Kanal

Memaksimalkan Peran Pers untuk Perlindungan Anak

Kendati sudah ada aturam atau pedoman, dalam praktiknya masih banyak pemberitaan dan tayangan televisi tidak sejalan dengan upaya perlindungan anak. Program-porgram hiburan seperti infotainment, variety show, dan sinetron masih kerap menayangkan konten-konten yang tidak positif untuk kepentingan anak. Bahkan, tayangan-tayangan berkategori jurnalistik juga sering tidak berperspektif  pada perlindungan anak.

Oleh: Drs Kawiyan, MSi

Peranan pers dalam ikut serta mengawasi pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia sangat besar. Pers menjadi “mata dan telinga” negara untuk mengawal pelaksanaan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Berbagai kasus tentang pemenuhan hak anak dan perlindungan anak yang terjadi di berbagai pelosok negeri, termasuk di daerah yang sangat terpencil pun, dapat diekspos oleh pers/media sehingga para stakeholder dapat mengetahui  dan mengambil sikap/kebijakan yang diperlukan.

Berita dan informasi yang ada di pers Indonesia menggambarkan apakah anak-anak Indonesia sudah terlindungi dan dipenuhi hak-haknya atau belum.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada Pasal 6, disebutkan bahwa Pers Nasional melaksanakan peran sebagai berikut: (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya   supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai pengejawantahan atas komitmen Pers terhadap perlindungan anak, Dewan Pers menerbitkan Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2019 tentang “Pedoman Pemberitaan Ramah Anak”.

Peraturan Dewan Pers tersebut berisi 12 butir tentang kewajiban wartawan yang harus dilakukan dalam menulis berita agar memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentungan anak.

Keduabelas butir “Pedoman Pemberitaan Ramah Anak” itu adalah :

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan;
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku.Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/ status/audio) dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Di bidang penyiaran (televisi dan radio) ada Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Penyiaran nasional, menurut UU tersebut, diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan asas manfaaat, adil dan merata, kepastian hukum dan keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab.

Untuk memberi rambu-rambu dalam penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerbitkan Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Pedoman Perilaku Penyaran  (P3) adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh KPI sebagai panduan  tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional. Sedangkan Standar Program Siaran (SPS) adalah standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan, pelarangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi berdasarkan Pedoman Perilku Penyiaran.

Dalam Standar  Program Siaran ada satu bab yaitu Bab X tentang Perlindungan Anak. Bab X tersebut berisi dua bagian yaitu Bagian Pertama: Perlindungan Anak dan Renaja, dan Bagian Kedua: Program Siaran tentang Lingkungan Pendidikan.

Pasal 15:

  1. Program siaran wajib memperhatikan dan melindungai anak dan/atau remaja;
  2. Program siaran yang berisi muatan asusila dan/atau informasi tentang dugaan  tindak pidana asusila dilarang menampilkan anak-anak dan/atau remaja;
  3. Program siaran yang menampilkan anak-anak dan/atau remaja dalam peristiwa/ penegakan hukum wajib disamarkan wajah dan identitasnya;
  4. Program siaran langsung yang melibatkan anak-anak dilarang melewati pukul 21.30 waktu setempat.

Pasal 16:

  1. Program siaran dilarang melecehkan, menghina dan/atau merendahkan lembaga pendidikan;
  2. Penggambaran tentang lembaga  pendidikan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: (a) tidak memperolok pendidik/pengajar; (b) tidak menampilkan perilaku dan cara berpakaian yang bertentangan dengan etika yang berlaku di linggkungan pendidikan; (c) tidak menampilkan konsumsi rokok dan NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) dan minuman beralkohol; (d) tidak menampilkan makian dan kata-kata kasar, dan/atau (e) tidak menampilkan aktivitas berjudi dan/ atau tindakan kriminal lainnya.

“Pedoman Pemberitaan Ramah Anak” yang dibuat Dewan Pers dan P3SPS yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran tentu saja dibuat untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Sesuai dengan Pasal 72 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, peran media massa dapat dilakukan melalui penyebaran informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Selain kaidah-kaidah normatif di atas, wartawan atau media perlu bersikap ekstra hati-hati dalam menulis atau membuat pemberitaan tentang anak.

Prof Bagir Manan (Ketua Dewan Pers periode 2010-2013, 2013-2016) menyatakan agar wartawan memahami tiga premis dalam pemberitaan tentang anak karena anak berbeda dengan manusia pada umumnya.

Ketiga premis tersebut adalah: (1) media harus memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak; (2) media harus memerhatikan asas yang bertumpu pada masa depan anak; dan (3) media mengedepankan asas keselamatan.

Kendati ada aturam atau pedoman, dalam praktiknya masih banyak pemberitaan dan tayangan televisi yang kurang atau tidak sejalan dengan upaya perlindungan anak.

Di televisi misalnya, program-porgram hiburan seperti infotainment, variety show, dan sinetron masih kerap menayangkan konten-konten yang tidak positif untuk kepentingan anak, tidak sejalan dengan upaya perlindungan anak.

Tayangan-tayangan sinetron atau hiburan lainnya banyak yang tidak cocok ditonton anak-anak dan tidak mengedukasi kepada orangtua tentang perlunya memberikan perlindungan kepada anak.

Bahkan tayangan-tayangan berkategori jurnalistik juga kerap tidak berperspektif pada perlindunag anak. Wajar jika banyak program televisi kategori jurnalistik mendapat teguran dari KPI karena tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam P3SPS.

Semoga ke depan komitmen dan peran pers dalam pelindungan anak dapat terus ditingkatkan. Selamat Hari Pers Nasioan 9 Februari 2023.

Penulis adalah Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2022-2027, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta periode 2018-20122, dan Jurnalis Televisi (1996-2018)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button