Hanya bila semua itu wujud, yang membuat MBG bisa terlaksana dan sukses, maka Prabowo bisa menepuk dada bahwa dirinya mampu menjungkirbalikkan keercayaan orang Barat pada idiom mereka. Pada saat itu Presiden Prabowo bisa berkata,”Ah, kata siapa “There is no such thing as a free lunch”? Di Indonesia bisa tuh, makan siang gratisan…”.
Saat kampanye Pilpres awal tahun lalu, banyak orang Indonesia terperangah dengan janji “Makan Siang Gratis” yang digadang-gadang Prabowo Subianto dalam visi-misinya. Janji itu seolah bertolak belakang dengan pendidikan ala Barat yang dikecap putra alm Prof. Soemitro Djojohadikusumo tersebut. Mereka heran, mana mungkin Prabowo tak kenal idiom penting dalam budaya Barat soal, “There is no such thing as a free lunch”, alias tak ada makan siang yang gratis itu?
Ah, tentu saja cerita di atas lebih mungkin sebuah anekdot fiktif. Apalagi esensi idiom itu pun punya urusan lain dari sekadar makan siang. “There is no such thing as a free lunch” mencerminkan keyakinan budaya Barat bahwa segala sesuatu memiliki biaya, baik tersembunyi maupun terang-terangan. Istilah itu berakar pada praktik bar-bar di Amerika abad ke-19, di mana makanan “gratis” yang disantap pengunjng sebenarnya telah dibayar melalui pembelian minuman (keras). Anda tahu sifat minuman keras yang melawan Hukum Gossen 1 dalam hal pemuasan konsumsi, bukan?
Idiom itu kemudian menjadi filosofi ekonomi yang populer, menegaskan bahwa dengan fakta sangat terbatasnya sumber daya, maka setiap keputusan memiliki konsekuensi.
Namun, dalam soal janji “Makan Siang Gratis” yang dilontarkan Prabowo, terdapat hal yang sangat serius. Salah satunya bahkan sangat “fenomenal”, yakni sebagai upaya Presiden Prabowo menantang idiom populer tersebut dan membuktikann bahwa makan siang gratis itu ada dan benar-benar dapat diwujudkan.
MBG, bisakah terwujud?
Sejatinya, ada niat tulus dalam janji kampanye Prabowo. Janji untuk memberikan makan siang gratis yang disampaikan Prabowo saat kampanye itu mencerminkan keinginannya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, khususnya anak-anak sekolah. Program yang sekarang dikenal sebagai “Makan Bergizi Gratis” (MBG) itu ditujukan untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan gizi anak usia sekolah.
Namun, kita tahu, janji tersebut penuh dengan halangan dan onak untuk merealisasikannya. Tantangan terbesarnya, kita tahu, pendanaan. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Februari lalu melansir angka. Lembaga pemerintah itu menghitung perkiraan biaya pelaksanaan program makan siang dan susu gratis sebesar Rp 185,2 triliun pada 2025. Angka yang muncul dalam pembahasan di rapat cabinet, Senin (26/2/2024), itu mencakup beberapa kategori sasaran. Pertama, pemberian makan siang dan susu gratis membutuhkan dana Rp 100,8 triliun per tahun dengan rincian dana makan siang gratis sebesar Rp Rp 75,6 triliun dan pemberian susu gratis Rp 25,2 triliun. Asumsinya, biaya makan siang sebesar Rp 15 ribu per anak, dan biaya susu UHT Rp 5 ribu per anak.
Kaget sendiri dengan besaran angkanya, belakangan pemerintah via Presiden Prabowo meralat besaran angka per anak, dari Rp 15 ribu menjadi Rp 10 ribu. “Kalau kita rinci, program bergizi ini nanti rata-rata minimumnya atau rata-ratanya kita ingin memberi indeks per anak, per ibu hamil itu Rp 10.000 per hari, kurang lebih,” kata Prabowo, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Tentu banyak yang skeptis, cukupkah besaran nominal tersebut memenuhi gizi anak-anak sekolah? “Bisa,”kata ahli gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Toto Sudargo. Toto menilai anggaran Rp 10.000 per porsi sudah mampu mencukupi kebutuhan gizi anak-anak sekolah, jika program tersebut dikelola efektif. “Program makan siang gratis dari Presiden Prabowo, sesungguhnya berapa pun nilainya, kalau dikelola dengan baik bisa cukup untuk pemenuhan gizi anak-anak,” kata dia.
