Hangout

Lingkaran Setan Stunting dan Gizi Buruk, Indonesia Masih Harus Berjuang

Perjuangan tidak pernah sia-sia. Kemerdekaan tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. – Tan Malaka

Tepat 78 tahun Indonesia merdeka pada Kamis, 17 Agustus 2023. Jika disamakan dengan usia manusia, angka tersebut tentu sudah tidak lagi muda. Usia yang sudah cukup matang dalam menjalankan hidup. Bahkan, jika memiliki kehidupan yang baik, usia 78 sudah memiliki kemapanan.

Sayang, hal tersebut jauh dari situasi saat ini di negara yang katanya sangat kaya dengan hasil alamnya. Indonesia justru tengah dihadapkan masalah-masalah yang sangat kompleks, salah satunya soal bagaimana membentuk sumber daya manusia yang memiliki gizi baik.

Dua persoalan yang hingga kini masih jadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pemerintah Indonesia adalah stunting dan gizi buruk. Keduanya memang seakan hampir mirip, namun ternyata sangat berbeda makna.

Seakan menjadi lingkaran setan yang tidak bisa terbendung, stunting dan gizi buruk sangat berkaitan erat. Stunting bisa terjadi saat masa konsepsi berlangsung 270 hari ditambah 730 hari setelah anak lahir atau sampai usia 2 tahun.

Karena itu, dibutuhkan edukasi yang tepat untuk masyarakat dan perhatian khusus dari pemerintah untuk lebih serius mengatasi hal ini. Jika calon ibu mendapatkan intervensi yang baik soal gizi saat masa konsepsi kehamilan, maka bukan tidak mungkin calon generasi penerus bangsa yang dilahirkan memiliki gizi yang baik dan sempurna.

Kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab gizi buruk. Bagaimana tidak? Jika dalam sebuah keluarga berpenghasilan rendah, tidak bisa menjangkau untuk membeli protein hewani karena biaya hidup yang semakin tinggi. Akhirnya, banyak anak-anak yang tidak mendapatkan gizi yang cukup apalagi seimbang.

Gizi buruk yang terjadi di Indonesia tidak saja menyoal pada faktor edukasi untuk para ibu, status ekonomi, dan sosial budaya, tetapi juga berkaitan erat dengan buruknya fasilitas sanitasi dan keterbatasan akses air bersih.

Kondisi lingkungan yang jorok juga bisa menyebabkan tubuh bekerja keras melawan sumber penyakit. Hal ini juga dapat menjadi proses menghambatkan gizi yang masuk ke dalam tubuh.

Tingkat Prevalensi Stunting di Indonesia

Tingkat prevalensi anak balita yang mengalami stunting atau tengkes di Indonesia dari tahun ke tahun dianggap mengalami penurunan. Namun, ternyata angka yang diperoleh jauh dari target yang pernah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin. Menkes menargetkan prevalensi stunting di 2024 menjadi 14 persen.

Tidak sedikit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) yang digelontorkan untuk mendukung percepatan penurunan stunting yaitu sebesar Rp34,15 triliun pada 2022 dan Rp30,4 triliun pada 2023.

Pada tahun 2022, angka stunting Indonesia mencapai 21,6 persen berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI). Sebelumnya, pada 2021, angka stunting mencapai 24,4 persen.

Angka ini terlihat melebihi 1,6 persen di atas ambang batas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu sebesar 20 persen. Angka tersebut memperlihatkan prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong kronis.

Padahal pada pidato Presiden Joko Widodo di sidang tahunan MPR RI, Rabu, (16/08/2023), menyebut angka stunting mengalami penurunan drastis menjadi 21,6 persen dari sebelumnya 37 persen (2013).

Jelas angka tersebut sangat jauh dari data SSGI 2021 yang sebelumnya sudah banyak tersebar dan menjadi acuan.

Stunting dan gizi buruk
(Dokumentasi ilustrasi: Inilah.com/BC)

Stunting pada anak memiliki ciri antara lain, gabungan sangat pendek dan pendek, pertumbuhan anak melambat, tubuh lebih pendek dan tampak lebih muda dibanding teman seusianya. Kondisi ini berdampak pada gangguan metabolisme, ukuran fisik tubuh tidak optimal, dan kekurangan gizi dalam jangka waktu panjang terutama di masa 1.000 hari pertama kehidupan anak.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), selain mengalami perlambatan pertumbuhan, stunting juga turut menyebabkan perlambatan pertumbuhan otak. Hal ini lantas dapat berpengaruh pada kemampuan mental dan belajar yang tidak maksimal.

Sedangkan balita yang mengalami gizi buruk memiliki ciri-ciri kulit kering, lemak di bawah kulit berkurang, dan otot yang mengecil.

Kemudian ada kemungkinan perut anak menjadi buncit. Anak akan lebih mudah mengalami infeksi karena kekebalan tubuhnya rendah, mengakibatkan pertumbuhan anak berhenti sebelum waktunya. Kondisi ini juga disebabkan oleh kekurangan asupan gizi dalam waktu yang relatif singkat.

Masalah gizi lainnya adalah wasting atau kurus. Menurut SSGI 2022, prevalensi balita wasting di Indonesia naik 0,6 poin dari 7,1 persen menjadi 7,7 persen pada tahun lalu.

