Kanal

Manuver Gibran, Post Demokrasi dan Pecah Kongsi Internal Koalisi

Demokrasi kita saat ini mengalami stagnasi, tidak ke arah otoritarianisme, tidak pula ke upaya penguatan demokrasi. Kondisi ini diperparah tradisi perebutan kekuasaan yang mengabaikan etika dan fatsoen politik. Praktik politik tanpa etika akan menghasilkan politik segala cara. Bila ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik Machiavelian” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.

Oleh: Wiguna Taher

Senin (22/5/2023) pagi, saya mendapat telepon dari seorang sejawat, jurnalis senior yang sarat pengalaman di bidang politik.

“Ada yang harus diluruskan dengan praktik politik kita Bang. Sebagian elit politik mengabaikan etika dan fatsoen politik yang mestinya dipegang teguh demi tegaknya demokrasi,” kata suara di seberang telepon. Intinya, sejawat jurnalis itu gundah dengan perilaku elit yang saling menusuk untuk mencapai tujuannya.

Memang jagad politik Tanah Air hari hari belakangan kian memanas seturut dengan fenomena suhu panas yang melanda hampir di seluruh pelosok negeri. Pekan pertama Mei 2023 lalu, BMKG mencatat suhu maksimum ada di angka 37,2 derajat Celcius.

Entah ada hubungan atau tidak, yang pasti sederet peristiwa politik-hukum di republik ini membuncah dan pastinya terkait dengan perebutan kursi kekuasaan 2024 nanti.

Keputusan Megawati Soekarno Putri menjadikan Ganjar Pranowo sebagai capres, seperti diduga banyak pihak memang mengubah peta dan lanskap politik nasional.

“Ini game changer yang ditunggu dalam lanskap kekuatan politik koalisi kandidasi. Pencapresan Ganjar akan menstimulasi peta koalisi partai-partai,” kata pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto.

Gun gun ada benarnya. Pencalonan Ganjar oleh PDIP seolah memotong kerja politik Jokowi dan timnya. Saat PDIP masih kukuh ingin mencalonkan Puan Maharani sebagai capres, Jokowi dan underbow-nya sejak lama mengusung nama Ganjar.

Lewat berbagai survei, campaign di media sosial, manuver di dalam koalisi, hingga serangkaian musyawarah rakyat (musra) yang digelar relawan Jokowi, nama Ganjar menggaung dan melambung sebagai capres paling populer dengan elektabilitas tertinggi. Pokoknya Ganjar is the best, selalu nomor satu.

Hubungan Jokowi-Ganjar sepertinya agak terusik saat Ganjar diusung PDIP. Semua cerita manis tiba tiba buyar. Belakangan -paling tidak hingga pekan kedua Mei 2023- Jokowi oleh banyak kalangan dinilai lebih condong ke Prabowo Subiantio.

Benar tidaknya, cuma Jokowi yang tahu. Hanya saja, kalaupun belum secara gamblang tergambar, kecenderungan itu paling tidak tercermin dari dari gerak langkah relawan Jokowi.

Saat acara puncak musra relawan Jokowi di Istora Senayan, 13 Mei 2023 lalu misalnya, Jokowi juga tidak secara bulat menyatakan dukungan kepada Ganjar. Padahal banyak kalangan menduga, perhelatan yang diinisiasi relawan Projo ini akan mengumumkan nama Ganjar sebagai capres mereka. Musra kali ini dianggap antiklimaks dan tidak sesuai dengan harapan banyak pihak.

“Relawan Jokowi Tunggu Komando Jokowi”, demikian salah satu bunyi spanduk yang dibentangkan relawan. Tetapi itu tidak terjadi. Sampai akhir acara, siapa calon presiden yang didukung musra juga belum bulat ke satu nama.

Realitas politik mutakhir terkait hal ini adalah aksi Gibran Rakabuming Raka. Putra sulung Presiden Jokowi yang menjabat Wali Kota Solo itu, membuat pendukung dan simpatisan PDIP bingung dan bisa jadi marah.

Gibran “terlibat” dalam Deklarasi Relawan Jokowi-Gibran untuk mendukung pencapresan Prabowo Subianto di Solo, Jumat (19/5/2023). Bukankah sebagai kader PDIP, Gibran harusnya tegak lurus mendukung kebijakan Sang Ketua Umum?

Ceritanya kira kira begini. Jumat itu Prabowo bertemu dengan perwakilan relawan Jokowi se-Jateng dan Jatim di Angkringan Omah Semar, Solo. Yang mengejutkan dari pertemuan itu adalah, para relawan menyatakan dukungannya kepada Prabowo menjadi capres 2024.

