Kanal

“Labora et Loqui” untuk Menko Airlangga

Padahal, kata pakar komunikasi politik Emrus Sihombing, dari sekian banyak tokoh yang disebut-sebut atau minta disebut sebagai calon presiden, hanya Airlangga yang menurutnya mengusung isu riil, yakni ekonomi bangsa. Itu, menurut Emrus, dilakukan sejak awal, sebagai proses yang alamiah seiring keberadaan Airlangga sebagai menteri koordinator perekonomian.  

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Meski tidak sepenuhnya cocok, peribahasa “kerbau punya susu, sapi punya nama” barangkali sedikit teralami oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Paling tidak, sederet kinerja nyata yang ia pahatkan di bidang perekonomian tidak lantas membuat namanya terkerek tinggi. Popularitas –-lebih lagi  elektabilitas—Airlangga bahkan cenderung di bawah nama-nama yang kinerja dan peran mereka untuk masyarakat kadang wajar diragukan.

Padahal, kata pakar komunikasi politik Emrus Sihombing, dari sekian banyak tokoh yang disebut-sebut atau minta disebut sebagai calon presiden, hanya Airlangga yang menurutnya mengusung isu riil, yakni ekonomi bangsa. Itu, menurut Emrus, dilakukan sejak awal, sebagai proses yang alamiah seiring keberadaan Airlangga sebagai menteri koordinator perekonomian.

“Secara substansial, isu yang paling penting itu isu ekonomi, karena menyangkut kesejahteraan,”kata Emrus kepada wartawan, Rabu (14/12) lalu. Namun yang agak ganjil, dalam politik Indonesia saat ini justru hal penting itu terlupakan, baik oleh calon maupun publik. “Terus terang saya mengatakan semua kandidat yang ada di Indonesia, kecuali Airlangga Hartarto, belum ada yang mengedepankan isu ekonomi,”kata dia, menegaskan.

Ia menduga, masih stagnannya elektabilitas Airlangga itu disebabkan sang tokoh terlalu sibuk bekerja, sehingga cenderung lupa berkomunikasi dengan publik. “Ada kelemahan beliau ini yaitu selalu bekerja. Padahal sekarang yang seharusnya (dilakukan) itu bekerja dan berkomunikasi, agar diketahui publik,”kata Emrus. Pengajar Universitas Pelita Harapan itu menyarankan agar Airlangga dan tim segera membentuk tim komunikasi politik dan tim komunikasi pemasaran politik yang kuat dan bekerja efektif.

Soal pentingnya kepedulian akan isu ekonomi tersebut, Emrus benar. Sementara pandemi COVID-19 belum lagi sepenuhnya melepaskan hunjaman taringnya dari kehidupan kita, perekonomian dunia pun masih ketat dibayang-bayangi ancaman resesi.  Sisa-sisa krisis tahun ini masih akan membawa akibat pada perekonomian dunia tahun depan, yang terpangkas tajam dari harapan. Sedianya pada 2023 ekonomi dunia berharap bisa berjalan pada rentang pertumbuhan 2,9 persen hingga 3,3 persen, semua awan hitam itu membuat para pakar hanya bisa berharap pertumbuhan berjalan pada 2,2 persen hingga 2,7 persen.

Ditambah dengan aneka tantangan berupa lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial, menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm. Wajar bila 2023 penuh dengan bayangan ancaman resesi global.

Perlemahan ekonomi global itu juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI) global, yang pada bulan November berada di level kontraksi 48,8, setelah bulan sebelumnya tercatat pada 49,9. Sementara di bulan yang sama, sejumlah negara pun mengalami kontraksi PMI, seperti di Cina (49,4), Inggris (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2), akibat penurunan kinerja manufaktur secara global. Sementara pada sisi kinerja manufaktur, Indonesia masih menunjukkan tingkat ekspansi, yakni pada angka 50,3. Di ASEAN, tiga negara telah tercatat berada pada level kontraksi, yakni Malaysia (47,9), Vietnam (47,4) dan Myanmar (44,6).

Sukar untuk menafikan kinerja yang baik itu tak lepas dari rasa lelah, keringat dam pengorbanan waktu Menko Perekonomian serta seluruh jajaran dan mitra kerjanya lintas sektor, dari atas hingga ke bawah.  Semua itu bukan hasil sulapan “sim salabim abdrakadabra”, tentu. Paling tidak, menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, selama masa-masa kritis bergolaknya pandemi, bisa dibilang Airlangga banyak mengurangi waktu tidur. “(Saat itu) saya tak pernah tahu (bagaimana) Pak Airlangga tidur, karena rapatnya itu terus, sambung-menyambung menjadi satu,” kata Sri Mulyani, pada sebuah posting di akun TikTok @cloudtech22. Kepedulian dan konsistensi kerja Airlangga dan semua mitra kerjanya itu, menurut dia, berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia kemudian.

