Market

Maju Kena Mundur Kena Kebijakan CPO

Para petani kelapa sawit melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan crude palm oil (CPO) di Jakarta, Selasa (17/5/2022). Kebijakan tentang kelapa sawit ini memang dilematis. Dilarang ekspor merugikan petani, sementara melepasnya ke pasar luar negeri memunculkan masalah pasokan dan harga minyak goreng domestik.

Pemerintah telah melarang sementara ekspor CPO, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil (RBD Palm Oil), Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), dan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) sejak 28 April 2022 sampai harga minyak goreng curah mencapai keterjangkauan.

Larangan tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tentang tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, RBD Palm Oil, RBD Palm Olein, dan minyak jelantah. Larangan ekspor sementara berlaku untuk seluruh daerah pabean Indonesia.

Larangan ekspor salah satu bahan baku minyak goreng ini tentu saja menyulitkan petani kelapa sawit. Karena itulah sekitar 250 petani melakukan unjuk rasa menolak kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan CPO. Aksi keprihatinan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) juga digelar serentak di 22 provinsi dan 146 kabupaten/kota.

Kebijakan ini pun telah berdampak langsung kepada anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di seluruh Indonesia, khususnya di sentra perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang larangan ekspor CPO dan minyak goreng.

Sejak resmi dilakukan pelarangan ekspor pada 28 April, harga TBS petani memang anjlok secara drastis bahkan hingga 70 persen di beberapa daerah. Apkasindo meminta Presiden Jokowi melindungi 16 juta petani sawit yang terdampak penurunan harga TBS sawit di 22 provinsi produsen sawit.

Tak hanya petani kelapa sawit yang sudah berteriak, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mewanti-wanti jika larangan ekspor tidak dicabut akan mengganggu kinerja ekspor secara nasional. Termasuk kemungkinan besar berpengaruh terhadap neraca perdagangan di bulan-bulan mendatang.

Akibat kebijakan ini, BPS mencatat ekspor CPO menurun pada April 2022 baik secara volume maupun nilai. Nilai secara nilai ekspor CPO April 2022 sebesar US$2,99 miliar, turun 2,56 persen ketimbang pada Maret 2022. Sedangkan secara volume, ekspor CPO pada April 2022 mencapai 1,93 juta ton, turun 10,49 persen ketimbang bulan sebelumnya.

Akankah larangan ini dievaluasi? Dirjen Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan larangan ekspor CPO akan kembali dievaluasi jika harga minyak goreng curah menyentuh harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram. “Tidak hanya petani yang butuh ekspor, negara pun butuh ekspor. Mau bagaimana lagi?” kata Oke Nurwan di Jakarta, Selasa (17/5/2022).

Ketika harga sudah sesuai HET dan konsisten, maka keran ekspor CPO akan kembali dibuka pemerintah. “Masalahnya harga berkelanjutan seberapa lama, ketahanannya. Konsisten tidak harganya. Makanya pasokan pun dibatasi. Saat ini 200 liter, besok 200 liter. Kalau sekarang dipasok 2.000 liter habis semua,” ujar Oke.

Kelangkaan Minyak Goreng

Masih belum lepas dari ingatan, belum lama ini bagaimana sulitnya masyarakat mendapatkan minyak goreng. Kalaupun ada, harganya pun melambung. Antrean pembelian minyak goreng sempat menjadi pemandangan sehari-sehari dari kota besar hingga ke pelosok daerah. Pemerintah sempat menetapkan HET, namun tetap saja masalah minyak goreng di pasaran tak kunjung selesai.

Timbul kesan negara seperti tidak berdaya melawan dan mengendalikan korporasi. Hal ini tak lepas dari tudingan saat itu ada mafia yang mengambil keuntungan pribadi, sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Hal ini juga menunjukkan persoalan minyak goreng bagai benang kusut yang permasalahannya tak hanya ada pada kondisi pasar di dalam dan luar negeri tetapi juga menyangkut kondisi industri sawit nasional dan global. Terkait harga, produksi dan pasar. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan larangan ekspor CPO.

Larangan ekspor CPO ini, walau belum bisa dikatakan efektif 100 persen, namun cukup membantu mengamankan pasokan minyak goreng di dalam negeri hingga saat ini. Kini tak lagi muncul gejolak dan antrean pembelian minyak goreng.

Pemerintah pasti tak ingin kejadian kisruh minyak goreng ini terulang kembali. Apalagi kasus minyak goreng ini harus dibayar mahal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hasil survei terakhir tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi anjlok. Bahkan mencapai titik terendah dalam kurun enam tahun terakhir. Temuan terbaru Indikator Politik Indonesia ini, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi berada di angka 58,1 persen.

Memang kebijakan pemerintah baik itu ekonomi dan politik tidak bisa memuaskan semua pihak. Setiap kelompok kepentingan akan berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Karena itu, setiap kebijakan selalu ada pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan. Seringkali maju kena mundur kena, termasuk dalam kasus minyak goreng ini. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button