Kanal

Mayor Agus Yudhoyono Jadi Wapres, Pantaskah?

Oleh Dr Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)

Surya Paloh telah memberi statemen bahwa Agus Yudhoyono (AHY) lebih dari pantas untuk bakal cawapres Anies. Dia menyampaikan hal tersebut ketika mengunjungi Partai Demokrat beberapa hari lalu. Isu kepantasan ini menjadi tema sentral di seputar kesempurnaan pencapresan Anies. Karena dua koalisi partai, Nasdem dan PKS,

berpikir bahwa urusan cawapres diserahkan pada capres Anies dan diperbolehkan dari luar koalisi parpol. Anies sendiri sudah menyampaikan syarat cawapresnya yakni 1) mampu meningkatkan elektabilitas, 2) mampu menjaga kohesifitas koalisi dan 3) membantu kesuksesan dalam pemerintahan.

Kerumitan penentuan cawapres di Koalisi Perubahan, demikian nama pendukung Anies, karena Anies dipersepsikan kesulitan mendapatkan suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Basis suara ini selalu merujuk masing-masing pada kelompok Sukarnois dan abangan, serta kelompok masyarakat Nahdliyin. Beberapa elit dan pemikir di lingkungan Anies meyakini satu nama, yakni Khofifah, Gubernur Jatim, merupakan sosok yang paling pantas untuk melengkapi kekurangan Anies di daerah tersebut.

Kerumitan lainnya adalah soal coattail effect (efek ekor jas), yang diartikan bahwa figur capres atau cawapres akan menaikkan jumlah suara parpolnya. Misalnya, berbagai survei mengatakan bahwa Nasdem meningkat signifikan suaranya setelah mencalonkan Anies Baswedan.

Bagaimana coattail effect parpol pendukung lainnya? Bukankah keadilan antara koalisi atau kohesifitas yang dimaksudkan Anies sangat tergantung dari cawapres Anies? Maka kemudian, meskipun parpol koalisi secara publik mengatakan cawapres Anies bebas dari internal parpol maupun dari luar, PKS dan Demokrat, berkepentingan agar cawapresnya dari internal mereka. Persoalannya apakah calon mereka mampu mengatasi kekurangan Anies di basis pemilihan Jawa? Bagaimana memilih dari PKS dan Demokrat agar urusan coattail effect tidak ada atau kecil efeknya terhadap isu keadilan dalam koalisi?

Kerumitan ketiga adalah apakah Khofifah, misalnya, sosok yang terkatagorikan sosok perubahan? Apakah tema perubahan yang dimaksudkan koalisi parpol mereka merupakan antitesis dari rezim Jokowi, mengubah haluan pembangunan ala Jokowi yang rusak? Lalu, bukankah Khofifah bagian inti rezim Jokowi?

Anies Baswedan diberitakan hari ini (Kamis 3/3/2023) akan mengunjungi Majelis Tinggi Partai Demokrat. Mungkin pembicaraan soal cawapres ini menjadi agenda utama. Anies mengatakan, masih banyak waktu untuk menentukan siapa cawapres. Namun, banyaknya waktu yang dibutuhkan memperlihatkan ketidakpastian. Semakin lama ketidakpastian berlangsung, maka konsekuensinya semakin lama goncangan untuk membangun koalisi diperlukan. Hal ini juga merugikan upaya konsolidasi gerakan mereka untuk bekerja keras.

Lalu bagaimana Anies dan partai koalisi pendukung sebaiknya memutuskan persoalan bakal cawapres ini?

Pertama, perubahan. Di atas semua kerumitan yang dikemukakan dan dibahas di berbagai perbincangan isu perubahan adalah isu krusial. Anies dan pemerintahannya ke depan harus menjanjikan dan mampu melaksanakan perubahan (change!).

Rayat Indonesia saat ini sudah muak dengan berbagai peristiwa yang dipertontonkan rezim Jokowi. Berbulan-bulan rakyat menonton TV dan berbincang di media sosial bagaimana Jenderal Sambo menjadi algojo, pembunuh. Terbongkar oknum petinggi kepolisian membekingi perjudian dan berbagai kejahatan untuk pembiayaan operasi gelap Sambo selama ini, sebuah institusi ekstra legal, yang dikenal Satgasus.

