Lamine Yamal Bersinar Saat Cahaya Barcelona Padam di Milan


Sepak bola tak hanya mendatangkan kebahagian dan sorak sorai kemenangan tetapi acap kali menghadirkan kekecewaan. Usai sang pengadil meniupkan peluit panjang kala pertandingan Inter Milan versus Barcelona, saat itu pula para penggawa Blaugrana dibuat berlinang air mata.

Satu per satu pendukungnya terduduk lesu, bersujud, ada pula yang hanya terpaku menatap rumput basah hingga menggigit bajunya. Air mata bercampur hujan tak terbendung, menyapu harapan yang tinggal seujung napas untuk kembali mencicipi final Liga Champions.

Laga leg kedua semifinal kontra Inter Milan, Rabu (7/5/2025) dini hari WIB, berlangsung nyaris seperti cerita epik. Namun bagi tim Catalan, ini bak film cinta yang berakhir sad ending. Si Ular Besar julukan Inter, menyegel tiket final seusai mengakhiri drama panjang 4-3 (agregat 7-6) pada pertandingan yang berlangsung di San Siro, Milan.

Pasukan Hansi Flick sebenarnya sudah berusaha bertahan hidup. Usai tertinggal lewat gol Lautaro Martinez dan Hakan Çalhanoğlu, Barca bangkit. Eric García dan Dani Olmo menyamakan kedudukan, lalu Raphinha dengan golnya di menit ke-88, seolah membuka jalan menuju Allianz Arena, Munchen, panggung final UCL musim ini. 

Tapi apa daya, pria tua berusia 37 tahun, Francesco Acerbi membalas di masa injury time. Dan Davide Frattesi mencetak gol pamungkas di babak tambahan waktu, yang seolah menyiram kembang api pada pesta malam di Catalonia.

Mimpi meraih empat trofi dalam semusim mau tidak mau, pupus. Piala Super Spanyol dan Copa del Rey sudah dikantongi, tetapi Liga Champions tak lagi mungkin, dan hanya tinggal La Liga yang bisa diselamatkan. Harapan treble untuk ketiga kalinya, seperti musim 2008/09 dan 2014/15, juga harus dikubur dalam-dalam.

Magis Lamine Yamal

Namun, di tengah kepedihan itu, ada cahaya yang menyala terang, Lamine Yamal. Remaja 17 tahun itu bermain seolah telah mencicipi panggung Eropa selama puluhan tahun. Walau tidak membukukan gol pada malam itu, Yamal tetap mendapatkan banyak sorotan. 

Ia mampu mengendalikan tempo, membaca ruang dengan ketenangan, dan menyerang dari sisi kanan pertahanan Inter bak seniman yang tengah melukis di atas kanvas San Siro. Kreatifitas tingkat tinggi yang dimilikinya selalu menjadi petaka bagi jantung pertahanan Inter. 

Beragam aksi kontrol bola nan memesona dan putaran tubuh yang meliuk elegan, berkali-kali membuka ruang, menciptakan peluang emas yang nyaris berbuah gol, andai saja Yann Sommer tak tampil secekatan itu di bawah mistar Inter.

Menjelang peluit panjang, Yamal juga nyaris menjadi pahlawan. Sepakannya meluncur keras, namun hanya membentur tiang, menyisakan desah panjang dari jutaan harapan pendukung The Catalan. 

Nahas, lagi-lagi penyelamatan gemilang Sommer menutup segala kemungkinan dari si bocah ajaib di detik akhir. Remaja berdarah Maroko pun hanya bisa menatap kosong ke lapangan, kecewa, tapi tetap berdiri tegak. Malam itu, ia kalah, tapi tetap bersinar.

Sofascore pun menobatkan Yamal sebagai pemain terbaik Barcelona dalam laga dramatis malam itu. Bocah yang ayahnya merupakan penggemar Real Madrid itu meraih rating tertinggi dengan nilai impresif 8,7, mengungguli Raphinha dan Eric Garcia yang turut mencetak gol.

Penampilan gemilang Yamal juga tercermin dari statistik. Bermain penuh selama 120 menit, ia mencatatkan 76 umpan sukses, lima tembakan tepat sasaran, dan 14 dribel sukses menegaskan betapa besar pengaruhnya dalam permainan Blaugrana malam itu. 

Pelatih Inter, Simone Inzaghi sendiri juga mengakui kehebatan Yamal. “Dia pemain spesial yang sulit dihentikan,” katanya.

Bahkan, bek Nerazzurri, Alessandro Bastoni menyebut Yamal itu sebagai ‘monster’.  Di Instagram, Bastoni menulis: “Hormati lawan kami, mereka menunjukkan kekuatan dan hati yang luar biasa. Dan sebutan khusus untuk anak yang sangat hebat: Lamine Yamal, Anda adalah monster.”

Selain itu, bek yang mengantongi nilai transfer termahal itu menambahkan foto dirinya mengenakan jersey Yamal selama perayaan usai pertandingan.

Pada akhirnya, Yamal memang bersinar terang. Tapi malam itu, cahayanya belum cukup untuk menyalakan seluruh Barcelona. San Siro tetap menjadi tempat yang dingin dan tak bersahabat bagi mimpi mereka.