memunculkan kecenderungan terhadap anarkisme dan gerakan-gerakan radikal.

Situasi ini mengingatkan kita pada analisis klasik dari filsuf seperti John Locke yang menekankan pentingnya ‘consent of the governed’. Ketika rakyat merasa tidak lagi diwakili oleh pemerintah, legitimasi kekuasaan menjadi terancam dan ruang bagi aksi-aksi protes yang lebih radikal terbuka lebar.

Dalam konteks Indonesia, fenomena distrust ini bisa memicu dua reaksi ekstrem: apatisme atau anarkisme. Apatisme terjadi ketika rakyat merasa suara mereka tidak lagi berharga dan memilih untuk tidak terlibat dalam proses politik. Sebaliknya, anarkisme muncul ketika kelompok-kelompok tertentu merasa perlu menggunakan cara-cara di luar sistem untuk mengadvokasi kepentingan mereka.

Teori anarkisme yang dikemukakan oleh tokoh seperti Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin memberikan kerangka untuk memahami bagaimana hilangnya trust terhadap sistem bisa memicu gerakan yang menolak otoritas negara. Jika DPR terus menunjukkan sikap yang berlawanan dengan aspirasi rakyat, skenario seperti ini bukan tidak mungkin terjadi, terutama di kalangan anak muda yang semakin frustrasi dengan keadaan politik.

Dalam soal khianat anggota legislative dan konsekuensinya ini, Sejarah dipenuhi Pelajaran untuk menjadi ibrah. Salah satu contoh historis paling jelas tentang pengkhianatan anggota parlemen adalah Revolusi Glorious di Inggris pada 1688. Saat itu, Parlemen Inggris didominasi oleh kelompok elit yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan menindas rakyat. Akibatnya, rakyat bersekutu dengan William of Orange untuk menggulingkan monarki dan parlemen korup tersebut, yang membuka jalan bagi reformasi besar dalam sistem politik Inggris.

Di Prancis, revolusi tahun 1789 meletus akibat ketidakpuasan luas terhadap anggota parlemen dan bangsawan yang lebih peduli pada kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan rakyat. Akibatnya, tidak hanya sistem monarki yang tumbang, tetapi banyak anggota parlemen yang akhirnya dieksekusi di bawah guillotine.

Di AS, contoh yang sering dibahas adalah kasus Vietnam pada era 1960-an hingga 1970-an. Kongres AS, meskipun berulang kali mendapat peringatan dari rakyat melalui protes anti-perang, terus mendukung kebijakan perang yang tidak populer. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap Kongres dan lembaga pemerintah anjlok, memicu krisis politik dan sosial yang meluas. Fenomena ini mendorong lahirnya gelombang anarkisme di kalangan anak muda, yang merasa sistem politik yang ada tidak lagi bisa diandalkan.

Ah, mengapa jauh-jauh memandang ke negeri orang. Di Indonesia, contoh paling terkenal adalah peristiwa 1998, di mana DPR pada saat itu tetap mendukung kepemimpinan Orde Baru yang sudah sangat tidak disukai rakyat. Ketika aksi-aksi mahasiswa dan rakyat menuntut reformasi, banyak anggota DPR yang awalnya bungkam atau malah mendukung status quo. Akibatnya, tekanan dari bawah meledak dalam bentuk protes masif dan akhirnya memaksa perubahan besar di tatanan politik Indonesia.

 

Masih adakah harapan? 

Budayawan Cina, Lu Xun, boleh bilang bahwa rakyat tak boleh kehilangan harapan. Kata dia, harapan itu seperti jalan setapak di pedalaman. Pada awalnya tak ada jalan setapak semacam itu, namun sesudah banyak orang berjalan di atasnya, terciptalah jalan itu. Artinya, harapan sejatinya juga konstanta alias gabungan keinginan, hope, dari banyak warga. 

Namun dengan kondisi politik yang semakin terpolarisasi dan kepercayaan terhadap DPR yang terus menurun, kita perlu mempertanyakan nasib demokrasi representatif lima tahun ke depan. 

Apakah masih ada harapan untuk reformasi? Atau, kita justru akan terjebak dalam siklus pengkhianatan politik oleh para wakil rakyat? Untuk mencegah disintegrasi lebih lanjut, perlu adanya pembaruan dalam sistem perwakilan yang lebih akuntabel dan partisipatif, baik melalui revisi undang-undang maupun mendorong kesadaran politik di kalangan masyarakat.

Nasib trust lima tahun ke depan akan sangat ditentukan oleh apakah DPR bersedia merefleksikan diri dan mengubah cara mereka berpolitik. Jika tidak, masyarakat mungkin akan mencari jalan lain untuk menyuarakan aspirasi mereka—entah melalui jalur radikal, aksi massa, atau bahkan dengan sepenuhnya meninggalkan kepercayaan pada sistem demokrasi representatif yang ada. [ ]