Lalu terbongkar organisasi sepak bola yang tidak becus sehingga mengakibatkan tragedi Kanjuruhan Malang, memakan korban jiwa ratusan orang dan ratusan lainnya luka-luka. Kemudian muncul lagi kasus jenderal polisi sebagai pedagang narkoba, kasus Teddy Minahasa. Lalu muncul lagi kasus petinggi kantor pajak dan bea cukai memperoleh kekayaan berlimpah secara mencolok dan tidak wajar. Muncul pula kasus Hakim Agung menjadi calo perkara. Dan lain sebagainya.

Korupsi, kejahatan dan kemewahan pejabat di era Jokowi bertengger di antara kemiskinan rakyat dan rendahnya daya beli, menjadikan Indonesia rasanya kehilangan fungsi negara. Itulah yang ingin diteruskan oleh rezim pengganti dukungan Jokowi. Sementara, Anies dan rezimnya ke depan mengatakan akan berubah. Akan menghadirkan negara yang baik hati. Perubahan. Rakyat memang membutuhkan ini, bukan hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur saja, misalnya, tapi di seluruh tumpah darah Bangsa Indonesia, tentunya.

Dalam konteks perubahan ini, calon wapres Anies dari Demokrat yakni Agus Yudhoyono maupun dari PKS, Ahmad Heryawan, misalnya, tentu saja masuk kriteria. Sebab, kedua mereka atau kedua partai mereka merupakan partai yang sangat kritis terhadap rezim Jokowi. Berbagai pembahasan UU di DPR, terutama yang masuk dalam katagori krusial, seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, UU KUHP dan UU KPK mendapatkan penolakan maupun catatan kritis dari kedua parpol mereka.

AHY sendiri dalam berbagai kesempatan menanggapi langsung Perpu Ciptaker, yakni memberi penolakan secara tegas dan pada UU KUHP, memberi catatan kritis. AHY memperlihatkan sikapnya pada isu demokrasi dan kebebasan sipil pada isu KUHP. Dalam isu Perpu Ciptaker (dan UU Omnibus Law Ciptaker), AHY memperlihatkan isu pemihakan pada kesejahteraan buruh, dan pada keselamatan lingkungan hidup. Pikiran AHY ini tentunya adalah pikiran perubahan, Change!

Kedua, sumbangan elektabilitas. Pemilu tentu saja harus dimenangkan. Namun, seberapa besar kemenangan yang akan diperebutkan?

PKS dan Demokrat tentu mempunyai basis pendukung tradisional, namun yang perlu diperhitungkan adalah dukungan baru dalam isu perubahan. Obama, di Amerika, dalam isu rasisme warna kulit, karena kulitnya hitam, berhasil mendapatkan dukungan baru di luar perkiraan. Kemenangan Obama saat itu, 2008, yang membawa isu “Change!, Yes, We Can” telah melampaui analisa-analisa tradisional bahwa basis dukungan bersifat tradisional adalah mutlak. Rakyat Amerika yang saat itu muak dengan Bush, dari berbagai golongan, berlomba-lomba mendukung Obama.

Pemikir di sekitar Anies dan koalisinya saat ini terjebak dalam kekakuan analisis pola lama. Padahal rakyat dan peradaban saat ini berubah secara eksponensial. Kenapa? Itu adalah fenomena paska pandemi COVID 19, sebuah kombinasi kehidupan baru dengan karakter, solidaritas, sensitivitas dan digital lifestyle. Pemikiran kaum elit lama selalu bias struktural, padahal rakyat telah berkembang antistruktur dan antikemapanan. Padahal rakyat tidak terlalu kaku dengan ikatan komunal lama. Apalagi kaum milenial.

Tentu saja figur dan basis dukungan tradisional ada. Misalnya Aher di masyarakat Islam dan Sunda, maupun AHY di masyarakat Jawa dan kalangan militer. Ini tentu saja perlu diperdalam hitungan optimalisasi untuk memenangkan koalisi dan keadilan coattail effect bagi kemenangan partai. Di atas semua ini harusnya koalisi memikirkan koalisi dalam sebuah sinergitas yang utuh, bukan parsial.

Sebuah pikiran resultante, misalnya dalam ilmu fisika, bukan sekadar penjumlahan biasa, namun mempunyai efek gabungan yang berlalu lipat, yang mampu menguntungkan semuanya. Di sini seharusnya kelompok Anies dan parpol memanggil ahli matematika ITB atau lainnya, menghitung dan membuat model dari sebuah koalisi parpol (Nasdem, PD dan PKS) dan efek resultantenya itu. Jangan cuma percaya lembaga survei.

