News

Media Massa, yang Amanah, yang Fasik

“Berita adalah amanat,” kata Al-Qurthubi, “dan kefasikan adalah indikasi yang membatalkannya.”

Yang dimaksud fasik oleh ulama Kordoba, Spanyol, itu dalam konteks ini tentu adalah dusta. Dengan kata lain, dusta bisa membatalkan amanah (sifat bisa dipercaya). Dalam alam modern dan kaitannya dengan dunia pemberitaan, amanah barangkali sejajar dengan kredibilitas media. Dus, manakala sebuah media massa tak lagi bisa menjaga amanahnya, ia pun dipastikan akan kehilangan kredibilitasnya.

Semua media (massa) pasti lahir dengan kehendak untuk dipercaya. Untuk dianggap kredibel. Sayang sekali, pada saat hiruk pikuk menjelang Pemilu, misalnya, tak sukar kita temukan media (massa) yang gatal untuk ikut bermain-main dengan kepentingan. Apalagi manakala pemilik media tersebut memiliki keterkaitan kuat dengan partai politik.

Lihatlah, saat ini tidaklah sulit menemukan media massa, dengan kekuatan besar untuk mengemas isu dan menanamkan persepsi, mencoba memberikan pengaruh politik dengan memanipulasi psikologi publik pembaca. Sementara di sisi lain, dengan kuatnya urgensi media massa dalam kehidupan masyarakat modern, Bartholomew H Sparrow bahkan berani menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam pemerintahan, alias the fourth branch of government. Dalam terma lain yang sejenis, media massa juga diyakini sebagai kekuatan keempat demokrasi (the fourth estate).

Tapi memang siapa yang tak gatal untuk menebas manakala memegang parang Damaskus yang cantik dan tajam? Siapa tak ingin mencoba-coba, mengetes atau apa pun namanya saat kekuasaan berada di genggaman tangan? “Jika satu-satunya yang ada di tanganmu itu palu, wajar bila semua kau lihat seperti paku,”kata Abraham Maslow, di pertengahan abad 20. Atau, “Kekuasaan itu cenderung korup,” adalah kalimat klasik Lord Acton yang sukar dinafikan bahwa ia benar. Lancung, kita tahu menjadi bagian paling elementer dari perilaku korup.

Lancungnya media massa untuk tidak berdiri di tengah dan bersikap adil itu tentu menjengkelkan. Tetapi tak ada yang lebih menjengkelkan manakala menemukan dusta-dusta itu pun kini menyebar di media sosial. Seolah virus, media sosial yang di awal-awal kedatangannya kita masuki sebagai ranah sejuk dan damai itu, kini telah mendatangkan rasa sebal tersendiri.

Barangkali karena media mainstream mematok harga iklan yang mahal, sebagian pegiat politik menggunakan laman media sosial untuk menjual diri. Baiklah, barangkali itu sah-sah saja.

Yang lebih mengganggu kita di hari-hari ini, betapa laman media sosial pun kini menjadi lahan tempat kebencian dan fitnah ditumpahkan. Bukankah kita semua sempat menemukan halaman media sosial kita diisi artikel kiriman tentang bagaimana degilnya Si Anu? Atau tentang Si Dadap yang hanya jadi boneka kepentingan tertentu, atau Si Badu yang tak bermutu karena penuh kebusukan di masa lalu?

Dulu di masa Pemilu Legislatif, misalnya. Laman saya berisikan ajakan untuk mewaspadai calon-calon anggota legislatif yang disebut tulisan itu “bermasalah”. Apa masalahnya? Mereka disebut-sebut memegang mazhab fikih tertentu dan karenanya harus diwaspadai. Untung saja saya belum menemukan warning untuk tidak memilih caleg tertentu karena mereka suka lagu dangdut dan pecinta Persib, misalnya.

Bagi saya, kebohongan–karena dilakukan tanpa mematuhi asas jurnalisme, seperti itu jelas bermasalah. Bukankah hingga kini kita menyaksikan bahwa apa yang dikatakan karib Hitler dan Menteri Propaganda Nazi Jozef Goebbels belum lagi terpatahkan?

“Sebarkanlah kepada publik kebohongan yang berulang-ulang. Pada akhirnya itu akan jadi kebenaran.” Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja. Wartawan Indonesia punya istilah keren soal ini: “diplintir”.

Tragisnya, bukanlah jenis itu yang kini seringkali datang tiba-tiba ke laman media sosial kita? [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button