Kanal

Mahakurawa: Mendekonstruksi Cerita 6.000 Tahun Mahabharata

“Mahakurawa” berusaha menulis lebih—bisakah kita katakan?—adil. Sebagaimana Piagam TEMPO mempercayai bahwa “kebajikan, juga ketidakbajikan tidak menjadi monopoli satu pihak”, “Mahakurawa” tidak menutup diri dari fitrah kemanusiaan keluarga Kurawa (Kuru), bahwa manusia tak pernah selamanya kotor, tidak pula selalu bersih. Misalnya, hanya di buku ini kita temukan cerita betapa kentalnya sisi kemanusiaan Suyudana, yang dicemooh para Pandawa dengan sebutan “Dur”yudana untuk menghinanya sebagai penguasa yang tidak mampu.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Sudah lama saya mendengar cerita ini, pada saat muda: di kawasan Srilanka Rahwana adalah figur yang dihormat dan dipuja. Ia pahlawan, ksatria tinggi besar yang tak kenal takut memperjuangkan keadilan. Alih-alih menculik Sinta, konon istri Sri Rama itu yang datang padanya, meninggalkan suami klamar-klemer  yang lebih menyerupai wandu daripada pria perkasa.

Saya tidak pernah mendapatkan semua itu dari membaca versi lain “Ramayana”, epos tua India yang terkenal mendunia itu. Jadi tak mungkin pula memberikan rujukan bacaaannya.

Namun kali ini saya mendapatkan negasi serupa pada  “Mahakurawa”, novel tulisan Anand Neelakantan yang belum lama ini telah di-Indonesiakan. Dari cerita yang menegasi “Ramayana” saya menyadari mengapa Rahwana digolongkan Denawa (raksasa, atau Buta/Buto dalam bahasa wayang kita). Itu lebih karena orang-orang Arya yang datang dan mendesak penduduk asli Dravida keluar dari Tanah Air India, perlu mendegradasi musuh mereka itu sehina-hinanya. Lewat cerita pula bangsa Arya bisa melakukan demonisasi kaum dravida—kaum kulit gelap penghuni asli anak benua India—menjadi denawa, dengan tempat tinggal di Alengka, kerajaan horror haus darah. Srilanka saat ini.

Jadi tampaknya, sekali lagi kita menemukan bukti ucapan Perdana Menteri Inggris pada eranya, Winston Churchill, saat ia menyatakan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Makin masuk akal pula pernyataan Napoleon Bonaparte,”Apalah sejarah, selain dongeng yang disepakati?”

Dari “Mahakurawa” kita menemukan hal-hal yang menggedor ‘kepercayaan’ kita selama ini tentang “Mahabharata”, epos yang temuan pertamanya konon merujuk abad ke-4 SM. Sejak usia bocah, entah lewat pertunjukan wayang, cerita komik atau membaca buku yang lebih serius seperti yang ditulis C. Rajagopalachari, kita hanya menemukan Kurawa sebagai kaum yang jahat, culas dan keji. Sebaliknya, keluarga Pandawa adalah personifikasi kebaikan, kebenaran, kaum putih yang mengalahkan kejahatan golongan hitam.

Mahakurawa” berusaha menulis lebih—bisakah kita katakan?—adil. Sebagaimana Piagam TEMPO mempercayai bahwa “kebajikan, juga ketidakbajikan tidak menjadi monopoli satu pihak”, “Mahakurawa” tidak menutup diri dari fitrah kemanusiaan keluarga Kurawa (Kuru), bahwa manusia tak pernah selamanya kotor, tidak pula selalu bersih.

Misalnya, hanya di buku ini saya menemukan cerita betapa kentalnya sisi kemanusiaan Suyudana, yang dicemooh para Pandawa dengan sebutan “Dur” yudana untuk menghinanya sebagai penguasa yang tidak mampu. Anand, sang pengarang, dalam pendahuluan buku—saya tidak menuliskannya sebagai ‘novel’ untuk mengurangi kesan fiksi—menuliskan kejadian yang ia alami sendiri.

