News

Laksamana Yudo Margono dan Harapan yang Tertunda

“Beliau bukan orang yang ambisius,” kata salah seorang perwira TNI AL berupaya menjelaskan wartawan soal kans KSAL Laksamana Yudo Margono menjabat Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto jelang akhir 2021, namun kandas karena Presiden Jokowi menggunakan hak prerogatifnya menunjuk KSAD Jenderal Andika Perkasa. Guratan takdir tak bisa dilawan, setahun kemudian, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan telah menerima Surat Presiden (Surpres) pergantian Panglima TNI, dengan nama Yudo sebagai calon tunggal. Jalesveva jayamahe.

Nama Yudo sudah masuk bursa calon Panglima TNI pada 2021 bersamaan dengan Jenderal Andika Perkasa yang ketika itu menjabat KSAD. Gelagat Andika diproyeksikan menjabat Panglima TNI atau Jenderal AD kedua dalam periode pemerintahan Presiden Jokowi sudah terbaca sejak karier menantu eks kepala badan telik sandi, Hendropriyono melesat. Dalam tempo dua tahun mendapat tiga bintang hingga akhirnya menjabat kepala staf. Soal ini menjadi pergunjingan, namun Andika menolak promosinya hingga menjabat pucuk pimpinan militer dikaitkan dengan faktor famili.

Masuknya nama Yudo dalam bursa calon Panglima TNI ketika itu bukan tanpa alasan. Dalam urusan rotasi, tak berlebihan tongkat komando beralih kepada matra laut. Untuk kondisi objektif, tak berlebihan pula Yudo didapuk menjadi Panglima TNI mencermati eskalasi di Laut China Selatan (LCS) yang ketika itu nampak panas namun kini, suam-suam kuku.

Kendati Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik sengketa wilayah antara Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, kewaspadaan laut dianggap penting untuk diprioritaskan. Khususnya pada kawasan Natuna Utara yang bersinggungan dengan garis putus-putus LCS yang diklaim China. Maka latihan tempur TNI AL di Natuna diadakan pada Juli 2020 lalu, seolah menjadi sinyalemen militer kita memonitor situasi. Tak hanya itu upaya memperkuat alutsista untuk pertahanan laut, dikejar.

Pada 2016, pemerintah menganggarkan US$ 7,74 miliar atau sekitar Rp99 triliun untuk belanja alutsista hingga 2019. Setengah dari total anggaran tersebut dialokasikan untuk TNI AL dalam pembelian dan pemeliharaan/modernisasi alutsista. Tahun 2020, anggaran pertahanan naik menjadi Rp117,909 triliun, terdiri atas belanja pegawai sebesar Rp53 triliun, belanja barang sebesar Rp30,54 triliun dan belanja modal sebesar Rp34,37 triliun.  Tahun 2021 Kementerian Pertahanan (Kemhan) mendapatkan pagu anggaran Rp136,995 triliun. TNI AL mendapat porsi Rp8,03 triliun untuk pengadaan alutsista, perawatan alutsista dan komponen pendukung alutsista.

Dalam hitung-hitungan kekuatan militer, Indonesia bukan kacangan. Di tingkat ASEAN, militer Indonesia menjadi yang terkuat. Pada 2022, Global Fire Power menempatkan Indonesia berada pada peringkat 15 dunia dengan skor 0,2251 di atas Australia, Jerman dan Arab Saudi. Skor diberikan dengan mengalkulasi kekuatan militer, keuangan, hingga kemampuan logistik dan geografis.

Indonesia masuk negara kuat, berdasarkan data Global Fire Power, karena memiliki kelengkapan alutsista yang dianggap memadai, yakni 445 unit pesawat tempur, 314 tank, 1.444 kendaraan lapis baja, 63 peluncur roket, lebih dari 500 artileri 7 fregat, 24 korvet, 4 kapal selam, 181 kapal patroli, 11 kapal perang. Soal alutsista ini, sejatinya masih menjadi momok bagi militer kita. Pasalnya kelengkapan senjata tidak menandakan kualitas alutsista mumpuni.

