Ia tumbuh bersama saudara kembarnya, Khasan Askhabov, yang juga menjadi petarung profesional MMA. Bersama, mereka berlatih sejak remaja, saling menguji di atas matras, memeras keringat di ruang latihan sederhana, bahkan menantang alam terbuka di pegunungan. “Khusein dan Khasan adalah gambaran sempurna bagaimana anak-anak Kaukasus ditempa kerasnya alam sejak dini,” ujar Abdurakhman Dakayev, seorang pelatih lokal di Grozny, Chechnya, yang pernah menyaksikan latihan mereka. Menurut Dakayev, pasangan kembar ini tidak hanya berlatih untuk menjadi kuat, tetapi juga untuk memahami nilai hormat, tanggung jawab, dan keberanian.
Pada malam 18 Februari 2023, di UFC Vegas 69, Las Vegas, Amerika Serikat, khalayak bela diri campuran (MMA) tak sabar menyaksikan debut yang telah lama ditunggu-tunggu. Khusein Askhabov, saudara kembar dari Khasan Askhabov, seorang petarung muda berdarah Chechnya dengan rekor sempurna 23-0 di kancah regional, akhirnya memasuki oktagon UFC. Sorotan tertuju padanya, terutama dari komunitas Muslim dan para pencinta MMA yang mengikuti geliat petarung-petarung tangguh dari Kaukasus Utara.
Sayangnya, debut yang diharapkan menjadi malam penegasan reputasi itu berujung antiklimaks. Jamall Emmers, lawan pertamanya di UFC, memaksa Khusein menelan kekalahan angka, sekaligus menghapus rekor tak terkalahkan sang pendatang baru. Kekalahan ini jelas sebuah pukulan keras bagi kariernya yang tengah menanjak. Namun dalam dunia MMA yang kompetitif, justru di titik seperti inilah cerita seorang petarung sesungguhnya dimulai: mampukah ia bangkit dan memperlihatkan jati dirinya sebagai pionir generasi baru petarung Muslim di ajang bergengsi ini?
Untuk memahami siapa Khusein Askhabov, kita perlu kembali ke akar kehidupan yang membesarkannya. Khusein lahir pada 13 Februari 1995 di Chechnya, sebuah republik di wilayah Kaukasus Utara, Federasi Rusia. Di daerah yang dikenal karena sejarah konflik dan kerasnya kehidupan sehari-hari itu, bela diri bukan sekadar olahraga, melainkan bagian tak terpisahkan dari budaya. Sejak kecil, anak-anak lelaki Chechnya akrab dengan gulat, sambo, dan berbagai seni tarung lain yang membentuk mentalitas pantang menyerah. Dari sinilah karakter Khusein terbentuk: determinasi, disiplin, dan kesediaan berkorban demi kehormatan keluarga serta komunitasnya.
Semangat itu kian menguat ketika ia tumbuh bersama saudara kembarnya, Khasan Askhabov, yang juga menjadi petarung profesional MMA. Bersama, mereka berlatih sejak remaja, saling menguji di atas matras sederhana, memeras keringat di ruang latihan, bahkan menantang alam terbuka di pegunungan. “Khusein dan Khasan adalah gambaran sempurna bagaimana anak-anak Kaukasus ditempa oleh kerasnya alam sejak dini,” ujar Abdurakhman Dakayev, seorang pelatih lokal di Grozny, Chechnya, yang pernah menyaksikan latihan mereka. Menurut Dakayev, pasangan kembar ini tidak hanya berlatih untuk menjadi kuat secara fisik, tetapi juga untuk memahami nilai hormat, tanggung jawab, dan keberanian—karakteristik yang menjadi fondasi penting dalam perjalanan mereka meniti karier di MMA.
Perlahan namun pasti, bakat Khusein terdengar hingga pentas regional Eropa Timur. Ia menorehkan namanya di World Warriors Fighting Championship (WWFC), sebuah promosi MMA yang cukup disegani, bukan sekadar menang tetapi mendominasi. Ia menggenggam sabuk juara, mempertahankan gelarnya, dan membukukan rekor tak bercela: 23 kemenangan tanpa kekalahan. Prestasi ini memikat para pencari bakat internasional, yang mulai mengamati petarung-petarung dari Kaukasus sebagai lumbung calon bintang MMA dunia.
“Setiap pengikut MMA internasional mulai sadar bahwa wilayah Kaukasus adalah lumbung petarung Muslim tangguh,” ujar Ariel Helwani, jurnalis ESPN yang banyak meliput MMA. “Nama-nama dari Dagestan seperti Khabib Nurmagomedov, Islam Makhachev, dan Zabit Magomedsharipov telah membuktikan bahwa wilayah ini menyimpan banyak talenta kelas dunia. Kehadiran Khusein Askhabov, yang datang dari Chechnya, memperluas cakupan dominasi Kaukasus di MMA.”
Jika dulu nama-nama besar Kaukasus di UFC hampir selalu dikaitkan dengan Dagestan, maka Khusein menjadi bukti bahwa Chechnya juga memiliki potensi yang tak kalah istimewa. Nama-nama petarung Chechnya seperti Khamzat Chimaev mulai bersinar, menandakan bahwa kekuatan tarung dari kawasan ini semakin beragam. Meski Chechnya dan Dagestan adalah dua entitas berbeda dengan sejarah serta dinamika tersendiri, keduanya berbagi nilai inti: kekuatan fisik, loyalitas, etos kerja keras, dan moralitas religius yang terpupuk sejak dini.
