Lansia Jepang Banyak Jadi Pelaku Kriminal, Alasannya Sungguh Miris

Banyak yang memandang Jepang sebagai negara kaya akan budaya dan memiliki masyarakat yang sejahtera. Tapi siapa sangka, kini banyak lansia di Negeri Sakura itu terlibat dalam tindakan kriminal.

Sebuah fakta yang mencengangkan, tidak sedikit lansia di Jepang yang kini memilih untuk melakukan kejahatan, dan bahkan berusaha untuk masuk penjara secara sukarela demi menyambung hidupnya.

Mengutip BBC International, para lansia menganggap penjara adalah tempat terbaik untuk menyambung hidup. Di balik jeruji besi, mereka bisa memperoleh tempat tinggal, mendapat layanan kesehatan 24 jam, dan terpenting, kebutuhan hidup dasar dapat terpenuhi.

Hal ini disebabkan karena kehidupan masa tua di Jepang tidak diiringi dengan kualitas hidup yang membaik. Saat mereka tak lagi produktif, para lansia ini dihadapkan pada mahalnya biaya hidup, tingginya biaya pelayanan kesehatan, serta jeratan kesepian akibat ditinggal keluarga.

Berdasarkan laporan pemerintah pada 2021 yang dikutip The Economist, jumlah pelaku kriminal di Jepang yang berusia 60 tahun ke atas telah meningkat lebih dari dua kali lipat selama 20 tahun terakhir. Secara persentase, sebagaimana dilaporkan Reuters, jumlah ini meningkat 7 persen dari satu dekade sebelumnya.

Pada 2006 misalnya, The Guardian melaporkan tahanan berusia 60 tahun ke atas berjumlah 28.892 orang atau 12 persen dari keseluruhan tahanan yang berjumlah 80.000. Angka ini meningkat drastis dari tahun 2000 yang hanya 9.478 orang.

Memang, mereka tidak mendapat kebebasan. Tapi, di dalam penjara, warga dijamin pemerintah. Contoh kasus, seorang kakek berusia 64 tahun bernama Toshio Takata yang mengaku secara sengaja ingin dipenjara.

Takata awalnya seorang pensiunan yang tinggal seorang diri. Namun, uang pensiun yang didapat tak bisa menutupi besarnya biaya hidup.

Setelah berusaha keras mencari nafkah tambahan dan gagal, Takata pun putus asa dan punya rencana cerdik. Dia lalu mencuri sepeda, kemudian secara sukarela menyerahkan diri kepada polisi. Sekali waktu, dia sungguh melakukan itu dan berhasil.

“Lihat, saya mengambil sepeda ini,” katanya kepada polisi, saat menceritakan ulang ke BBC International.

Advertisement

Meski tergolong kecil, polisi sangat serius menindaknya. Hasilnya pun sesuai harapan, karena pengadilan menjatuhkan vonis penjara selama satu tahun.

“Saya bisa makan dan tinggal secara gratis,” kata Takata tanpa rasa bersalah.

Setelah setahun dan bebas, Takata malah ketagihan hidup di penjara. Dia lagi-lagi punya rencana jahat dan berhasil ditindak. Kali ini dia lebih bahagia karena bisa menghabiskan waktu di penjara lebih lama.

Di hukuman kedua, Takata divonis delapan tahun penjara karena melakukan pengancaman dengan senjata.

“Saya menyukai karena bisa tinggal gratis. Bahkan setelah keluar nanti, saya punya uang banyak karena dana pensiun saya tidak terpakai oleh kebutuhan di rumah,” ujarnya seraya tersenyum.

Jika kasus Takata didasarkan pada masalah finansial, maka kasus yang menjerat para perempuan lansia lain cerita. Perlu diketahui, mayoritas tahanan lansia adalah perempuan.

Kantor berita NHK menulis, mayoritas kasus para nenek 90 persen adalah pencurian. Mereka secara sukarela masuk penjara karena kesepian, bisa karena ditinggal keluarga atau cerai.

Ambil contoh cerita Takako Suzuki. Perempuan berusia 76 tahun itu rela masuk penjara karena menganggap hidupnya di sana bisa bahagia.

Sebelum menjadi terdakwa, Suzuki punya suami dan dua anak yang sudah bekerja. Kesibukan anaknya ditambah sang suami yang sudah tiada membuat dia merasa kesepian, yang membuatnya nekat melakukan aksi pidana dan mencapai yang dia inginkan, yakni masuk penjara.

Saat ditahan, polisi mendiagnosis dia terkena demensia, sehingga dia dibebaskan setelah enam hari ditahan. Namun, setelahnya dia justru kembali ingin masuk penjara dengan mencuri.

Kepada NHK, Suzuki bercerita saat di penjara kualitas hidupnya meningkat. Dia tak lagi kesepian, bisa ngobrol bareng tahanan lain, melakukan kegiatan keterampilan, dan mendapat pengobatan fisioterapi secara gratis.

“Saya lebih baik dan suka di dalam penjara. Sangat senang,” kata Suzuki.

Kisah Toshio Takata dan Takako Suzuki berujung pada lahirnya ‘lingkaran setan’ yang tak berujung. Dalam laporan The Economist, Jepang awalnya cukup keras terhadap narapidana.

Namun, karena beberapa tahun terakhir mayoritas diisi tahanan lansia, maka pemerintah melunak. Mereka kemudian menjadikan penjara sebagai rehabilitasi. Masalahnya, dengan pola pikir ‘penjara membawa kesejahteraan’, para lansia malah betah dan menganggap penjara sebagai panti jompo. Akibatnya, kasus ini pun tak akan selesai.

Peneliti Universitas Kokugakuin, Yasuda Megumi, menyebut langkah pemerintah Jepang merehabilitas tahanan baik, tetapi yang harus diperkuat adalah soal jaring pengaman. Maksudnya, seperti reformasi hukum untuk membatasi penahanan lansia atau menawarkan amnesti.

Dalam riset bertajuk When the Elderly Turn to Petty Crime: Increasing Elderly Arrest Rates in an Aging Population, Naomi F. Sugie menjelaskan bahwa persoalan ini membutuhkan integrasi kehidupan sosial yang jelas di antara masyarakat Jepang. Pemerintah, misalnya, bisa melakukan peningkatan potongan gaji bulanan saat usia produktif untuk dana pensiun lebih besar di masa depan.

Lalu, masyarakat pun harus mulai mengubah pola pikir tentang keluarga. Mulai dari keengganan memiliki anak, memilih hidup sendirian, dan sekalipun punya keluarga, banyak orang ingin hidup mandiri karena tinggal bersama keluarga bisa merepotkan.

Akibatnya, kesulitan ekonomi yang menjerat dan kuatnya budaya ala Jepang itu membuat pikiran ‘penjara membawa kebahagiaan’ sulit dilepas.

Dengan melihat proyeksi penduduk Jepang masa depan yang didominasi lansia, bukan tidak mungkin bahwa akan ada ribuan kisah-kisah Toshio Takata dan Takako Suzuki lain di masa depan.