Sebuah fenomena terbaru adalah pertemuan puluhan ulama besar NU di Sragen, yang diberitakan kompastv, “Risalah Sragen, Saat Puluhan Kiai Jawa Tengah dan Jawa Timur Dukung Anies Baswedan Capres 2024”, 25/2/2023. Mereka mendoakan Anies Baswedan untuk capres, sambil menitipkan nama-nama cawapres kalangan NU. Dari kalangan NU tentu saja muncul tokoh kaliber NU seperti Khofifah, dan Muhaimin Iskandar. Namun, menariknya mereka memasukkan nama AHY sebagai tokoh di luar NU. Ini menunjukkan daya jangkau AHY melampaui perkiraan tradisional.

Dukungan ulama NU ini, dan juga dukungan mantan Ketua Umum NU Said Aqil Siradj, secara terbuka di berbagai media, terhadap Anies Baswedan, juga sebuah fenomena melampaui kajian statis atas dukungan tradisional.

Kombinasi analisa baru antara pola lama berbasis dukungan tradisional, ditambahkan dengan masyarakat yang berubah serta janji perubahan dari Anies dan wakilnya memberi kita suatu hipotesis bahwa AHY, khususnya, maupun Aher dan Khofifah dapat meningkatkan elektabilitas Anies dan pasangannya.

Seberapa besar kemenangan Anies Baswedan yang diperlukan dan bagaimana menciptakan keadilan coattail effect adalah konstrain untuk didiskusikan bersama. Jika Anies memilih AHY sebagai wakil, tentunya akan memberikan tambahan elektabilitas. Itu tidak perlu diragukan lagi.

Jika elektabilitas bertambah dan dirasa cukup dengan mencari cawapres dari lingkungan internal, maka kehadiran Khofifah dari eksternal parpol koalisi, tentunya tidak menjadi faktor signifikan pada pengambilan keputusan bersama koalisi. Seperti The Three Musketeers, parpol ini bisa mengatakan, all for one and one for all.

Bagaimana efek kemenangan parpol? Dari sisi parpol kita mengetahui bahwa pengaruh figur capres/cawapres bagi PKS lebih sedikit efeknya. Sebab PKS adalah partai dakwah, yang perjalanannya bersifat kontinuitas, tidak tergantung pemilu. Sebaliknya, Nasdem dan PD sangat membutuhkan figur capres cawapres. Namun, tentu saja tugas koalisi melengkapi keuntungan yang berkeadilan yang seharusnya diperoleh PKS, sebagai pengorbanannya jika melepas kesempatan adanya calon mereka.

Ketika AHY bertarung pada Cagub DKI 2017, saya sudah menulis “Orang-orang Harvard: Catatan buat Agus Harimurti Yudhoyono”, RMOL, 26/9/2016. Tulisan saya ini mengetengahkan argumentasi bahwa AHY berkontestasi pada pemerintah sipil. Hujatan bahwa AHY hanya Mayor sedangkan Gubernur DKI level Mayor Jenderal atau Letnan Jenderal, seperti yang diutarakan peneliti LIPI saat itu, Ikrar nusa Bhakti, menurut saya kurang relevan dalam pemerintahan sipil. Jika kita tanyakan relevansi itu pada Vladimir Putin, misalnya, dia pastinya akan tertawa. Sebab, Putin adalah Letnan Kolonel, belum Jenderal dan hanya setingkat di atas Mayor. Namun, Putin adalah presiden salah satu negara terkuat di dunia.

AHY lima tahun lalu sangat pantas menjadi calon gubernur. Lalu sekarang tentu pantas jadi cawapres. Mengapa?

Transformasi yang dialami AHY selama 5 tahun ini adalah menjadi pimpinan Partai Demokrat, sebuah partai menengah dan pernah 10 tahun menjadi partai pemerintah. Pengalaman dalam parpol ini begitu besar, yakni 1) Pertarungan AHY mengalahkan Jenderal Moeldoko dalam upaya Moeldoko menggulingkan AHY dari jabatan ketua umum, beberapa tahun lalu. 2) Kecemerlangan AHY memimpin partai dalam jalan oposisi yang keras.

Saya sudah menguraikan kehebatan AHY  merespon isu isu demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kedua pengalaman penting ini menunjukkan kepemimpinan AHY sebagai Cawapres sangat pantas, sebagaimana pernyataan Surya Paloh beberapa waktu lalu.

Namun, tak kalah pentingnya adalah pendidikan AHY. Saat ini dia sedang menyelesaikan studi doktoral. Itu artinya dia akan mencapai gelar akademis tertinggi nantinya. Para pemimpin yang menyukai pendidikan dapat dipastikan sangat berguna untuk memajukan pendidikan bangsanya.

