News

Makin Merajalelanya Korupsi dan Bobroknya Sistem

Kalangan elite politik baru-baru ini kembali menjadi sorotan dengan ditetapkannya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate yang merupakan politisi Partai NasDem sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G beserta infrastruktur pendukung Bakti Kominfo tahun 2020-2022 yang merugikan negara Rp8 triliun.

Kasus Johnny Plate yang menambah deretan panjang politisi yang korup menjadi beban besar pemberantasan korupsi di negeri ini. Kondisi politik ideal tanpa politisi yang korup seakan masih menjadi mimpi panjang. Semakin ke sini bahkan korupsi kian merajalela.

Mungkin anda suka

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menyebut ada banyak penyebab politisi korup. Salah satunya biasanya mengejar setoran untuk partai politik. Menurut Ujang, jabatan yang ditugaskan oleh partai kepada kadernya, baik di kementerian maupun di legislatif maupun kepala-kepala daerah ditarget ada setorannya untuk parpol.

“Saya tidak menuduh, tapi ini bukan rahasia umum dan sama-sama tahu lah mereka juga. Ya karena (politisi) menjadi ATM partai maka suka tidak suka, senang tidak senang, para pejabat dari kader partai itu ya harus mencari uang, mencari pendanaan untuk katakanlah operasional partai. Kan seperti itu, yang pertama itu. Jadi pasti akan korup itu,” kata Ujang kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (28/5/2023).

Penyebab kedua, ungkap Ujang, dari gaya hidup pejabat yang perlente atau mewah dan cinta dunia.

“Itu membuat mereka terjebak pada korupsi, suka tidak suka, senang tidak senang harus mencari uang dengan cara merampok negara untuk memenuhi gaya hidupnya.”

Adapun penyebab ketiga, kata Ujang, ia melihat adanya ketamakan atau kerakusan dari individu-individunya itu. “Sudah kaya, sudah banyak uang gitu, ya karena dia rakus jalan pintas korupsi dilakukan,” ucap Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini.

Sedangkan yang keempat, Ujang menekankan, tidak adanya hukuman yang berat sebagai efek jera terhadap koruptor. “Jadi karena tidak ada efek jera itu, ya mereka menganggap korupsi sesuatu yang biasa. Kalaupun ketangkap paling hukumannya 3 tahun atau 4 tahun bisa keluar penjara,” tegasnya.

Peneliti Senior Trust Indonesia Research and Consulting Ahmad Fadhli berpendapat bahwa

penyebab banyaknya politisi yang korupsi tidak bisa dilihat secara parsial atau hanya satu episode kejadian saja. “Tapi kita mesti melihat korupsi ini sebagai sebuah kesatuan yang utuh, jadi jangan sepenggal-sepenggal,” ujar Fadhli kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (28/5/2023).

Jadi, Fahdli menegaskan, ada peluang korupsi ini ibarat sebuah penyakit, bisa sembuh tapi ketika tidak dijaga dengan baik maka ada peluang untuk kambuh lagi penyakitnya tersebut.

“Kalau ditanya apa yang menyebabkan para politisi korupsi, saya pikir tidak hanya para politisi saja, setiap individu yang punya kesempatan untuk melakukan korupsi kalau dia tidak dijaga dengan sistem yang baik, maka korupsi bisa terjadi kembali,” tambah Direktur Riset Trust Indonesia ini.

Serupa dengan Ujang Komarudin, Fahdli juga menyebut faktor-faktor yang menyebabkan korupsi yang paling utama adalah keserakahan.

“Selama manusia masih memiliki sifat serakah, maka peluang korupsi itu pasti ada. Dan kita kembalikan saja ke diri kita, apakah kita masih serakah atau tidak. Jadi selama keserakahan itu masih ada, ya peluang korupsi masih ada,” tegas Fahdli.

Sistem bobrok

Maraknya korupsi, menurut Ujang Komarudin tidak bisa dilepaskan dari yang namanya sistem. Pada sistem yang buruk maka korupsi bakal tumbuh subur. Kondisi ini pun terjadi di Indonesia. “Kalau di sistem kita sudah tahu kalau sistemnya bobrok, sistemnya rusak, aturannya bisa dimainkan, sanksinya terhadap koruptor juga ringan.”

Kata Ujang, pada sistem yang bobrok terjadi setor-menyetor atau upeti di mana praktik suap-menyuap dalam konteks seleksi apapun termasuk seleksi pejabat, kepala daerah, dan rekrutmen calon anggota legislatif membutuhkan dorongan-dorongan uang.

“Ya saya melihatnya pejabat-pejabat korup itu salah satunya karena faktor seleksi. Misalnya ada dulu lelang jabatan, lelang jabatan pun sekarang dimainkan atau terjadi suap menyuap, kongkalikong di situ. Padahal namanya lelang jabatan,” ungkap Ujang.

