Kanal

Pandemi atau Tidak, Warga Jakarta Tetaplah Gunakan Masker!

Penggunaan masker untuk warga Jakarta menjadi sebuah keharusan. Ada pandemi COVID-19 atau tidak, warga diharapkan tetap menggunakan masker sebagai bagian dari kehidupan normal. Ini karena ancaman polusi yang masih tinggi di Ibu Kota.

Anjuran penggunaan masker sejak awal pandemi terus digaungkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat bahwa wabah COVID-19 masih ada. Jokowi meminta masker tetap digunakan baik di dalam atau luar ruangan. Sebelumnya Jokowi sempat mengumumkan kebijakan pelonggaran penggunaan masker di luar ruangan pada Mei 2022 lalu. Ketika itu pandemi COVID-19 masih relatif terkendali ketimbang saat ini.

Mungkin anda suka

Sementara itu, kasus COVID-19 sampai saat ini masih mengalami penambahan signifikan. Hingga Rabu, 10 Agustus 2022 penambahan kasus positif tercatat sebanyak 5.926. Angka ini turut menambah akumulasi kasus COVID-19 di Indonesia menjadi 6.261.605 terhitung sejak Maret 2020. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan penambahan kasus positif terbanyak yaitu 2.224 kasus baru.

Masih tingginya kasus COVID-19 ini menuntut kewaspadaan kita untuk mencegah penularan dengan menggunakan masker dan menjaga jarak. Apalagi ada varian baru yang kini sedang berkembang luas di banyak negara, yakni varian BA.4 dan BA.5.

Penggunaan masker menjadi salah satu cara efektif menghalau virus corona ini. Namun sebenarnya masker tak hanya melindungi kita dari virus penyebab COVID-19, tetapi juga dari polusi udara. Masker akan sangat membantu menghalau racun dari polusi kendaraan maupun industri.

Polusi di Jakarta

Dalam beberapa saat terakhir, polusi di Ibu Kota memang cukup mengkhawatirkan. Semasa pandemi, udara Kota Jakarta lebih bersih dan sehat karena berkurangnya aktivitas kendaraan dan warga, namun kini semuanya berangsur normal. Kemacetan kembali terjadi di banyak ruas jalan, sementara beberapa industri di sekitar Jakarta mulai kembali aktif.

Studi IQAir, Air Quality Index (AQI) menyebutkan, Jakarta sebagai salah satu kota paling tercemar di Indonesia dan di seluruh dunia. Pada 20 Juni, AQI Jakarta mencapai 196, hanya sedikit di bawah kategori ‘Sangat Tidak Sehat’. Sementara Energy Policy Institute di University of Chicago’s Air dalam laporan Quality Life Index Juni, menyebut penduduk Jakarta bisa kehilangan tiga hingga empat tahun harapan hidup karena polusi udara.

Akibat tingginya tingkat polusi ini, kesehatan masyarakat Jakarta menjadi pertaruhan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat mengungkapkan, terdapat 5,5 juta kasus per tahun akibat polusi udara terjadi di Ibu Kota. Dari jumlah tersebut, biaya untuk kesehatan ditaksir mencapai Rp6,8 triliun.

“Pakar mengatakan 5,5 juta kasus penyakit disebabkan oleh pencemaran udara per tahunnya di Jakarta. Itu hampir 11 kasus setiap menitnya, dan biaya kesehatan akibat ini sekitar Rp6,8 triliun,” katanya. Pernyataan itu ia ungkapkan dua tahun lalu, bisa jadi angkanya malah lebih memburuk.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 99 persen orang terpapar polusi tingkat berbahaya seperti partikel, karbon monoksida, ozon, dan nitrogen dioksida. Polusi udara telah lama dikaitkan dengan asma, penyakit jantung dan paru-paru dan beberapa jenis kanker. Sekitar 7 juta orang per tahun meninggal sebelum waktunya karena penyebab yang berhubungan dengan polusi.

