Deflasi selama empat bulan berturut-turut harus menjadi perhatian serius, terutama di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) secara konsisten, yang diikuti deflasi sebesar 0,03% (secara bulanan/mtm) pada Agustus 2024. Catatan itu melengkapi data tiga bulan sebelumnya, ketika deflasi secara bulanan mencapai 0,03% pada Mei 2024, 0,08% pada Juni 2024, dan 0,1% pada Juli 2024.
Sepintas, adanya deflasi mungkin terdengar sebagai berita baik karena mencerminkan penurunan harga. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, situasi ini justru mengindikasikan adanya masalah struktural dalam perekonomian. Deflasi terus-menerus seperti ini, ketika sisi penawaran tidak menunjukkan adanya perbaikan struktural yang berarti untuk menurunkan biaya produksi, jelas disebabkan oleh melemahnya sisi permintaan. Deflasi macam ini merupakan sinyal bahwa daya beli terus melemah.
Daya beli adalah cerminan dari kemampuan konsumen untuk membeli barang dan jasa. Ketika terjadi deflasi beruntun, besar kemungkinan masyarakat mengurangi konsumsi mereka. Sebelumnya pernah terjadi deflasi tiga bulan beruntun pada Juli hingga September 2020, yang disebabkan oleh penurunan daya beli akibat pandemi Covid-19. Pandemi memang membuat perekonomian global, termasuk Indonesia, mengalami guncangan hebat.
Pelemahan daya beli saat ini semakin dipertegas oleh data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Sepanjang Januari hingga Agustus 2024, sebanyak 46.240 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini menunjukkan peningkatan 7,87% dibanding bulan sebelumnya. Bahkan, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyatakan bahwa pekerja ter-PHK pada Januari-Juni 2024 sudah melebihi 100 ribu orang.
PHK dalam skala besar seperti ini menjadi indikator bahwa dunia usaha sedang menghadapi tekanan signifikan. Sektor manufaktur, yang merupakan tulang punggung industri, juga menunjukkan tanda-tanda kontraksi.
Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 menunjukkan angka 48,9, turun dari level 49,3 pada bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 ini mengindikasikan bahwa sektor manufaktur sedang mengalami penurunan dalam aktivitasnya. Semakin jauh jaraknya dari 50, semakin pesimistis pelaku industri dalam menatap masa depan.
Jelas sudah, ada persoalan fundamental dan struktural dalam fenomena deflasi empat bulan beruntun ini. Sektor industri yang melesu dan pesimistis, PHK yang meningkat, cuaca yang tak menentu, dan harga pangan yang justru terus naik membuat perekonomian nasional seakan mengalami luka dalam yang menyakitkan—yang selama ini tertutupi oleh data-data makro yang memperlihatkan bahwa situasi sepertinya baik-baik saja.
Luka dalam ini mungkin juga menjalar ke sektor keuangan. Ketika deflasi berlangsung dalam jangka panjang, perbankan bisa menghadapi masalah likuiditas. Masyarakat yang cenderung menahan uangnya, karena tidak ada insentif untuk membelanjakannya, dapat memperlambat sirkulasi uang dalam perekonomian. Potensi risiko gagal bayar kredit pun meningkat karena bisnis yang tidak mampu bertahan kewalahan memenuhi kewajibannya akibat penurunan permintaan.
Di samping itu, beberapa faktor eksternal juga perlu dipertimbangkan. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran penting tentang betapa rentannya ekonomi global terhadap gangguan eksternal. Meski pandemi mulai mereda, dampaknya masih terasa hingga kini, terutama pada sektor-sektor yang bergantung pada rantai pasok global. Biaya produksi yang tinggi akibat ketidakpastian rantai pasok ini juga menjadi salah satu alasan mengapa perusahaan memilih untuk menekan biaya operasional, salah satunya melalui PHK.
Ketidakpastian global juga dipengaruhi oleh perubahan geopolitik, seperti perang dagang, yang bisa menghambat akses pasar bagi produk Indonesia. Ketika produk lokal sulit menembus pasar internasional, sektor industri dalam negeri harus berjuang lebih keras untuk mencari pasar di dalam negeri, yang dalam situasi deflasi ini justru mengalami penurunan permintaan.
Oleh karena itu, strategi yang dipilih pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi masih perlu dipikirkan ulang. Lihat saja program subsidi rumah di bawah Rp 5 miliar. Serius, siapa sebenarnya yang akan paling diuntungkan dari kebijakan ini? Mereka yang baru saja di-PHK? Yang daya belinya terjun bebas?
Jangan sampai rumah-rumah itu lantas menjadi ajang spekulasi kaum kelas menengah atas yang masih terlihat aman dari situasi menekan seperti sekarang. Setelahnya, atas nama investasi jangka panjang, rumah-rumah itu diabaikan dan tidak dihuni, lalu menjadi aset terbengkalai.
Lebih baik pemerintah meluncurkan program stimulus fiskal yang fokus pada peningkatan daya beli dan memberi insentif pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang terdampak. Pemerintah juga bisa merespons fenomena penurunan daya beli ini dengan menunda kenaikan PPN 12% tahun 2025 agar mampu meningkatkan konsumsi domestik secara berkelanjutan.
Berikan bantuan sosial kepada mereka yang terdampak PHK dan penurunan ekonomi—bukan cuma kepada orang miskin yang sudah langganan mendapat bansos. Jadikan bansos itu tak hanya menjadi jaring pengaman, tetapi juga mampu mendorong produktivitas dan memulihkan permintaan.
Pemerintah juga harus terus memetakan situasi di setiap sektor manufaktur dan memberikan solusi yang tepat sesuai dengan persoalan yang dihadapi setiap sektor. Bukan hanya memberi stimulus yang bersifat generik dan menyamaratakan semua sektor. Bisa pula memberikan keringanan pajak untuk perusahaan yang tetap mempertahankan karyawannya, sehingga bisa menahan gelombang PHK. Program-program pelatihan ulang bagi pekerja yang terkena PHK harus diintensifkan, agar mereka bisa dengan cepat beradaptasi dengan perubahan pasar tenaga kerja.
Tidak kalah penting, komunikasi publik yang efektif diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa ekonomi Indonesia masih berada di jalur pemulihan, meskipun ada tantangan yang harus dihadapi.