Bertahun-tahun lalu, kata Anand, ia pernah mengunjungi Kuil Malanada di Desa Purovazhy, Kerala, India selatan. Di sana ia menyaksikan lebih dari 100 ribu orang berkumpul, kemudian berjalan berarak untuk menghormati ‘dewa’ pelindung kuil, yang pada masa lalu diyakini sering mengunjungi kuil orang-orang berkasta rendah itu, membantu ‘jamaah’nya yang miskin papa. ‘Dewa’ itu adalah orang yang dalam sekitar  1.260 versi Mahabharata di India saat ini disebut sebagai penjahat yang paling dicaci maki sepanjang masa: Suyudana. “Jika ia tidak seorang yang memiliki jiwa yang bersih, untuk apa ia datang dari Hastinapura di ujung utara negeri, ke sebuah kuil di ujung selatan yang berjarak 3000 km jauhnya?” piker Anand. Dan itu dilakukan di masa lampau sebelum Wright bersaudara menemukan pesawat terbang!

“Sampai kini masyarakat setempat percaya roh Suyudana tinggal di kuil itu untuk melindungi kaum melarat dan tak berdaya, orang-orang dari kasta paling hina di India,”kata Anand dalam pengantar bukunya.

Menurut Anand, Mahabharata versi Indonesia dalam beberapa hal lebih murni daripada ribuan versi Mahabharata di India saat ini. Banyak cendekiawan India percaya bahwa versi Kasmir dan Indonesia lebih mendekati Mahabharata yang asli, karena, dalam kasus Kasmir, ia menjadi provinsi yang sejak berabad-abad silam pun mayoritas penduduknya Islam, dan penulisan serta penafsiran ulang terhadap epos tersebut mandek. Sementara penulisan dan interpretasi ulang berlanjut dalam bahasa-bahasa klasik India seperti Tamil, Kannada, Malayalam, Telugu, Odia, Marathi, Gujarat, Bengali, Assam, dan Hindi. Tetapi, kata dia, tetap saja dalam “Mahabharata” versi Indonesia pun, posisi Suyudana, adik-adik, Gandari sang ibu, serta Destrarata sang ayah, digolongkan pihak tercela.

Sejak paling tidak enam milenia lalu, Anand percaya Suyudana adalah seorang egaliter yang tak membeda-bedakan kasta dan ras. Dia tak pernah percaya bahwa sepupu-sepupunya, para Pandawa, adalah keturunan dewa.

Egalitarianisme Suyudana itu bukan hanya hidup dalam pikiran dan omongan. Itu real, terbukti manakala sebagai pengeran Hastinapura ia memilih Karna sebagai raja Awangga. Ia megangkat seorang “suta”—kasta kusir kereta yang rendah—tanpa pamrih, sekaligus menentang adat yang saat itu pun baginya kolot. Suyudana pula yang menolong Ekalaya, seorang paria dari Nisada dari pelecehan verbal yang dilakukan para Pandawa. Ia bahkan memberikan buah-buah mangga dari kebun istana yang dipetiknya kepada anak kelaparan itu, meski ditentang banyak orang, termasuk Arya Widura, sang pembela Pandawa.  Menyentuh atau tersentuh seorang paria adalah haram hukumnya, yang saat itu bisa berujung pada kematian si paria yang bisa dihukum mati.

Alih-alih mencerna ajaran-ajaran Resi Drona yang pilih kasih, Suyudana lebih banyak memikirkan petuah-petuah Krepa (Kripacharya), guru Kurawa dan Pandawa selain Drona.

Ia ingat kemarahan Krepa kepada sahabatnya, Karna, yang begitu menerima perbedaan nasib akibat kasta karena kata Karna itulah yang tersurat dalam “Weda”. “Dalam Weda tak ada omong kosong seperti itu. Malah kebanyakan orang kita belum baca Weda. Katakan, siapa yang seorang brahmana?”tanya Krepa marah.

“Guru Krepa…”

“Kalau kita benar-benar berpedoman pada Weda, seorang brahmana adalah orang yang berusaha mencari dan menemuka Brahma, Tuhan dalam dirinya, dalam jiwanya, melalui pengetahuan. Apakah Dorna atau aku tampak sudah menemukan Tuhan? Malah aku sering lupa jalan pulang! Seorang kesatria seharusnya sudah menemukan Tuhan ketika menunaikan kewajibannya. Seorang Waisya menemukan Tuhan dalam perdagangan, dengan menciptakan kemakmuran. Sedangkan seorang sudra menemukan Tuhan dalam cinta kasih, dengan melayani banyak orang. “

