Market

Lindungi Pekerja, Substansi Alih Daya dalam UU Cipta Kerja Dirubah

Mungkin tak banyak yang tahu, pekerja alih daya (outscourcing) diperbolehkan karena diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Outscourcing termasuk pekerjaan yang sifatnya penunjang.

Hal itu diterangkan Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Agatha Widianawati dalam Workshop UU Cipta Kerja (UUCK) bertajuk ‘Memberikan Kemudahan Berusaha bagi Pelaku UMKM, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif’ di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (13/4/2023).

“Dengan berbagai perubahan yang dilakukan pada UU ini, akhirnya tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, alih daya difokuskan agar semakin berkembangnya usaha pengusaha secara luas. Sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak,” kata dia.

Tak berhenti di situ, Agatha mengakui bahwa dalam UU Cipta Kerja, substansi untuk pekerjaan alih daya dilakukan perubahan. Tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh. “Nah pada waktu penyerapan aspirasi muncul aspirasi terutama dari teman-teman pekerja, dengan diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 yang di situ tidak ada pembatasan pekerjaan yang dapat dialihdayakan, itu justru merugikan teman-teman pekerja,” jelasnya.

“Yang mana persepsi dari dunia usaha itu bahwa semua bisa dioutsourcing-kan, itu awal mulanya. Harusnya perusahaan itu kalau namanya mengalihdayakan itu tidak pada semua, tapi pada kebutuhannya,” imbuh Agatha.

Oleh karena itu, lanjut Agatha, perubahan terjadi pada alih daya dan ketentuan upah minimum yang diharapkan semakin memberi perlindungan bagi pekerja buruh ini. “Di dalam perubahan Perppu itu terkait alih daya ini, untuk jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan itu dilakukan perubahan, yaitu pembatasan, seperti apa? Itu diamanatkan dalam Perppu itu untuk diatur dalam PP, artinya ini belum selesai,” terangnya.

“Pertanyaan loh kalau belum selesai jadi peraturan mana yang berlaku? Dalam Perppu itu disebutkan bahwa peraturan pelaksanaan itu kalau selama belum dilakukan perubahan ya masih berlaku PP yang 35,” sambungnya.

Lalu terkait upah yang digunakan dalam alih daya, seharusnya diberi sesuai dimana tempat tenaga kerja ini bekerja, bukan tempat asal di mana pekerja ini direkrut.”Artinya kalau itu yang (contohnya) di Jawa Tengah kan itu izin pertama dia untuk mendirikan sebagai perusahaan alih daya yang dilakukan dengan sistem OSS,” tandasnya.

“Di mana perusahaan itu jangkauannya bukan lagi pada satu daerah tapi jangkauannya seluruh Indonesia (misalnya di Manado),” sambungnya.

Nantinya ketika perusahaan ini melakukan operasional di berbagai daerah, maka ada kewajiban bagi perusahaan tersebut untuk melakukan pencatatan kepada dinas terkait. “Untuk apa dinas pencatatan? Ya untuk controlling bahwa perusahaan yang melakukan pekerjaannya di Manado, dapat dikontrol. Bahwa ini adalah perusahaan yang benar-benar sudah memenuhi ketentuan dari perizinan perusahaannya, satu itu,” tegasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button