Banyak polutan yang merugikan dalam jangka pendek juga menyebabkan efek jangka panjang dari pemanasan global. Karbon dioksida, gas rumah kaca yang paling umum, sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran pertanian.

Proses yang sama menghasilkan jelaga, atau PM2.5 – partikel kecil 2,5 mikrometer atau lebih kecil yang menembus paru-paru dan memasuki aliran darah, meningkatkan risiko gagal jantung. Metana, gas rumah kaca 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida pada pemanasan planet ini, mengarah pada pembentukan ozon di permukaan tanah, komponen kunci dalam kabut asap dan oksidan yang dapat menyebabkan kerusakan paru-paru.

Penggunaan Masker

Selama ini warga sudah meyakini penggunaan masker cukup ampuh menangkal penurunan virus corona. Namun ternyata penggunaan masker seiring berjalanannya pandemi COVID-19, juga ikut berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat terutama untuk penurunan penyakit pernapasan. Di Kanada, lonjakan tahunan infeksi influenza, tidak terjadi selama dua musim dingin sejak awal pandemi.

Peningkatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penyakit paru-paru parah yang terkait dengan merokok jangka panjang, dan pneumonia non-COVID-19 yang diderita warga Kanada menurun hampir 40 persen setelah penerapan masker.

Temuan ini didukung oleh penelitian lain terhadap 15.677 pasien dari sembilan negara. Studi itu melaporkan pengurangan 50 persen dalam penerimaan rumah sakit untuk PPOK setelah timbulnya pandemi. Ini tidak sepenuhnya mengejutkan karena baik PPOK maupun pneumonia non-COVID-19 sering dipicu oleh virus flu biasa. Banyak dari kita tidak masuk angin selama hampir dua tahun.

Penggunaan masker juga efektif untuk menangkal bahaya polusi udara. Selama ini polusi seperti sudah akrab dengan kehidupan warga Jakarta. Lebih dari 20 juta kendaraan mengeluarkan asap, belum lagi asap indutri serta polusi dari para perokok sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Penggunaan masker bisa membantu menyaring racun dari polusi udara sehingga sangat tepat jika warga terus diimbau untuk menggunakannya. Tentunya sambil menunggu penanganan yang lebih serius dari pemerintah kota untuk mengurangi polusi udara. Pencemaran udara Jakarta yang semakin memburuk memang bukan masalah yang mudah untuk diatasi. Warga dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesehatan mereka sendiri dengan bermasker.

Di beberapa negara seperti Jepang, kesadaran orang menggunakan masker cukup tinggi sebagai perlindungan terhadap polusi udara. Demikian pula di Vietnam. Ini harus menjadi contoh baik bagi warga Jakarta. Pemprov DKI Jakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah mengimbau warga untuk tetap menggunakan masker saat berada di luar ruangan, mengingat situasi polusi udara yang semakin parah. Namun, imbauan ini tak akan artinya tanpa ada kesadaran dan gerakan bersama menggunakan masker yang tumbuh dari diri sendiri.

Memang menggunakan masker dalam jangka waktu lama juga tidak sehat bagi kesehatan. Dalam sebuah studi penggunaan masker N95 dan masker bedah yang berkepanjangan oleh para profesional kesehatan selama COVID-19 telah menyebabkan efek samping seperti sakit kepala, ruam, jerawat, kerusakan kulit, dan gangguan kognisi pada sebagian besar dari mereka yang disurvei.

Apalagi memakai masker di tengah panasnya suhu Ibu Kota, tentu menjadi sebuah tantangan bagi warganya. Akan terasa tidak nyaman dan menganggu. Hanya saja, upaya yang tampak sepele ini bisa bermanfaat besar bagi tubuh kita dari pencemaran zat berbahaya. Para pakar kesehatan sepakat penggunaan masker lebih penting untuk menekan penyebaran penyakit seperti pada pernapasan akibat racun polusi yang mengancam jiwa.

Jadi sebaiknya warga Jakarta, ada pandemi COVID-19 atau tidak, tetaplah menggunakan masker agar tidak menyebabkan konsekuensi kesehatan yang serius. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button