Di sinilah daya tarik Khusein sebagai pionir: ia melangkah dengan identitas budaya dan agama yang kuat, mengirim pesan bahwa generasi Muslim kaukasia ini tidak hanya terpusat di satu kawasan. Untuk menaklukkan UFC, seorang petarung tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik dan teknik, tetapi juga kesiapan mental, kemampuan beradaptasi, serta integritas pribadi.
Realitas pertama di UFC—kekalahan dari Emmers—memang pahit. Namun bagi banyak petarung besar, kekalahan awal justru menjadi pelajaran berharga. “Kekalahan di debut UFC bukan akhir segalanya,” kata Javier Mendez, pelatih ternama di American Kickboxing Academy (AKA) yang pernah membesarkan nama Khabib Nurmagomedov. “Sejumlah petarung terbaik justru tumbuh setelah menemui rintangan pertama mereka. Ini tentang bagaimana mentalitas itu dibentuk ulang. Jika Khusein mampu memetik pelajaran, meningkatkan metode latihan, menambah variasi teknik, dan meramu strategi yang lebih matang, dia akan menjadi ancaman serius di divisinya.”
Dalam perkembangannya, Khusein kembali bertarung di UFC pada September 2023. Ia berhasil meraih kemenangan tipis melalui keputusan juri, mengukir rekor 1-1 di bawah bendera UFC. Meski demikian, ia belum masuk dalam jajaran 15 besar peringkat UFC di divisinya. Kariernya di UFC masih berada dalam tahap adaptasi dan pembuktian. Ia perlu terus meningkatkan permainan grappling, striking, dan manajemen energi di dalam oktagon, serta mencari mentor yang tepat untuk memoles kemampuannya. MMA di UFC adalah sebuah lanskap kompetitif yang tak memberi ruang bagi stagnasi.
Namun, nasib berkata lain. Pada pertengahan Oktober 2023, Khusein Askhabov ditangkap oleh pihak kepolisian Thailand atas dugaan keterlibatan dalam aksi kejahatan serius, termasuk penculikan dan penyerangan terhadap seorang warga negara Italia yang tinggal di kawasan Phuket. Menurut laporan sejumlah media internasional, Askhabov—yang diduga berada di Thailand bersama saudara kembarnya, Khasan—dituduh terlibat dalam penyerangan brutal di sebuah villa, di mana korban dilaporkan dianiaya, diancam dengan senjata, dan dirampok sejumlah barang berharga serta uang tunai.
Saat ini, pihak kepolisian Thailand masih melakukan penyelidikan mendalam, termasuk memeriksa bukti forensik dan rekaman CCTV, serta meminta keterangan dari para saksi. Askhabov sendiri ditahan oleh kepolisian setempat, menunggu proses hukum lebih lanjut. Kasus ini tentu menjadi pukulan lain yang jauh lebih berat bagi kariernya daripada kekalahan di dalam oktagon.
Dari perspektif UFC, peristiwa ini dapat menjadi pembeda nasib yang signifikan. UFC dikenal tak segan mengambil tindakan tegas terhadap atlet yang tersandung masalah hukum serius. Jika tuduhan terhadap Askhabov terbukti, besar kemungkinan kontraknya akan diputus. Bayangan “pionir generasi baru petarung Muslim” yang hendak ia wujudkan bisa hancur seketika, dan peluangnya untuk merangkak naik di tangga peringkat UFC hampir pasti lenyap.
Selain dampak hukum, kasus ini juga membawa konsekuensi moral dan reputasi yang berat. Sponsor, pelatih, penggemar, dan komunitas yang semula mendukungnya bisa saja menjauh. UFC, yang mengutamakan integritas dan reputasi, jelas akan mempertimbangkan langkah-langkah tegas. Sanksi internal, pembatalan pertarungan mendatang, hingga pemutusan kontrak adalah kemungkinan yang membayangi. Karier Askhabov, yang dulunya bersinar sebagai bakat muda tak terkalahkan dari Chechnya, kini terancam redup oleh kasus kriminal yang membelitnya.
Pada akhirnya, kisah Khusein Askhabov yang semula diharapkan menjadi refleksi perjuangan panjang seorang anak Kaukasus yang ingin mengguncang dunia MMA, kini berbelok ke arah yang suram. Ia datang dengan semangat, nilai-nilai budaya, serta agama yang kuat, tetapi semuanya terancam sia-sia jika jeratan hukum di Thailand memupus mimpinya. Kini pertanyaannya bukan lagi apakah ia bisa bangkit dari kekalahan debut UFC, melainkan apakah ia masih bisa menyelamatkan kariernya yang terancam hancur sebelum benar-benar mencapai puncak.
Dunia MMA menunggu hasil proses hukum yang berlangsung. Jika Khusein Askhabov dinyatakan bersalah, maka kisahnya akan menjadi peringatan pahit bahwa bakat saja tidak cukup untuk menjadi legenda di oktagon. Namun, jika ia terbukti tak bersalah, ia masih perlu mengembalikan kepercayaan publik dan UFC. Satu hal yang pasti, cahaya yang dahulu memancar terang kini tertutup awan gelap. Masa depan Khusein Askhabov, baik sebagai petarung UFC maupun sebagai pionir generasi baru petarung Muslim dari Kaukasus, berada di ujung tanduk.