KSAL Yudo Margono tidak menampik soal kualitas alutsista yang tidak memadai ini. AL memiliki KRI berupa Kapal Selam, Kapal Frigate, Kapal Korvet, Kapal KCR (Kapal Cepat Rudal), Kapal Penyapu Ranjau, Kapal LST (Landing Ship Tank), Kapal LPD (Landing Platform Dock), Kapal Rumah Sakit, Kapal BCM (Bantu Cair Minyak) atau Tanker, Kapal Hidro Oseanografi atau Kapal Survei dan Kapal Layar Latih (Tallship) serta Kapal-kapal Patroli.

Dilengkapi pula Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yakni Kapal Perang, Pesawat Udara, Pangkalan dan Marinir. Alutsista TNI AL yang terdiri dari Kapal Perang, Material Tempur Korps Marinir dan Pesawat Udara (Pesud) TNI AL. Namun kekuatan yang ada belum cukup memenuhi kebutuhan Indonesia sebagai negara maritim. 

“Indonesia merupakan negara maritim (kepulauan) yang sangat besar, dan luas lautan Indonesia hampir 6 juta km2. Dengan luas perairan sebesar itu, layak Indonesia disebut sebagai negara maritim. Tetapi, ironisnya kekuatan TNI AL untuk menjaga kedaulatan maritim RI sangat terbatas,” ujar Yudo, dalam suatu kesempatan.

Bukan Stempel

Persoalan militer Indonesia tidak hanya kebutuhan alutsista yang mumpuni untuk menjaga kawasan termasuk teritorial keamanan. Terdapat aspek yang substansial terkait momok prajurit TNI di dalam negeri, tak hanya pada daerah konflik. Artinya, terdapat tanggung jawab besar yang harus dijawab Yudo yang kini tinggal menunggu persetujuan DPR saja untuk dilantik Presiden Jokowi  menjabat Panglima TNI.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menyebutkan, gembar-gembor penunjukkan panglima harus berpijak pada Pasal 13 ayat (3) UU TNI yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian panglima berdasarkan kepentingan organisasi. Artinya, terdapat beban perbaikan yang perlu didorong pada setiap momen pergantian panglima, termasuk akselerasi reformasi TNI dan prioritas yang harus dicapai dalam masa dinas calon Panglima TNI.

Dengan demikian, proses uji kelayakan dan kepatutan di parlemen harus berfokus kepada hal-hal substantif terkait kebutuhan TNI di dalam negeri, di samping urgensi memperkuat pertahanan dari ancaman luar. Gufron berharap, DPR tidak hanya sebagai tukang stempel terhadap calon yang diusung presiden namun menelisik dan mengeritisi visi-misi agenda calon panglima ke depan.

Jangan sampai proses tersebut bersifat formalitas, di mana DPR hanya berperan sebagai tukang stempel atas kebijakan yang dibuat oleh presiden. Dalam konteks tersebut, menjadi penting bagi DPR untuk menelisik dan mengkritisi visi-misi, agenda pembangunan TNI ke depan, rekam jejak calon panglima TNI, serta yang tidak kalah penting adalah komitmennya terhadap prinsip negara hukum, HAM dan demokrasi,” tutur Gufron.

Dia mengingatkan pula bahwa pergantian Panglima TNI bukan sebatas pergantian pada pucuk pimpinan karena turut memengaruhi wajah TNI ke depan. Apalagi, Yudo turut menanggung beban menjaga netralitas prajurit pada tahun politik sekarang ini. “Mengingat Indonesia sudah memasuki tahun politik, kontrol dan pengawasan ketat terhadap anggota harus diperkuat. Langkah ini juga perlu dibarengi oleh penguatan mekanisme akuntabilitas. Siapapun yang melakukan pelanggaran harus ada tindakan tegas,” tuturnya.

Laksamana Yudo, putra petani kelahiran Desa Garon, Balerejo, Madiun, Jawa Timur, mendapat kesempatan berharga untuk membuktikan kinerjanya pada tahun yang genting. Setidaknya untuk membuktikan slogan di laut kita jaya (jalesveva jayamahe), matra laut pegang estafet Panglima TNI lagi…

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button