Kemudian, prevalensi balita underweight atau gizi kurang sebesar 17,1 persen pada 2022 atau naik 0,1 poin dari tahun sebelumnya.

Pemerintah Masih Banyak Halangan untuk Tekan Angka Stunting jadi 14 Persen

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan untuk mencapai target menekan angka stunting dan gizi buruk menjadi 14 persen di tahun 2024. Masalah yang menjadi kendala adalah kondisi geografis Indonesia.

stunting dan gizi buruk
(Dokumentasi ilustrasi: Inilah.com/BC)

“Bagaimana tentang masyarakat kita yang ada di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan), bagaimana di daerah Papua sana itu kan juga mendapatkan persoalan dari sisi geografis sehingga masalah stunting, masalah gizi buruk kan belum tentu bisa,” kata Timboel saat dihubungi inilah.com di Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Timboel bahkan menyebut masalah ini juga dapat ditemui di perkotaan, seperti DKI Jakarta. Menurutnya, masih ada pusat pelayanan kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tidak memiliki dokter.

“Itu juga bagaimana puskesmas kan menjadi garda terdepan untuk melakukan pencegahan atau mengatasi gizi buruk dan stunting ini,” ujar Timboel.

Dengan begitu, Timboel menilai bagaimana pemerintah masih beroptimis menekan laju perkembangan stunting dan gizi buruk jika fakta dilapangan menyatakan sebaliknya.

Puskesmas sebagai garda terdepan saja belum memiliki infrastruktur yang memadai dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasiennya.

Untuk itu, Timboel memperhatikan bagaimana implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi harapan masyarakat miskin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Menurutnya, kebijakan JKN justru memiliki kesulitan mengingat infrastruktur dan sumber daya manusianya tidak mendukung arah kebijakan tersebut.

“Demikian juga bagaimana peserta masyarakat ini dijamin dalam JKN supaya ketika dia sakit, dia tidak mengalami kesulitan dan sebagainya,” ujar Timboel.

Intervensi Spesifik untuk Menekan Prevalensi Stunting dan Gizi Buruk

Lembaga yang berwenang mengatasi carut marut kasus stunting dan gizi buruk di Indonesia yaitu Kementerian Kesehatan RI mengklaim sudah melakukan beragam intervensi spesifik.

Program ini mulanya bertujuan untuk mencegah stunting dan gizi buruk sejak usia remaja putri.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Republik Indonesia (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi menyebut terdapat 11 program yang dijalankan pihaknya dalam mencegah dan menangani masalah ini.

Mulai dari skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah (TTD) remaja putri, pemeriksaan kehamilan (ANC), konsumsi tablet tambah darah ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK), pemantauan pertumbuhan balita, pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) kaya protein hewani bagi Balita, tata laksana Balita dengan masalah gizi, peningkatan cakupan dan perluasan imunisasi, edukasi remaja ibu hamil dan keluarga termasuk pemicuan bebas buang air besar sembarangan (BABS).

“Ini juga merupakan beberapa yang harus kita lakukan,” kata Nadia kepada Inilah.com.

Pengukuran Berat Badan yang Benar dan Intervensi Protein Hewani Sangat Penting

Jika melihat lebih jauh, setiap bulan di lingkungan Rukun Warga (RW) selalu mengadakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) balita. Hal ini guna menekan prevalensi stunting dan gizi buruk pada balita. Tidak jarang, para orang tua kerap membawa pulang makanan yang diberikan usai ke posyandu bukan berupa protein. Mereka kerap masih banyak terlihat membawa pulang bubur kacang hijau, pudding, dan buah.

Padahal, intervensi yang baik untuk anak agar tidak mengalami gizi buruk dan stunting adalah mendapatkan asupan protein hewani yang cukup.

Mengutip dari laman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi Penyakit Metabolik FKUI-RSCM, Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif SpA(K) menjelaskan cara memantau status gizi anak dengan benar adalah dengan memperbaiki cara menimbang anak. Dia menyebut, anak bisa ditimbang dengan tanpa baju atau mengenakan baju dalam tipis.

Jika terdapat berat badan yang tidak sesuai dengan usianya, segera rujuk ke dokter Puskesmas, dan dokter spesialis anak di rumah sakit.

Intervensi gizi juga harus dilakukan dengan pola makan berbasis protein hewani.

Anak-anak di bawah usia dua tahun tidak cocok konsumsi sayur mayur, karena yang dibutuhkan nutrisi untuk otak anak hingga usia dua tahun adalah lemak, karbohidrat dan protein hewani.

Daftar Daerah di Indonesia Alami Stunting, NTT Paling Teratas

Berdasarkan hasil SSGI 2022, Indonesia masih jauh dari kesempurnaan mengatasi masalah stunting. Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi pertama stunting dengan angka 35,5 persen. Posisi kedua ditempati oleh Sulawesi Barat dengan prevalensi balita pengidap stunting sebesar 35 persen.

Selanjutnya, daerah dengan pengidap stunting yang tinggi ditempati oleh Papua dengan angka 34,6 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 32,7 persen, Aceh yang menempati posisi kelima dengan angka 31,2 persen dan Papua Barat dengan angka 30 persen serta daerah lain dengan angka jumlah penderita di bawah 30 persen.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button