Kanal

Lagi Pejabat Ditangkap KPK, Kaya Tapi Kok Rakus Korupsi?

Belakangan ini, makin banyak saja pejabat tertangkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Dari kalangan menteri, bupati, hingga lembaga sosial masih berupaya memperkaya diri dengan korupsi. Padahal seharusnya dengan harta dan pendapatannya, mereka sudah sangat cukup untuk hidup layak. Mengapa orang-orang seperti ini masih rakus korupsi?

Berita terakhir ini yang tertangkap KPK adalah Bupati Pemalang, Jawa Tengah, Mukti Agung Wibowo beserta lima orang lainnya dan menjadi tersangka jual beli jabatan. Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan uang tunai Rp136 juta, rekening Bank Mandiri atas nama AJW berisi sekitar Rp4 miliar, dan setoran uang atas nama AJW sebesar Rp400 juta. Setidaknya 34 orang diamankan dalam kasus ini kebanyakan pejabat di lingkungan Pemkab Pemalang.

Belum berselang lama, Bupati Bogor Ade Yasin juga tertangkap lembaga antirasuah ini. Tak hanya bupati, beberapa pejabat setingkat menteri juga pernah dicokok KPK. Salah satunya Menteri Sosial Jualiari Batubara yang melakukan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19.

Yang cukup mengagetkan juga adalah salah satu lembaga kemanusiaan di Indonesia, yang katanya mengambil donasi untuk keperluan operasional gaji karyawan dan perusahaan-perusahaan milik pengurusnya. Lembaga yang bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT) itu pun sekarang dicabut izinnya oleh pemerintah. Ini bukan pertama kali ada kontroversi yang melibatkan aksi sosial dan kemanusiaan.

Melihat banyak fenomena kasus korupsi di negeri ini, ada fakta yang sulit terbantahkan bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi. Orang-orang melakukan korupsi apapun latar belakangnya. Entah itu asal daerah, pendidikan, agama, budaya, dan lain sebagainya.

Padahal semua orang tahu, termasuk mereka yang melakukan korupsi yang rata-rata bergelar sarjana, bahwa melakukan korupsi akan merugikan banyak orang. Selain itu, korupsi juga akan merugikan dirinya sendiri seperti dipenjara, lembaganya terpaksa dicabut izinnya seperti yang terjadi pada ACT serta berdampak kepada pihak keluarga.

Kita sering menyaksikan para koruptor dan keluarganya termasuk anak-anaknya dihina dan di-bully di media sosial gara-gara korupsi. Padahal bisa jadi anaknya atau keluarganya tidak ikut bersalah melakukan korupsi.

Yang sering menjadi pertanyaan, mengapa masih ada saja orang melakukan korupsi? Padahal ia tahu risikonya sangat berat. Tak hanya itu, para koruptor ini juga bukan orang susah, karena dari sisi pendapatan dan harga sudah berkecukupan, bahkan bisa dibilang kaya raya.

Lihat saja di kasus Juliari Batubara. Dari temuan KPK, ia mengambil Rp10.000 dari 300 ribu paket Bansos. Uang Rp10.000 dari 300 ribu itu sebenarnya tidak banyak, ‘hanya’ 3 persen dari dana Bansos. Sementara kekayaan Juliari yang juga pengusaha itu sudah luar biasa banyak. Hidupnya mungkin sudah nyaman dan berlebihan. Pertanyaannya adalah kenapa harus korupsi?

Ada lagi kasus suap Ketua DPD-RI Irman Gusman di bulan September 2016. Ia menerima uang suap Rp100 juta. Padahal ia punya kekayaan yang mencapai hampir Rp32 miliar. Melihat kenyataan seperti ini sepertinya tidak masuk akal melakukan korupsi dengan pertaruhan risiko yang sangat besar.

Mengapa bisa begitu? Menarik menyimak pendapat dari Evan dari Satu Persen, di channel YouTube-nya yang mengungkapkan fenomena seperti itu sebenarnya bisa dijelaskan lewat satu teori Behavioral Economics yang disebut sebagai Fudge Factor Theory. Behavioral economics adalah salah satu cabang ilmu yang menjelaskan, manusia ketika mengambil keputusan ekonomi pasti dipengaruhi berbagai macam faktor.

Ada faktor psikologis, sosial, emosional yang bisa berpengaruh kepada keputusan seseorang. Kadang kala orang lain melihat keputusan yang ia ambil tidak rasional. Seperti dalam kasus korupsi, mengapa ia masih melakukannya padahal sudah kaya, punya jabatan bahkan dihormati banyak orang.

Penelitian Soal Kecurangan

Di tahun 2006, ada penelitian yang menarik soal tentang mengapa orang melakukan kecurangan. Dalam penelitian ini partisipan yang diminta mengerjakan soal matematika. Soal yang diberikan sih mudah-mudah saja, seperti soal untuk anak sekolah. Misalnya 2 + 2 = 4, atau 3 x 3 = 9 dan sebagainya.

Setelah mengerjakan soal ini dan waktunya habis, peserta diminta memasukkan lembar jawabannya ke mesin penghancur kertas. Jadi setelah menjawab soal, mereka diminta menghancurkan lembar jawabannya di mesin penghancur. Kemudian si partisipan diminta memberitahukan berapa jumlah soal yang sudah ia kerjakan.