Lalu bagaimana pentingnya AHY dalam tiga persyaratan cawapres yang diinginkan Anies?

Syarat elektabilitas sudah kita bahas. Syarat kondusifitas aliansi tentu lebih baik cawapres internal. Lalu bagaimana kontribusi cawapres jika berkuasa?

Tentu saja dapat dipastikan AHY lebih baik daripada cawapres saat ini, yang tidak difungsikan secukupnya oleh Jokowi. Bahkan, dalam perhelatan G20 di Bali, wapres dianggap tidak ada sama sekali.

AHY dapat membantu Anies menghadapi isu-isu geopolitik dan separatisme. Sebagai lulusan Master Harvard di Kennedy School of Government USA dalam ilmu pemerintahan dan Master di bidang Strategic Studies di Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University, Singapura, sangatlah faham mengatasi isu keutuhan NKRI.

Agus dapat membantu Anies berdiplomasi dengan Inggris dan Australia untuk urusan Papua Merdeka, misalnya, dan untuk membebaskan pilot Susi Air. Kita tahu, selama era Jokowi, isu Papua Merdeka semakin marak. Ini adalah persoalan penting kita ke depan, selain tema perubahan.

Disamping itu, perang antara Amerika dan sekutunya berhadapan dengan China/Rusia yang semakin dekat, khususnya di Laut China Selatan, sangat membutuhkan wakil presiden yang mampu mengambil sikap dan ketegasan. Sebagai mantan militer, AHY memiliki kepekaan tinggi atas isu keamanan. Bahkan, sebagai master di bidang keilmuan itu, AHY lebih unggul dari berbagai kandidat militer lainnya, yang tidak sekolah tinggi. Apalagi Agus pernah menjadi pasukan perdamaian internasional di Lebanon. Sebuah pengalaman berharga. Sangat berharga.

Jadi pernyataan Surya Paloh tentang kepantasan AHY sebagai Cawapres, perlu diamini juga oleh Anies dan koalisinya secepatnya.

Saya sendiri yang pernah sekali melihat AHY ketika usia dua puluhan di Kostrad Karawang, duduk sederhana di antara tentara lainnya, pada saat saya mendampingi ketua olahraga Tarung Drajat, Letjen Erwin Sujono, Pangkostrad, dan Sang Guru AA Boxer, pada ekshibisi Boxer di sana, meyakini bahwa AHY bukanlah tipe keturunan elit bangsa Indonesia yang sombong. Kesederhanaan AHY mungkin sumber kekuatan dia menjadi pemimpin bangsa bersama Anies Baswedan.

Keduanya mewakili kaum muda karena ganteng, perkasa dan merakyat.

Penutup

Kunjungan Anies Baswedan ke Partai Demokrat hari ini, sebagaimana diberitakan berbagai media, harusnya semakin menguatkan pernyataannya Surya Paloh sebelumnya, bahwa AHY lebih dari pantas untuk Cawapres.

AHY memang Mayor, tapi pemimpin negara salah satu terkuat di dunia, Rusia, adalah Letnan Kolonel. Namun, keduanya super cerdas. Dalam pemerintahan sipil itu hal lumrah.

Pengalaman AHY dalam memimpin partai telah menempa dia dalam politik sipil yang keras. Dia telah mengalahkan Jenderal Moeldoko yang coba mengkudeta Agus dari kursi ketua umum Partai Demokrat. Di bawah kendali Agus Yudhoyono Partai Demokrat hampir sepuluh tahun sempurna menjadi oposisi Jokowi. Berbagai aspirasi rakyat terkait demokrasi, supermasi hukum dan kesejahteraan rakyat disalurkan AHY dan partainya menjadi isu nasional. AHY tegas menolak UU Omnibus Law yang memiskinkan buruh dan anti lingkungan hidup.

Ke depan AHY juga dibutuhkan Anies untuk mengatasi persoalan separatis Papua dan tekanan konflik global di Laut China Selatan.

Mungkin tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha pada Koalisi Perubahan menentukan Cawapresnya. Ulama-ulama NU Jatim dan Jateng mendukung AHY sebagai Cawapres, ketika berkumpul di Sragen beberapa hari lalu. AHY kompatibel dengan jaman yang berubah, yakni jaman digital dan millenial.

Dalam pandangan terbaik, AHY memenuhi apa yang diinginkan Anies dan Rakyat Indonesia. Dua kombinasi anak-anak muda yang ganteng, cerdas dan sederhana.

Semoga Allah memberkahi bangsa kita.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button