“Pertumbuhan kita tinggi, menunjukkan pemulihan ekonomi yang lebih baik dari negara lain. Bahkan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara maju di G20,” kata Menkeu, dalam konferensi “APBN Kita”, akhir November lalu. Selama empat kuartal berturutan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas lima persen, alias sudah 6,6 persen di atas level pra-pandemi. Angka 6,6 persen yang dimaksud Sri Mulyani itu merupakan level PDB Riil secara kumulatif, sejak kuartal I hingga kuartal III tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2022 memang pada Kuartal I-2022 tumbuh 5 persen (year on year/yoy), meningkat menjadi 5,4 persen (yoy) pada Kuartal II-2022, dan naik lagi menjadi 5,7 persen (yoy) pada Kuartal III.

Mengendornya ancaman COVID tidak membuat semangat dan kinerja Airlangga cs ikut merosot. Kurang dari sebulan dari usainya  perhelatan dunia G20 di Bali, November lalu, Airlangga segera terbang ke Bruseel, Belgia, menindaklanjuti kerja sama Infrastruktur Global Energi Terbarukan dan Berkelanjutan yang sebelumnya telah disepakati. Di sela-sela pertemuan Bali, para negara maju dalam platform Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) berkomitmen untuk memberikan dana hibah dan pinjaman sebesar 600 miliar dollar AS. Dana itu ditujukan untuk digunakan negara berkembang dan negara miskin hingga lima tahun ke depan untuk pengembangan infrastruktur.

Di dalam framework PGII juga terdapat kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP), kerja sama internasional guna mengurangi emisi gas buang. Ada dana komitmen negara-negara maju melalui G7 untuk skema JETP sebesar 20 miliar dollar AS.

“Pemerintah Indonesia saat ini dalam tahap persiapan untuk implementasi kesepakatan JETP dengan pemangku kepentingan terkait, ujar Menko Perekonomian, Airlangga, saat bertemu Komisioner Uni Eropa untuk Kerja Sama Internasional, Jutta Urpilainen.

Bukan hanya di sekali dua kesempatan publik melihat Menko Airlangga sigap menjemput bola. Akhir Agustus tahun ini, Menko terlibat aktif menghidupkan aliansi perdagangan terbesar di dunia, Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP. Perjanjian perdagangan bebas regional yang meliputi 10 negara ASEAN dan lima negara mitra FTA: Republik Rakyat Cina, Jepang, Republik Korea, Australia, dan Selandia Baru, itu bukan aliansi ekonomi ecek-ecek.

Paling tidak, RCEP mencakup sekitar 27 persen dari perdagangan dunia, 29 persen dari Produk Domestik Bruto dunia, 30 persen dari populasi dunia, serta 29 persen dari foreign direct investment dunia. RCEP sejatinya dapat menjadi kesempatan Indonesia untuk meningkatkan integrasinya dalam rantai pasok global, terutama di kawasan. “Negara-negara yang tergabung dalam Persetujuan RCEP sendiri merupakan negara-negara mitra utama Indonesia dalam perdagangan dan investasi,”kata Airlangga saat itu.

Lebih detil, RCEP mencakup setidaknya 60 persen dari total ekspor senilai 132,6 miliar dollar AS ; 71 persen dari total impor senilai 130,6 miliar dollar AS ; serta 47 persen dari total investasi asing senilai 18,82 miliar AS pada tahun 2021.

Apa dampaknya bagi perekonomian Indonesia ke depan? Dalam prediksi, persetujuan RCEP tersebut diperkirakan akan meningkatkan PDB Nasional sebesar 0,07 peren di tahun 2040, dengan kenaikan ekspor mencapai 5,01 miliar dollar AS per tahun. Dengan semua itu, diperkirakan pula surplus perdagangan Indonesia pun akan ikut mengalami kenaikan menjadi 979,3 juta dollar AS, atau 2,5 kali lipat daripada jika Indonesia enggan bergabung dalam RCEP.

Tapi mungkin ada baiknya Airlangga mulai mendengarkan saran para ahli komunikasi politik. Jangan juga mengurangi kerja, tentu. Tapi mulailah pula, seperti kata Emrus, berkomunikasi lebih banyak dengan publik. Jadi, tak hanya tentu harus ber-“Ora et labora”, Airlangga pun harus mulai gencar ber-“Labora et loqui.” [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button