Sekilas, kata dia, anggaran Rp 10.000 per anak bila dilihat secara individual tidak akan mencukupi. Jumlah tersebut bisa cukup dengan menerapkan subsidi silang, terutama karena program ini menyasar banyak anak. “Kalau Rp 10.000 dihitung untuk satu orang, maka tidak akan pernah terselesaikan. Tapi, karena jumlah anaknya banyak, jika dikelola dengan baik bisa, yakni dengan subsidi silang.” Okelah, daripada kita semua hanya ribut saling berdengung, melihat praktiknya di lapangan nantyi, tentu lebih baik.
Skeptisisme rakyat selanjutnya berhubungan dengan pemberitaan yang muncul usai pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing, Sabtu (9/11/2024). Komitmen pemerintah China untuk mendukung pendanaan makan siang gratis yang tertuang dalam project pendanaan “Food Supplementation and School Feeding Programme in Indonesia” itu dianggap rakyat sebagai utangan dari China. Artinya, program ini akan dibiayai utang luar negeri!
Kontan Bappenas membantah isu tersebut. Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan, menyatakan anggaran program unggulan Presiden Prabowo itu akan menggunakan alokasi anggaran pendidikan. Dia memastikan program tersebut tidak akan dibiayai utang.
“Pendanaan dari luar negeri? Oh, nggak. Ini lagi dieksplorasi, tapi most likely dia tidak akan menambah atau memperberat postur defisit,” ujar Scenaider, Rabu (3/9/2024). Pemerintah, menurutnya berkomitmen bahwa pinjaman hanya akan digunakan untuk membiayai kegiatan investasi. “Ini kan (bidang) human resources jauh ke depan. Jadi kita perkirakan bukan dari pinjaman luar negeri,”kata Scenaider. Ia bahkan memastikan anggaran MBG itu tidak akan menyentuh anggaran rutin pendidikan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menekankan bahwa pengalokasian dana MBG tidak akan mengganggu kebutuhan rutin, seperti gaji guru atau operasional sekolah. Penegasan tersebut menurut Menteri Sri penting untuk meredam keresahan publik terkait keberlanjutan program dan potensi penambahan utang negara.
Belajar dari negara lain
Inggris adalah salah satu contoh sukses dalam penerapan program makan siang gratis. Melalui program Free School Meals (FSM), pemerintah Inggris menyediakan makan siang gratis bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Program ini dibiayai pemerintah pusat dengan anggaran sekitar £2,53 per anak per hari (sekitar Rp 50 ribu), jauh lebih besar dibandingkan Rp 10.000 yang direncanakan Indonesia. Meski demikian, keberhasilan FSM didukung pengelolaan yang baik dan pengawasan ketat.
Di sisi lain, Brasil melalui program Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) memanfaatkan produk lokal untuk menyuplai kebutuhan makan sekolah. Dengan melibatkan petani dan UMKM lokal, Brasil mampu menekan biaya logistik dan memastikan kualitas makanan tetap terjaga. Indonesia dapat menjadikan kedua negara ini sebagai acuan, sambil menyesuaikan strategi dengan kondisi lokal.
Berkaca dari keberhasilan banyak negara yang telah lebih dulu menerapkan hal tersebut, tampaknya pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal berikut.
Program harus difokuskan pada wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang memiliki tingkat kerawanan pangan tinggi. Hal itu sesuai dengan data Food Security and Vulnerability Atlas yang menunjukkan daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi.
Selain itu, agar program ini sekaligus menggerakkan efek multiplier, pemerintah mau tak mau harus melibatkan UMKM lokal untuk penyediaan makanan. Ini tidak hanya akan mengurangi biaya logistic, tetapi juga memberdayakan ekonomi daerah. Menu yang disediakan pun dapat disesuaikan dengan kearifan lokal, selama tetap memenuhi standar gizi.
Selain itu, berkaca dari program-program pemerintah yang tak pernah sepi diserb “para tikus”, pengawasan harus dilakukan eksra ketat. Hal itu untuk mencegah korupsi dan memastikan dana digunakan sesuai tujuan. Program ini harus bebas dari praktik-praktik korupsi yang dapat merusak kepercayaan publik. Pada sisi inilah, seharusnya pengawasan public pun lebih dikedepankan lagi.
Seiring itu, sosialisasi dan edukasi kepada rakyat mutlak harus dilakukan. Pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat bahwa makan siang gratis ini adalah investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, bukan sekadar janji populis.
Hanya bila semua itu wujud, yang membuat MBG bisa terlaksana dan sukses, maka Prabowo bisa menepuk dada bahwa dirinya mampu menjungkirbalikkan keercayaan orang Barat pada idiom mereka. Pada saat itu Presiden Prabowo bisa berkata,”Ah, kata siapa “There is no such thing as a free lunch”? Di Indonesia bisa tuh, makan siang gratisan…”.