“Kebetulan saya di Jawa Tengah tadi pagi dari Pekalongan, kemudian sore ke Semarang malam-malam ke sini (Solo) besok (Sabtu) ke Jawa Timur. Saya mampir minta waktu mau ketemu Mas Wali (Gibran) ya jadi ternyata kok disambut seperti ini luar biasa,” kata Prabowo.

Apakah peristiwa ini sebuah kebetulan seperti yang ingin dikesankan Prabowo? Tentu saja tidak. Dalam politik, tidak ada istilah atau faktor kebetulan. Semua lazim melalui sebuah setting. Itulah politik.

Buntut dari peristiwa ini, Gibran Senin pagi (22/5/2023) dipanggil menghadap ke DPP PDIP. Dia ditemui Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua Mahkamah Partai Komarudin Watubun. “Saya sudah menjelaskan kronologi terkait pertemuan kemarin,” ujar Gibran.

Dia menyatakan akan tetap tegak lurus dengan arahan Megawati. Gibran berterima kasih mendapat nasihat dari Megawati. “Saya sebagai kader PDI Perjuangan, sebagai kader muda, saya akan tetap tegak lurus sesuai dengan arahan Ibu Ketua Umum.” imbuhnya.

Bahkan Gibran menegaskan, dirinya tidak melakukan manuver politik jelang Pemilihan Presiden 2024. “Saya tidak bermanuver, saya itu tidak di struktur partai, saya cuma kader biasa, saya masih kader partai, saya tidak punya pasukan. Manuver apa?” kata Gibran kepada awak media di Solo, Selasa (23/5/2023).

Gibran juga meminta agar pihak manapun tidak perlu panik, termasuk ketika dirinya bertemu dengan pejabat publik.

“Saya cuma anak kecil, jangan panik gitu lho ya. Saya anak kecil nggak tahu apa-apa. Semua orang saya terima, Pak Anies, kami pengajian bareng. Nanti malam juga ada pak gubernur, saya terima. Yang namanya tuan rumah kan begitu,” katanya.

“Kan limpahan suara Pak Jokowi, bukan saya. Saya nggak punya apa-apa, ra sah wedi karo aku, ra sah panik, ra sah piye-piye (tidak usah takut dengan saya, tidak usah panik, tidak usah merasa bagaimana-bagaimana),” tambah Gibran.

Di mata pengamat politik Dedi Kurnia Syah, ada dua kemungkinan penyebab relawan Jokowi dan Gibran membelot mendukung Prabowo di Pilpres 2024.

Alasan pertama, relawan Jokowi mendukung Prabowo karena tidak terakomodasi oleh PDIP dalam pengusungan Ganjar. Banyak relawan yang tidak dapat melakukan negosiasi secara langsung ke Ganjar. Kondisi ini juga senada dengan apa yang dirasakan relawan Jokowi Mania yang lebih awal meninggalkan Ganjar dan beralih ke Prabowo.

Ganjar dipandang pula telah kehilangan wibawa ketokohan dalam proses pengusungannnya. “Karena terlalu dalamnya keterlibatan Jokowi dalam menentukan pencapresan Ganjar, sehingga Ganjar hanya dianggap sebatas wayang, tidak miliki keputusan kecuali hanya patuh dan tunduk pada instruksi Megawati atau Jokowi,” ujar Dedi seperti dikutip republika.co.id, Minggu (21/5/2023).

Alasan kedua, kekacauan soliditas relawan Jokowi yang mendukung Prabowo ini juga bisa jadi hasil dari manuver Jokowi sendiri. Soalnya, Dedi meyakini, membelotnya relawan tidak mungkin tanpa restu Jokowi.

Begitu juga, Gibran yang ikut mendampingi relawan Jokowi mendukung Prabowo, tidak mungkin berani tanpa izin dari Jokowi. “Ini bisa saja hasil manuver Jokowi sendiri, ia pada dasarnya tidak suka berada dalam pengaruh Megawati, dan Ganjar tampaknya sulit dibebaskan dari kekuasaan Megawati, ini juga penanda kuat bahwa Jokowi pada dasarnya memainkan peran di dua kandidat, Ganjar dan Prabowo,” ujar Dedi.

Kondisi ini membuat Ganjar dan PDIP terancam tidak maksimal dalam pemenangan pilpres. Ini karena soliditas internal PDIP dan Ganjar yang kurang kokoh. “Karena internal mereka akan saling curiga, antara Ganjar atau Prabowo yang sebenarnya diprioritaskan oleh Jokowi,” ujarnya.

Post Demokrasi dan Fatsoen Politik

Benih perpecahan koalisi Jokowi meluas ke ranah kabinet. Diawali memanasnya hubungan Jokowi dan Surya Paloh yang berawal dari perbedaan pilihan politik di pilpres 2024. Surya Paloh mengusung Anies Baswedan, sementara Jokowi bersama partainya, PDIP, mencalonkan Ganjar Pranowo.

