News

Malangnya BPK Kian Digerogoti Tikus-tikus Nakal

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kini tengah mendapat sorotan publik setelah sejumlah oknumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga yang bertugas sebagai auditor negara ini tampaknya terus digerogoti tikus-tikus nakal korupsi.

Terakhir yang menghebohkan adalah penangkapan Bupati Bogor Ade Yasin beserta tiga pejabat di Pemkab Bogor karena diduga menyuap auditor BPK Perwakilan Jawa Barat dengan nilai total Rp1,9 miliar. Dana tersebut terkait dengan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 2021. Empat oknum pegawai BPK Jawa Barat juga ditangkap sebagai penerima suap dalam kasus ini.

Sebelumnya dua oknum pegawai BPK dari Jabar juga terjerat operasi tangkap tangan oleh Kejari Kabupaten Bekasi. Satu orang ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti melakukan pemerasan terhadap 17 puskesmas dan satu rumah sakit di Kabupaten Bekasi.

Tak kalah heboh, pada 2010, dua oknum auditor BPK Jawa Barat, yakni Enang Hernawan dan Suharto ditangkap karena terbukti menerima suap dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad, dengan tujuan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengeculian (WTP) dalam laporan keuangan Pemda Bekasi tahun 2009.

Sudah banyak kasus sebelumnya yang melibatkan para oknum auditor negara di BPK ini. Tentu saja ini mengejutkan mengingat BPK satu-satunya auditor negara yang tugasnya melaksanakan fungsi pengawasan eksternal yang keberadaannya dijamin oleh konstitusi yaitu dalam UUD Tahun 1945.

Tugas Mulia BPK

BPK merupakan lembaga negara yang menjalankan tugasnya bebas dan mandiri, memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

BPK memiliki fasilitas yang cukup diberikan oleh negara, guna memaksimalkan kinerja, independensi dan keprofesionalan, sehingga harus memberikan peran dalam perbaikan tata kelola penggunaan uang negara.

Lembaga ini memiliki tugas mulia, yaitu membantu negara melakukan audit untuk mengurangi korupsi pada lembaga yang mengelola uang negara. Kita tahu bahwa korupsi masih menjadi permasalahan bangsa yang berat yang harus mendapat perhatian dan penyelesaian sampai ke akar-akarnya.

Memang BPK sejatinya bukanlah badan yang berwenang mengungkap kasus korupsi, namun memiliki kontribusi dalam membongkar kasus korupsi.

Setiap laporan yang dikeluarkan BPK selama ini menjadi pedoman pemerintah untuk memperbaiki tata kelola keuangan negara. Selama ini pula banyak temuan-temuan BPK yang berharga terutama tentang potensi korupsi dan penyelamatan keuangan negara di instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan lembaga lainnya. Rekomendasi dari lembaga ini sering ditunggu–tunggu dan menjadi acuan langkah pemerintah selanjutnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPK melakukan pemeriksaan meliputi audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu. Dari hasil laporan audit tersebut, BPK memberikan rekomendasi perbaikan-perbaikan yang dapat ditindaklanjuti oleh instansi yang diperiksa.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkannya kepada instansi yang berwenang seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, paling lama 1 bulan sejak diketahui unsur pidana tersebut. Namun ternyata ada oknum BPK sendiri malah pelaku dan bukan memberantas korupsi.

Demi Status WTP

Beberapa kasus korupsi yang melibatkan oknum nakal di BPK ini adalah terkait audit pengelolan keuangan di Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Seperti yang terjadi di kasus Bupati Bogor juga terkait dengan mempermulus jalan menuju status WTP atau Wajar Tanpa Pengecualian atas pengelolaan keuangannya.

Kementerian atau lembaga pemerintahan di pusat ataupun daerah berusaha sekuat tenaga mengejar predikat WTP. Predikat ini sangat prestisius karena dianggap mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Sehingga para kepala daerah, menteri, kepala instansi pemerintahan, dan BUMN-BUMD berlomba-lomba mendapatkan opini WTP.

Tak hanya bergengsi, juga ada manfaat tambahan berupa numerasi dan pengaruh predikat opini BPK terhadap besaran dana transfer keuangan daerah yang diberikan pusat pada anggaran berikutnya.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengungkapkan, opini WTP sejak lama ‘diperjual belikan’ sebagai pemoles citra positif kepala daerah. Predikat WTP bisa menjadi semacam laporan yang memudahkan pemda mendapat anggaran lebih besar karena dianggap cakap mengelolanya. “WTP ini jadi ‘jualan’. Artinya, bisa dipercaya kalau laporannya baik,” kata Agus, beberapa waktu lalu.

Akibatnya, segala cara dilakukan untuk mendapatkan predikat WTP ini. Salah satunya dengan jalan singkat, yakni menyuap oknum auditor BPK. Mereka tidak peduli jika opini hasil pemeriksaan keuangan menjadi akal-akalan saja bukan mencerminkan tata kelola keuangan yang sebenarnya. Karenanya tak heran jika Kota Bekasi langganan WTP, tetapi wali kotanya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi.

BPK Berbenah Diri

Yang jelas, beberapa kasus yang dilakukan oknum BPK ini menjadi sinyal perlunya peningkatan independensi, profesionalitas dan integritas para auditor negara secara sungguh-sungguh. Karena BPK masih dibutuhkan untuk menjadikan pengelolaan keuangan negara yang lebih baik.

Ketua BPK Isma Yatun mengatakan, penangkapan yang dilakukan KPK bakal menjadi pembelajaran oleh BPK. “Saya setuju kasus ini jadi pembelajaran kami di BPK,” kata Isma dalam jumpa pers menanggapi penangkapan Bupati Bogor dan oknum anggota BPK di Jakarta, baru-baru ini.

Isma memastikan pihaknya akan berbenah, dan tak menutup diri untuk diberi masukan oleh publik. “Saya juga menerima saran-saran yang disampaikan di KPK,” ucapnya.

Kita tunggu saja, apakah masih akan muncul kasus-kasus serupa. Semoga tidak. Semua masih sayang BPK yang saat ini tengah mengalami kemalangan karena digerogoti oleh tikus-tikus nakal korupsi. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button