“Isi Weda itu agar masyarakat seimbang, empat warna dibutuhkan. Pengetahuan, pemikiran, arah, tindakan, kekuasaan, kepemimpinan, kemakmuran, uang, seni, cinta kasih, semuanya bagaikan anggota-anggota tubuh. Tidak bisa dikatakan hanya satu yang penting. Karenanya, dikatakan empat warna itu adalah empat bagian Brahma. Kau mungkin pernah mendengar brahmana gadungan membual betapa mereka muncul dari kepala Brahma, para kesatria dari lengannya, waisya dari pahanya dan sudra dari kakinya?”kata Guru Krepa. “Kitab suci kita menggunakan perumpamaan ini untuk menunjukkan bahwa setiap warna sama pentingnya. Tapi lihat apa yang terjadi. Kepala mengaku-aku hanya dirinya yang penting. Sungguh konyol! Tanpa hati, kepala mati. Tanpa tangan, tubuh tak mampu bertindak. Dan tanpa paha, kaki tak akan terhubung dengan tubuh atau bergerak.”

Itulah yang senantiasa dipikirkan Suyudana.

Terlalu banyak bila harus dituliskan secara detil, sebanyak perbedaan yang ada antara Mahabharata versi India yang ribuan banyaknya itu, dengan Mahabharata versi Indonesia. Yang paling mendasar saja, dalam versi India, Bima adalah karakter yang pikirannya pendek, sementara dalam versi Indonesia ia adalah sosok yang sangat spiritual. Di sini kita malah mengenal Bima yang bertemu Dewa Ruci dalam perjalanan spiritualnya menyelami lautan dan mencari air kehidupan. Versi yang tak ada di India. Kisah itu lebih menegaskan demonisasi Kurawa, yang membuat skenario pencarian air suci itu semata agar Bima terbunuh dalam perjalanan tersebut.

Contoh mayor lainnya, Banowati, istri Suyudana, dalam versi Indonesia jatuh cinta kepada Arjuna. Dalam versi India, Banowati (Bhanumati), adalah istri setia Suyudana. Dalam banyak versi India, Drupadi jatuh cinta kepada Karna, yang d Indonesia tak ada.

Di India sendiri memang ada versi Mahabharata Abiyasa yang diyakini ditulis dari sudut pandang Kurawa. Jaimini, salah satu murid Abiyasa, menulis sebuah versi yang menokohkan Suyudana sebagai pahlawan. Hanya satu bagian dari versi tersebut, yaitu “Aswatama Parwa”, yang masih eksis. Ada lagi, pada abad 2 SM, pujangga Bhasa menulis naskah drama “Urubangga”, dan “Gadayudha” yang ditulis pujangga Kannada pada abad 2 atau 3 Masehi, khusus menceritakan kisah terbunuhnya Suyudana di tangan Bima dengan cara licik. Bagaimanapun, di masa itu pertempuran gada melarang serangan ke arah pinggang ke bawah.

Syaiful Rahman, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjdjaran yang tengah menyelesaikan pembacaannya atas buku ini, menilai “Mahakurawa” bisa disebut sebagai antithesis dari “Mahabharata” yang kita kenal di Indonesia selama ini. “Gaya bertuturnya,  walau dipecah-pecah dalam bentuk bab dengan fokus bercerita tentang figur-figur yang selama ini kita kenal, seperti Suyudana, Karna, Ekalaya, Drona , dan lain-lain, tetap mengalir lancer dan kronologis. Penggambaran setiap tokoh juga dilakukan dengan amat baik,”kata Syaiful.

Ia mencontohkan itu pada lukisan figure Suyudana. “Saya disuguhi kisah yang bertutur bagaimana Suyudana sangat kritis terhadap tatanan sosial yang dia anggap tidak adil secara sosial, seperti sistem kasta,”kata Syaiful. Meski demikian, menurut Syaiful, buku itu mungkin hanya akan amat menarik bagi pembaca yang sudah banyak tahu versi “Mahabharata” yang ada selama ini.

Ada alasan menarik mengapa akhirnya “Mahakurawa” bisa selesai ditulis. Menurut Anand, itu lebih karena ia selalu dibayang-bayangi perkataan seorang warga Desa Purovazhy, sesaat sebelum ia kembali dari kuil.

“Bila junjungan kami, Suyudana, adalah orang yang jahat dan bejat, mengapa manusia-manusia agung seperti Bhisma, Drona, Krepa, Karna, Widura, dan seluruh pasukan Kresna bertempur di pihaknya?” [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button