Semakin banyak jumlah soal yang sudah dikerjakan tentu akan mendapat reward yang lebih tinggi. Semua sudah bisa menebak, mereka akan berbuat curang dan mengaku mengerjakan soal lebih banyak dari yang ia kerjakan. Ternyata mesin penghancur kertas yang tadi itu palsu. Akhirnya dicek lembar jawaban oleh para peneliti itu dan ternyata semuanya berbuat curang.

“Kesimpulannya adalah semua orang itu punya tendensi buat mengambil keuntungan dari kecurangan, alias korup,” ungkap Evan.

Menariknya, semua orang yang melakukan korupsi atau berbuat curang ketika mengerjakan soal matematika tadi, ternyata kecurangannya hanya sedikit. Misalnya selisih kecurangannya itu hanya 1-5 soal saja dari jawaban yang sudah ia kerjakan.

Artinya, orang berbuat kecurangan atau korupsi masih ingin berusaha untuk membuat citra dirinya tetap baik. Pada dasarnya, manusia memang ingin serakah dengan korupsi, tapi ketika keuntungan itu harus didapatkan lewat kecurangan, pasti akan mengalami dilema moral.

Hukuman Berat Solusi Tepat?

Apakah hukuman berat dapat menjadi solusi? Saat ini masyarakat memang masih beranggapan bahwa hukuman terasa kurang berat sehingga membuat aksi para koruptor ini masih merajalela. Memang masuk akal. Namun, lihatlah pengalaman di China yang memberlakukan hukuman berat bagi para koruptor, bahkan hukuman mati.

Salah satu kasus korupsi terbesar di China di sektor finansial adalah yang melibatkan Lai Xiaomin, mantan bos China Huarong Asset Management Co, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan China. Lai telah dieksekusi mati pada Januari 2021 setelah menerima suap 1,8 miliar yuan atau sekitar US$278 juta.

Namun, hukuman berat seperti ini di China masih tetap tidak mampu menghentikan para pejabatnya untuk melakukan korupsi. Presiden China Xi Jinping menyatakan bahwa korupsi di negaranya semakin parah dan rumit. Bahkan, dia bersumpah akan bertindak tegas terhadap pelaku rasuah. “Perjuangan (antikorupsi) ini sangat rumit dan sangat sulit. Kebandelan dan bahaya korupsi tidak dapat diremehkan,” kata Xi.

Selama ini di Indonesia, penanganan pemberantasan korupsi lebih banyak fokus ke cara-cara kuratif. Alias setelah korupsinya terjadi, kemudian bagaimana cara menanganinya. Ini juga terjadi pada banyak kejahatan lain, seperti kekerasan seksual, pencabulan anak, perselingkuhan, atau perzinahan. Dan ternyata, kita lihat sekarang, aksi korupsi dan kejahatan lainnya masih terus terjadi bahkan makin masif.

Karena itu, bisa jadi masalahnya bukan karena hukumannya kurang berat bagi para koruptor. Bisa jadi juga bukan karena KPK kurang aktif untuk menindaklanjuti korupsi, atau bukan masalah-masalah lainnya yang selama ini mungkin kita anggap sebagai akar masalahnya. Jangan-jangan ada faktor psikologis dan faktor lain yang terlupakan yang sebenarnya bisa mencegah korupsi.

Menarik mengungkapkan penelitian dari Dan Ariely, ekonom, psikolog dan profesor ekonomi perilaku di Universitas Duke yang sangat prominent terhadap Behavioral Economics. Ia mengungkapkan orang beranggapan kemungkinan kejahatan korupsi itu bakal menurun jika pertama, risiko tertangkap makin besar. Faktor kedua adalah adalah orang berpikir hukumannya makin berat tidak akan membuat orang korupsi.

Evan juga menjelaskan hasil penelitan lain yang bisa menjadi salah satu solusi dari fenomena korupsi. Dalam penelitian lanjutan, dari mengerjakan soal matematika ini, sebelumnya partisipannya diminta membaca Alkitab tentang sepuluh perintah atau sepuluh larangan dengan itu lantang. Misalnya dengan lantang membaca “Saya tidak boleh curang”, “Saya tidak boleh korupsi”, “Saya tidak X, Y, Z”, dan lain sebagainya. Nah, menariknya kecurangannya ternyata berkurang. Kok bisa?

Menurut peneliti, ternyata ini bukan masalah soal religiusitas. Ketika ditelisik lebih lanjut oleh Dan Ariely ini, kunci berkurangnya korupsi dari partisipan itu terletak saat partisipan mengingat kode etik atau batasan moral yang ia miliki. Mereka harus ingat bahwa ini adalah hal yang buruk yang tidak boleh dilakukkan. Banyak variasi terhadap penelitian ini dan ternyata, setelah ditelisik lebih lanjut, ini dipengaruhi oleh persepsi si partisipan terhadap dirinya sendiri dan terhadap kelompoknya.

Penelitian lebih banyak tentang korupsi dan pencegahannya masih perlu dilakukan untuk mencari penyebab dan tindakan pencegahan yang tepat. Hal ini mengingat korupsi sudah menjadi budaya yang susah lepas dari kehidupan bangsa ini.

Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengatakan ‘membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang makin melaju’.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button