Kanal

Mawas Diri

Sayyidina Ali berpesan pada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”

Oleh   :  Yudi Latif

Saudaraku, semalam saya diminta memberikan santapan rohani dalam acara buka puasa komunitas Bimasena.

Diingatkan bahwa puasa adalah ibadah sangat personal sebagai ajang olah batin untuk memperkuat lentera moral di kedalaman diri. Berbuat etis bukan karena peraturan atau pandangan orang lain, melainkan karena pancaran kepekaan sikap Ihsan: meskipun kita tak melihat Tuhan, namunTuhan mengetahui segala gerak-gerik perbuatan kita, menimbulkan rasa bersalah dalam batin jika melampaui batas etis.

Puasa sejati menjadi ajang mawas diri sebagai modal awal kepemimpinan. Sayyidina Ali berpesan pada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya. Orang yang menjadi pendidik dirinya lebih patut dihormati daripada yang mengajari orang lain.”

Orang yang sadar dirinya akan memahami Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya akan merefleksikan kerendahhatian dalam ketakterhinggaan kasih-Nya; semakin besar bukan menjadi kian bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman lain.  Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi aneka planet dan bintang. Seperti ketinggian gunung yang bisa memberi ruang tumbuh bagi ragam pepohonan.

Orang yang memahami Tuhannya akan menyadari keterbatasan dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya akan giat belajar dan menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok batu permata dirinya. Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan memandang setiap momen sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan bekerja untuk menyempurnakan diri.

Konfusius berkata, tujuan hidup manusia adalah belajar dan terus belajar untuk menjadi “manusia seumur hidup”. Caranya? Jika pisau diasah dengan batu, manusia harus diasah oleh sesama manusia.  Imam Syafi’i menyeru, ”Berangkatlah, niscaya engkau mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan.” Lao Tzu berkata, “Perjalanan ribuan kilometer dimulai dengan langkah pertama.”

Lewat kearifan Timur, manusia disadarkan bahwa jalan keimanan, jalan kemanusiaan, jalan kepemimpinan dimulai dari pengenalan dan penempaan diri. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button