Kondisi kian meruncing, pasca Sekjen Partai Nasdem sekaligus Menkominfo Johnny G Plate dijadikan tersangka dan dikurung Kejaksaan Agung. Penetapan tersangka Johnny G Plate dilakukan saat momen politik yang bakal merugikan Nasdem secara elektoral. Apalagi, pemberitaan sudah mengarah bahwa duit korupsi mengarah ke partai politik.

Banyak pihak menyalahkan Nasdem. Harusnya Nasdem, secara jantan menarik tiga kadernya dari kabinet Jokowi, tatkala mereka “keluar” dari koalisi dengan mendeklarasikan Anies sebagai Capres.

Untuk hal yang satu ini, kita harus merujuk pada langkah Partai Amanat Nasional (PAN) yang dengan legowo menarik wakilnya di kabinet pada pilpres 2019 lalu. Kala itu PAN mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Konsekuensinya, Asman Abnur, kader PAN yang menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengundurkan diri.

Sikap seperti itu pula, yang sepertinya dipilih Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) sekarang ini. Meski beberapa DPW PAN sudah menyatakan dukungannya kepada Ganjar, tetapi PAN sebagai partai belum menentukan sikap.

“Sebagai bagian dari koalisi pemerintah, PAN akan terus bersama Jokowi sampai akhir. Kita apa kata Pak Jokowi,” ujar Zulhas kepada sejumlah pemred media di sela halalbihalal dengan ASN Kementerian Perdagangan,  4 Mei 2023 lalu.

Sepintas sikap Zulhas terkesan ambigu. Tetapi kita juga harus mengakui keteguhan Zulhas dalam menggenggam fatsoen politik di tengah kerasnya godaan politik praktis. Sikap ini pula selayaknya dipegang teguh para ketua partai yang terlibat dalam koalisi pemerintahan Jokowi.

Secara keseluruhan, situasi yang terjadi di negeri kita belakangan ini, digambarkan oleh Colin Crouch dalam Post-Democracy (2004). Post-demokrasi adalah situasi ketika prosedur dan institusi demokrasi berjalan dan berfungsi, tetapi energi vital-substansial demokrasi itu sendiri telah pudar dan praksis demokrasi telah dikuasai segelintir elit ekonomi dan politik yang berusaha agar kepentingan mereka diterjemahkan ke dalam kebijakan publik.

Singkat kata, demokrasi Indonesia saat ini mengalami stagnasi, tidak ke arah otoritarianisme, tidak pula ke upaya penguatan (konsolidasi) demokrasi. Kondisi di atas kemudian diperparah tradisi perebutan kekuasaan. Saat ini kita saksikan, elit politik sering mengabaikan etika dan fatsoen politik dalam merebut kekuasaan.

Konflik internal partai politik membuat group interest pelestari kekuasaan dengan mudah mengambil alih kepemimpinan partai politik. Situasi saat ini adalah dominasi monopoli sekelompok elit politik untuk memperkuat legimitasi kekuasaan yang sudah ada.

Post-demokrasi ini lazimnya beriringan dengan matinya etika politik. Politik sejatinya adalah jalan luhur mewujudkan kebaikan bersama melalui kekuasaan. Etika memberi panduan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam relasi antarmanusia.

Untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, para politikus masing-masing punya kecenderungan berbeda. Ada yang menekankan etika politik, ada pula melakukan segala cara.

Aji Setiawan ST, dalam artikelnya “Matinya Fatsoen Politik Beretika” menuliskan, problem utama politik nir-etika seperti yang dirumuskan Machiaveli akan memnculkan sekulerisasi politik. Pemisahan antara etika (moral) dan politik memberikan jarak bagi agama (ketuhanan) dalam politik. Bagi Machiaveli, urusan politik adalah urusan akal pikiran manusia, bukan perkara ketuhanan.

Atas dasar sekulerisasi itulah, politik Machiavelian memandang manusia pada dasarnya memiliki sifat keburukan, ingkar janji, tamak kekuasaan, pembohong, munafik, dan lain sebagainya. Karena itu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan bukanlah perkara keburukan. Machiavelian modern diterapkan Deng Xioping dengan semboyannya: “Tak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”.

Sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa. Bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Selain itu, kemampuan seseorang berkuasa bergantung pada legitimasi dari cara mendapatkan kekuasaan (Franz Magnis Suseno, 2001).

Praktik-praktik politik tanpa etika akan menghasilkan generasi yang akan meniru cara politik segala cara. Kekuasaan yang direbut dengan segala cara, akan jatuh dengan segala cara pula. Bila hal ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik menghalalkan segala cara” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.

Wiguna Taher, Pemimpin Redaksi Inilah.com, dirangkum dari berbagi sumber.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button