Sejatinya, 80 persen atau lebih dari ekonomi adalah politik. Sebaliknya, dua pertiga atau lebih dari politik adalah ekonomi. Karena itu, sejak awal para pendiri ilmu ekonomi seperti Adam Smith membangun landasan pemikiran mereka melalui pendekatan ekonomi politik. Fokusnya bukan semata angka dan statistik, melainkan bagaimana kekayaan diciptakan, didistribusikan, dan dipengaruhi secara politik dan ekonomi oleh pelaku individu, pasar, serta pemerintah.
Namun, dalam situasi dunia yang kini terguncang akibat langkah sepihak seorang pemimpin negara adidaya, teori-teori ekonomi klasik itu seolah lumpuh. Yang berlaku bukan lagi hukum pasar, melainkan kebijakan politik. Menurut Adam Smith, kesejahteraan bisa tercipta dari interaksi harmonis antara individu, pasar, dan negara. Ia mengkritik sistem merkantilisme yang terlalu proteksionis karena menghambat perdagangan bebas dan keuntungan komparatif antarnegara.
Kini, apa yang terjadi justru sebaliknya. Politik menjadi panglima, menabrak asas dan hukum ekonomi. Maka, ketika Menteri Keuangan menyampaikan di hadapan para ekonom, anggota ISEI, dan asosiasi pengusaha bahwa teori ekonomi tidak lagi bisa digunakan, ia menyatakan hal yang benar. Kebijakan ekonomi konvensional tidak lagi cukup, bahkan tak relevan, untuk merespons langkah politik Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Lantas, jika masalahnya adalah politik, mengapa kita masih menyusun kebijakan ekonomi? Jawabannya sederhana: kita harus mulai berpindah ke jalur yang tepat. Jika penyebab masalahnya adalah politik, maka solusi yang relevan juga harus datang dari politik. Respon kita perlu menukik langsung ke akar masalah, yaitu sistem dan proses politik global yang tak lagi menghargai rasionalitas ekonomi.
Langkah awal adalah meningkatkan kesadaran politik di kalangan pengambil kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat luas. Kita perlu menerima kenyataan bahwa sistem demokrasi, betapa pun idealnya, bisa melahirkan pemimpin-pemimpin tak terduga seperti Donald Trump. Dalam posisi itu, keputusan ekonomi bukan lagi lahir dari asas manfaat atau kalkulasi rasional, tetapi dari pertarungan narasi dan kekuatan politik. Maka, robohlah seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan global yang dahulu dibangun di atas prinsip keadilan, keterbukaan, dan daya saing.
Presiden Indonesia, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, tidak bisa tinggal diam. Ketika dampak kebijakan tarif dari Trump telah nyata, pemerintah harus segera mengambil langkah politik yang tepat. Kita tahu, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 11–13 persen dari total ekspor global. Tapi jika tarif ini menyebabkan penurunan ekspor sebesar 30 persen, maka pengaruhnya terhadap ekspor nasional sekitar 3–4 persen. Porsi ini harus segera digantikan oleh pasar baru melalui kerja sama strategis dengan negara-negara lain yang terkena dampak serupa.
Indonesia sebagai negara besar harus mampu mengkonsolidasikan kekuatan geopolitiknya. Saatnya membentuk poros ketiga bersama ASEAN, Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), India, dan Amerika Latin (Brasil, Meksiko). Dalam konteks ini, langkah Trump adalah strategi konfrontatif terhadap Tiongkok. Kita tidak perlu ikut terseret ke dalam pertarungan itu. Kita bisa mengambil posisi netral yang menguntungkan, membangun blok kerja sama alternatif yang lebih inklusif dan saling menguntungkan.
Strategi ini bukan tanpa preseden. Presiden Soekarno pernah melakukannya dalam semangat Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Gema politik luar negeri bebas aktif saat itu menggema hingga ke panggung dunia. Kini, Presiden Prabowo memiliki peluang serupa. Dengan postur, karakter, dan semangat yang berani dan patriotik, beliau bisa menjadi simbol pemimpin dari Dunia Selatan yang mengusung solidaritas baru antarkawasan.
Namun, langkah politik ini tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus disertai dengan kebijakan perdagangan yang mengarah keluar dari dominasi pasar AS. Diplomasi ekonomi harus diperkuat, terutama ke kawasan Asia Pasifik dan Amerika Latin, yang selama ini menyumbang 88 persen dari total ekspor kita. Dunia sedang mengalami transisi besar: dominasi ekonomi berpindah dari Atlantik ke Pasifik. Kepanikan Trump hanyalah tanda dari krisis transisional itu. Dan kita tidak perlu ikut panik—kita harus siapkan langkah taktis.
Di dalam negeri, stabilitas ekonomi tetap harus dijaga. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memastikan stabilitas makro ekonomi tetap terjaga. Inflasi harus dikendalikan agar kesejahteraan rakyat tidak tergerus. Nilai tukar rupiah harus dikelola agar tidak melemah. Sementara itu, agenda industrialisasi dan hilirisasi tidak boleh terganggu. Inilah saatnya memperkuat ekonomi domestik untuk menghadapi gejolak global yang penuh ketidakpastian.