Pembina The Constitutional Democracy Initiative (Consid) sekaligus Anggota Komnas HAM RI periode 2017-2022, Amiruddin Al Rahab menyatakan fenomena calon tunggal dalam pilkada merupakan gejala dari otoritarianisme politik.
“Mengapa itu saya katakan? Jadi begini, hak memilih bagi warga negara itu adalah HAM sekaligus hak konstitusional, itu dijamin oleh konstitusi,” ucap Amir dalam disuksi ‘Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024’, dikutip di Jakarta, Senin (5/8/2024).
Ia mengatakan, fenomena calon tunggal juga bisa dimaknai dari upaya sistematis partai politik dalam mengebiri hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Amir menegaskan dengan adanya calon tunggal, justru akan membuat demokrasi berjalan mundur.
“Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi hanya tinggal cangkangnya, isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal,” tutur dia.
Amir bahkan dapat memastikan bila ada calon tunggal di sebuah daerah, maka politik tak berjalan baik di daerah tersebut, begitu juga pelayanan publiknya. Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan bahwa partai politik telah gagal menjalankan fungsi kaderisasi.
“Begitu partai-partai itu tidak mampu menciptakan tokoh, dengan sendirinya parpol sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanya orang berkumpul atas nama parpol. Dengan dua pondasi berpikir seperti ini, kita bisa lihat bahwa calon tunggal ini sangat buruk bagi demokrasi kita ke depan,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyimpulkan bila fenomena calon tunggal makin berkembang, maka napas demokrasi akan semakin tercekik.
“Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang memimpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya,” ujar dia.