Mari Tetap “Berisik” dan “Berisi” di Media Sosial


Beberapa waktu lalu viral soal seorang tokoh publik keagamaan yang menyebut penjual es teh yang jualan di lokasi dakwah dengan sebutan yang kurang terhormat. Sang tokoh sudah datang meminta maaf dan memberi berbagai “bonus” dan “perhatian”. Dapat dilihat juga dari video pertemuan antara kedua belah pihak. Selain itu, sang tokoh sudah mengundurkan diri dari jabatan publik yang diembannya. Meski demikian, jika saya amati, perdebatan soal apa yang dilakukan tokoh tersebut masih menjadi diskursus di media sosial.

Ada yang bersikukuh bahwa tindakan sang tokoh memang sulit untuk diterima, terutama pada posisinya sebagai pejabat publik yang dibiayai oleh pajak rakyat, juga sekaligus pendakwah yang setiap kata dan lakunya harus digugu dan ditiru. Ada juga yang membela perilaku tersebut dan kemudian menyuguhkan video-video lain yang menunjukkan bahwa sang tokoh pun melakukan tindakan-tindakan yang berseberangan dengan hal yang dilakukan di video viral dan memantik amarah. Pertentangan narasi tersebut dihadirkan, terutama di media sosial, baik oleh tokoh-tokoh publik ataupun akun-akun anonim.

Untuk saya pribadi, saya berpendapat bahwa apapun alasannya, mempermalukan seseorang di hadapan publik jelas bukan hal yang mulia. Juga pesan gamblang betapa kita harus menjaga lisan dan perbuatan. Semakin nampak jelas bahwa perkara adab di atas ilmu bukan hal yang mudah diimplementasikan dalam kata dan laku. Saya merasa apa yang ada di media sosial tersebut merupakan “pendidikan”. Lagi-lagi, media sosial memang seringkali lebih gamblang memperlihatkan pendidikan yang sesungguhnya, entah itu dalam laku yang buruk yang tak patut dicontoh, atau laku beradab yang harus menjadi teladan bersama.

Studi dari Christine Greenhow & Cathy Lewin (2015) bertajuk Social media and education: reconceptualizing the boundaries of formal and informal learning memaparkan bahwa media sosial memiliki potensi untuk menjembatani pembelajaran formal dan informal melalui budaya digital partisipatif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa media sosial memberikan peluang bagi kaum muda untuk memanfaatkan kekuatan jaringan dan mencari keahlian yang relevan. Penggunaan media sosial menciptakan peluang untuk efek jaringan yang tidak terduga melalui interaksi dengan rekan di luar lingkungan sekolah, yang membentuk konstruksi pengetahuan kaum muda dengan cara yang tidak terduga (Greenhow & Cathy Lewin, 2015).

Paparan tersebut menunjukkan porsi positif yang dapat ditampilkan oleh sosial media bagi kaum muda, terutama mereka yang masih ada di ruang persekolahan. Tentu saja, anak-anak yang sesuai batasan usia sudah diperbolehkan menggunakan media sosial. Yang kemudian dapat diajukan konten seperti apa yang kemudian menjadi bagian pendidikan yang tepat bagi anak-anak muda? Jika coba menelusuri pencarian yang viral di media sosial, kecenderungan konten yang memberikan laku yang buruk lebih mudah ditelusur. Kata-kata kasar, tindakan destruktif, politik uang yang menunjukkan hasrat berkuasa, tindakan manipulatif nampak mudah ditemui di media sosial. Hal tersebut cenderung lebih mudah viral dan menjadi bahan diskusi netizen dalam waktu yang bertahan lama. Apalagi seringkali hal-hal tersebut yang paling mudah diamplifikasi dan meraup view dari netizen, dengan bantuan para influencer dan para pendengung.

Dari media sosial, jika anak-anak tak punya filter yang memadai, mereka akan mudah menyerap laku destruktif ketimbang positif. Apalagi tokoh-tokoh publik yang diharapkan memberikan pendidikan terbaik melalui laku arif bijaksana justru mempertontonkan paradoksnya. Meminta orang toleran tapi laku yang tersorot di ruang virtual justru menonjolkan hal yang sebaliknya. Mengajak masyarakat untuk berkata baik, tetapi justru terus memaki yang berbeda atau yang marjinal. Mengkampanyekan politik damai, tetapi justru mengerahkan para pendengung untuk terus bertarung di media sosial, memunculkan hoax dan caci maki. Paradoks-paradoks ini tentu bukan “pendidikan” yang baik untuk anak-anak bangsa.

Jika demikian yang terjadi, tentu sulit sekali mendisiplinkan laku para tokoh publik yang seringkali offside dalam berkata dan bertindak. Untuk anak-anak yang masih dalam rentang usia pendidikan, maka mereka harus memiliki kapasitas memadai menghadapi situasi yang kompleks dan problematik di media sosial. Beberapa literatur menekankan pentingnya literasi digital. Namun tak mudah untuk mengkonstruksi anak-anak yang memiliki kapasitas mumpuni dalam berselancar di media sosial. Apalagi, meskipun teknologi berubah cepat tetapi ada situasi mendasar yang sama yaitu mereka yang diuntungkan adalah individu-individu yang memiliki kapital yang baik serta latar belakang pendidikan yang kuatlah yang paling diuntungkan dari digitalisasi pendidikan (Selwyn, 2022).

Dalam terminologi Giroux (2023), diperlukan model pendidikan kewarganegaraan dan literasi kritis yang menjembatani pemikiran kritis dengan kemungkinan interpretasi sebagai bentuk intervensi. Giroux (2023) berpendapat, pedagogi kritis sebagai praktik moral dan politik yang berkomitmen pada realisasi bahwa tidak ada perlawanan tanpa harapan, dan tidak ada harapan tanpa visi masyarakat alternatif yang berakar pada cita-cita keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.

Sebab itu, jika berpijak pada paparan Giroux tersebut, pendidikan digital sebagai bagian dari pendidikan kewargaan yang memampukan anak-anak muda untuk lebih “berisik” dan “berisi” di media sosial dan memberikan tanggapan terhadap isu publik. Agar “berisik”-nya bisa “berisi”, maka ada proses di mana anak-anak bangsa kita wajib mendapatkan internalisasi pendidikan dan bacaan yang baik. Dengan demikian, mereka akan semakin terlibat dalam mengemban tanggungjawab kewargaan untuk memantau segala sikap dan tindakan tokoh-tokoh publik terutama yang dibiayai pajak rakyat.

Peran pendidikan mengkonstruksi kapabilitas anak-anak untuk mengkurasi setiap konten yang hadir di gawai menjadi salah satu yang perlu diperhatikan. Kelekatan anak dengan media digital atau pun media sosial rasanya sulit untuk dibendung, tetapi yang paling penting anak-anak memahami rules yang berlaku di dunia digital. Juga penting untuk bagaimana mereka memiliki manner yang memadai di dunia digital agar mereka tidak terjebak dengan laku destruktif yang ditampilkan di media sosial. Dengan akhlakul karimah yang dimiliki tentu saja mereka tidak akan menjadi produsen kebencian di media sosial.

Poin utamanya adanya mekanisme checks and balances dari warga sipil. Hal tersebut harus terus disuarakan agar para pembuat kebijakan tidak gegabah merumuskan kebijakan yang berakibat buruk pada hajat orang banyak. Wahai tokoh publik, ingatlah apa yang dilakukan di panggung publik itu terekam dan diamati oleh seluruh masyarakat. Maka berhati-hatilah, rekam jejak yang kalian tinggalkan juga jadi warisan yang akan terus dilihat oleh anak-anak bangsa.