“Sekarang ada e-budgeting, dan e-lainnya, tender berdasarkan elektronik, tapi tetap saja dimainkan oleh mereka untuk tetap korup, untuk tetap mengkondisikan perusahaan-perusahaan di kalangan mereka untuk bisa menang,” lanjut dia.

Dengan sistem yang tidak fair dan buruk, tambah Ujang, membuat para pejabat atau politisi berani melakukan korupsi.

Untuk mengatasi masalah besar korupsi, menurut Ujang, juga bukan persoalan yang mudah, seperti sulitnya membangun kesadaran karena pribadi yang korup akan tetap korup. “Individu yang korup akan korup, tapi yang paling penting itu sebenarnya sanksi yang tegas, yang jelas,” ujar Ujang.

Misalnya, dia mencontohkan, koruptor dimiskinkan atau dihukum mati atau penjara seumur hidup dan tidak ada pemotongan masa penahanan. “Harus betul-betul dimiskinkan. Kalau enggak seperti itu ya sulit, jadi kalau sanksinya ringan, sistem hukumnya masih bisa disuap gitu ya, masih rusak, tidak ada kesadaran juga dari para elite dan pejabat itu,” terang Ujang.

Jika tidak dilakukan perubahan mendasar terhadap hukuman koruptor, tegas dia, maka bangsa ini tidak akan berubah menjadi lebih baik. Artinya, bangsa ini hanya akan berubah kalau hukuman terhadap koruptor diperberat dan konsisten menebas siapapun yang korup. “Tidak pandang bulu. Ini yang ada malah koruptor dipotong (masa) tahanannya, banyak,” ucap Ujang menyesalkan.

Parahnya lagi, tegas Ujang, koruptor seolah-olah tidak korup, bahkan menyebut dikriminalisasi dan lain sebagainya. “Korupsi di sini memang sudah membudaya, angka korupsinya tinggi. Maka sebenarnya yang paling penting sanksi yang tegas bagi koruptor dan keberanian dari presiden dan penegak hukum,” tuturnya.

Lebih jauh dia mengamati kalau penegak hukumnya juga korup maka dipastikan bakal sulit dilakukan penegakan hukum terhadap para koruptor. “Sekarang saja penegak hukumnya masih korup, maka pejabat-pejabat lainnya pun korup, karena dianggap masih bisa kongkalikong, dianggap masih bisa suap-menyuap, Itu yang membuat bangsa ini rusak,” ungkap Ujang.

Terakhir, Ujang menggarisbawahi, yaitu bagaimana membangun kesadaran bahwa perbuatan korupsi itu sangat dilarang. “Dilarang dalam agama, dan korupsi itu mendurhakai rakyat, menyakiti rakyat, tapi kesadaran itu tidak ada dari mereka (koruptor), cuek-cuek saja tuh,” ujar dia.

Jadi, Ujang menekankan kembali, harus ada sanksi yang tegas dan jelas, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup atau dimiskinkan agar ada efek jera.

Sependapat dengan Ujang, Fadhli pun menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih berat dan tegas terhadap para koruptor dari pucuk pimpinan, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Jadi memang Pak Jokowi harus lebih tegas lagi, dari sisi leadership sudah memberikan contoh yang cukup baik, tapi mungkin dari sisi penegakan hukum, Pak Jokowi harus lebih tegas untuk memberikan hukuman,” ujar Fadhli.

Di sini, menurut Fadhli, memang perlu dibangun sebuah sistem yang membuat para pejabat seperti di lingkungan kementerian menjadi tidak korup.

“Untuk membersihkan sebuah ruangan kita membutuhkan sapu yang bersih. Kalau menggunakan sapu yang kotor, saya kira tidak akan pernah bersih ruangan tersebut, karena sapunya masih kotor,” tambah Fadhli.

Dalam pandangan Fadhli, “sapunya” sudah bersih dan sudah dibersihkan tapi kotorannya masih balik lagi. “Nah berarti ada yang salah. Yang salah apa? Ya kalau saya pikir ini law enforcement-nya masih kurang ya, penegakan hukumnya masih kurang, tebang pilih dan sebagainya. Nah ini ni yang perlu diperkuat Jokowi,” kata Fadhli.

Fadhli mencermati di akhir-akhir pemerintahan Jokowi yang kurang lebih tinggal satu setengah tahun ke depan, Presiden Jokowi masih bisa membuat sebuah terobosan penegakan hukum terhadap para koruptor yang memang untuk tidak main-main dengan apa yang diperintahkan oleh Presiden, yaitu hukuman yang sangat berat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button