News

Langgar Wewenang Pengadilan, Putusan PN Jakpus Soal Tunda Pemilu Batal Demi Hukum

Polemik terus mengiringi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda Pemilu 2024. Putusan ini dikeluarkan terkait langkah PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima.

Namun, Pekar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyebut, putusan tersebut akan batal demi hukum. Sebab, sudah melanggar kewenangan absolut pengadilan.

“Nah dalam kondisi ini kalau kompetensi absolut atau kewenangan absolut pengadilan dilanggar, berlaku konsep bahwa itu harus dinyatakan batal demi hukum. Batal demi hukum itu dianggap perbuatan itu tidak pernah ada,” kata Feri secara virtual dalam diskusi Polemik bertajuk ‘Jalan Terjal Pemilu 2024’, Sabtu (4/2/2023).

Feri lebih lanjut tak menyalahkan pengajuan banding yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap putusan PN Jakpus itu.

“Jadi dia tidak kosong, dianggap benda tak berguna. Jadi ini perlu jadi catatan juga putusan banding itu, di mana silapnya anak buah mereka (hakim) di PN itu,” tegasnya.

Lalu terkait peraturan yang dilanggar oleh para hakim di PN Jakpus, hal ini terkait Pasal 10 dan 11 dalam Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 Tahun 2019 lantaran sudah mengubah kompetensi dan yurisdiksi PN dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH).

“Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa jika kemudian ada yang mengajukan perkara PMH ke PN, maka PN akan melimpahkannya ke PTUN. Jika pun PN sudah menjalankan perkara tersebut, luput misalnya, maka harus diputus NO alias Niet Ontvankelijke Verklaard,” ujar Feri.

“Atau bahasa Indonesianya tidak dapat diterima alias tidak terpenuhinya syarat-syarat, atau gugatan itu kabur. Nah dua aturan ini terang benderang sudah dari 2019, sudah ada tradisi di PN untuk melimpahkan perkara PMH ke PTUN,” sambungnya.

Oleh karena itu, Feri menilai aneh putusan PN Jakpus tersebut. Belum lagi putusan ini juga turut melanggar UUD 1945 Pasal 22 E ayat 1 terkait asas pemilu yang dijalankan secara luber dan jurdil serta lima tahun sekali secara berkala.

“Asas keberkalaan pemilu,dilabrak oleh keputusan ini. Yang hebatnya MA dan MK tidak punya kewenangan untuk kemudian menunda pemilu, karena setiap penundaan itu adalah cacat konstitusional,” ujar Feri.

Terkait pelanggaran ini, Feri juga sepakat dengan sindiran Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)Mahfud MD terkait kewenangan hukum privat atau perdata yang kemudian justru masuk dalam lingkup hukum publik.

“Maka sindiran Prof Mahfud tepat sih soal kalau ada perkara cerai diadili pengadilan militer, cocok untuk menggambarkan situasi ini. Ya mau tidak mau, tidak akan bisa diterima publik,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button