News

LaNyalla Tagih Janji Jokowi Gebuk dan Berantas Tuntas Mafia Tanah

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah menuntaskan praktik mafia tanah dan reforma agraria. Mafia selalu identik dengan kelompok yang melakukan kejahatan secara terencana, rapi dan sistematis, sehingga butuh kerja ekstra untuk memberantasnya.

“Jadi kalau ada yang berhasil diungkap dan ditangkap oleh aparat penegak hukum, pasti rangkaiannya panjang. Ada big bos, ada pejabat, ada penghubung dan ada operator lapangan,” papar LaNyalla saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional HUT ke-35 Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Pengurus Wilayah Jawa Timur di Dyandra Convention Center Surabaya, Rabu (28/9/2022).

Mungkin anda suka

LaNyalla mengingatkan amanat Presiden Jokowi  yang disampaikan pada tahun 2017 lalu tentang mafia tanah yang harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Saat itu, Jokowi dengan tegas meminta agar mafia tanah digebuk tanpa pandang bulu.

Di mata LaNyalla, para mafia menjalankan operasi kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang yang saling bekerjasama untuk memiliki atau menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah. Mereka terbiasa menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, namun tersusun rapi, terencana dan sistematis.

LaNyalla menambahkan, inilah tantangan bagi aparatur penegak hukum, khususnya Satgas Anti Mafia Tanah yang ada di Kementerian ATR/BPN, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian.

“Di sini jugalah peranan para Pejabat Pembuat Akta Tanah dituntut untuk aktif terlibat memberantas mafia tanah,” tegas LaNyalla.

Menurut LaNyalla, PPAT harus bekerja ekstra keras melakukan mekanisme double check terhadap informasi dan pernyataan yang didapatkan. Mengapa hal ini penting, karena akan menjadi masalah tersendiri jika data dan keterangan yang diberikan kepada PPAT ternyata palsu atau tidak benar.

Satgas Anti Mafia Tanah

LaNyalla juga meminta kepada Kementerian ATR/BPN untuk memberi ruang check and re-check yang mudah untuk diakses oleh para PPAT dalam melakukan validasi dan verifikasi. Ia juga meminta agar Satgas Anti Mafia Tanah juga harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat luas di semua lembaga, sesuai amanat Presiden.

“Saya terus terang saja, tidak sedikit masyarakat yang mengadukan persoalan penyerobotan lahan dan persoalan agraria ini ke kantor saya di DPD. Artinya, masih ada kesulitan bagi masyarakat luas, untuk mengakses meja atau desk Satgas Anti Mafia Tanah yang dibentuk Kementerian dan Aparat Penegak Hukum,” tutur LaNyalla.

Persoalan berikut yang dipaparkan LaNyalla adalah soal reforma agraria, terutama dalam menangani persoalan tata ruang terkait lahan perkebunan, kehutanan dan pertambangan.

Menurut LaNyalla, hakikat utama dari reforma agraria adalah usaha sistematis yang dilakukan negara untuk menata ulang kepemilikan lahan dan tanah agar tidak terjadi ketimpangan di suatu negara.

“Terutama dengan menitikberatkan kepada redistribusi lahan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan masyarakat yang tidak memiliki tanah atau landless,” tutur LaNyalla.

Hingga hari ini, persoalan ini masih menjadi bagian karut marut persoalan agraria di Indonesia, selain persoalan mafia tanah sebagaimana disebutkan di atas. Sampai hari ini pula, LaNyalla menyebut pemerintah dan perusahaan perkebunan masih belum mengubah tata cara berbisnis di sektor perkebunan.

“Sehingga tidak heran bila wajah pembangunan di sektor perkebunan masih sarat dengan konflik agraria, penyingkiran hak masyarakat, pelanggaran HAM, hingga pemiskinan masyarakat setempat secara sistematis akibat sistem kemitraan inti-plasma yang tidak berkeadilan, bahkan malah menghisap keringat petani kecil,” tegas LaNyalla.

Orientasi pembangunan ekonomi di sektor perkebunan pun tidak berubah, tetap berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pengusaha dan badan usaha besar. Pemerintah masih memberikan HGU (Hak Guna Usaha) berpuluh-tahun lamanya. Dengan begitu, hanya pengusaha dan perusahaan besar yang mendapatkan hak tersebut.

“Proses pemberian HGU yang dilakukan pemodal dan birokrat dilakukan secara tertutup, sehingga menyuburkan mata rantai praktik penyuapan. “Ini sudah menjadi masalah yang akut dan bersifat struktural,” tegas LaNyalla.

Di sisi lain, proses pemberian HGU juga bermakna sebagai pengambilalihan tanah masyarakat. Dikatakannya, Presiden Jokowi memang telah melakukan penertiban atas tanah-tanah terlantar sebagai jawaban atas kritik masyarakat.

“Tetapi lahan yang ditertibkan ternyata juga ditawarkan kepada kelompok-kelompok pemodal yang mampu mengelola dengan berbagai syarat, sama sekali bukan untuk redistribusi lahan

kepada masyarakat dan petani kecil yang tidak memiliki lahan,” jabar LaNyalla.

Hal itu terekam jelas dalam pernyataan presiden dalam Kongres Ekonomi Umat ke-2 Majelis Ulama Indonesia, dimana Presiden menawarkan lahan-lahan tersebut kepada lembaga atau badan bisnis ormas yang mampu mengelola dengan pendekatan feasibility bisnis.

Di sinilah yang menurut LaNyalla menjadi letak persoalan krusialnya, karena yang akan mendapatkan tanah-tanah hasil penertiban tanah terlantar tersebut lagi-lagi kelompok yang mempunyai akses permodalan, menguasai teknologi, dan pasar.

“Artinya, kelompok elit bisnis, badan-badan usaha besar, dan elit politik yang kembali yang akan memonopoli tanah,” jelas LaNyalla.

Padahal, seharusnya prioritas paling utama peruntukkan dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU-HGU bermasalah, ditujukan untuk agenda penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah terlantar bagi kepentingan rakyat kecil, buruh tani, masyarakat tak bertanah dan yang tergusur, serta hak-hak masyarakat adat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button