Membayangkan DPA, yang Mungkin Hanya Mengada-ada


Dewan Pertimbangan Agung (DPA), lembaga era Orde Baru yang sejak dulu kepanjangannya kerap diplesetkan dengan ‘Dewan Pensiunan Agung’ atau ‘Diam Pasti Aman’. Bahkan kelakar itu dianggap lumrah oleh Laksamana Sudomo, Ketua DPA periode 1993-1998.

Pada tahun 37 Masehi pernah hidup seorang Kaisar Romawi bernama Gaius Julius Caesar Agustus Germanicus, atau yang dijuluki Caligula. Ia adalah pemimpin yang kejam dan terkenal karena kegilaan dan kebrutalannya.

Aloys Winterling, dalam bukunya yang berjudul ‘Caligula: A Biography’ (2011) menuliskan sejumlah kegilaan yang pernah dilakukannya selama berkuasa. Diketahui, Caligula sangat mencintai salah satu kudanya yang bernama Incitatus.

Kekuasaan melupakan segalanya, Caligula juga menyebut dirinya sebagai dewa yang hidup. Karena di posisi itu ia mampu melakukan apa saja yang diinginkan. Bahkan dalam sebuah pesta besar, ia mengumumkan ingin menjadikan kudanya, Incitatus sebagai pejabat tinggi yakni penasihat kerajaan.

Dalam bukunya, Winterling menyatakan perlakuannya terhadap Incitatus bertujuan untuk menghina dan mempermalukan senator dan elit lainnya. Caligula ingin menunjukkan kepada bawahannya bahwa pekerjaan mereka sangat tidak berarti, sehingga hewan pun bisa melakukannya.

“Ingat, saya memiliki hak untuk melakukan apa pun kepada siapa pun,” kata Caligula.

Cerita di atas adalah satu dari sekian banyak kegilaan yang pernah dilakukan oleh Caligula, Kaisar Romawi yang berkuasa sejak 37-41 Masehi. Bagaimana mungkin seekor kuda dijadikan sebagai penasihat kerajaan?

Karena sejatinya penasihat bagi seorang raja adalah orang yang harus membekali pimpinannya dengan informasi yang tepat untuk mengambil keputusan terbaik. Dengan begitu, keputusan yang diambil seorang raja tentunya akan memberikan dampak yang baik juga bagi rakyatnya, bukan justu menimbulkan masalah.

Seperti halnya yang tengah dilakukan di Indonesia, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Setelah dimatikan pada 2003 lalu, kini DPA akan dibangkitkan kembali menjelang lengsernya Joko Widodo (Jokowi) dari kursi Presiden RI. DPA akan bertugas memberikan pertimbangan, masukan nasihat, dan saran kepada Prabowo Subianto setelah dilantik menjadi presiden pada Oktober 2024.

Publik beranggapan ini salah satu strategi Jokowi agar tetap berada di lingkaran kekuasaan. Dugaan itu muncul setelah tidak diterimanya wacana jabatan presiden tiga periode yang sempat berhembus sebelum Pilpres 2024.

Namun hal itu dibantah oleh mantan Gubernur DKI Jakarta itu yang menurutnya, ini merupakan usulan dari DPR RI. “Itu inisiatif dari DPR, tanyakan ke DPR,” kata Jokowi, Kamis (11/7/2024).

Lembaga yang Mengada-ada

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menilai aneh jika presiden mengatakan usulan tersebut berasal dari DPR. Karena presiden menurutnya sangat menentukan.

Terlebih lagi, lanjutnya, tidak ada undang-undang yang bisa berhasil menjadi undang-undang mulai tahapan pembentukan, perencanaan, penyusunan, pembahasan, persetujuan bersama, dan pengundangan, tanpa ada peran presiden.

“Bagi saya ini mengada-ada. Presiden sedang bermain kata-kata,” ujarnya kepada Inilah.com.

Menurutnya, RUU Wantimpres yang hendak berganti nama menjadi DPA adalah upaya yang semestinya tidak bisa dilakukan. Karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bab 4 UUD RI 1945 secara eksplisit menyebutkan DPA telah dihapuskan, sehingga tidak boleh kemudian ada pembentukan lembaga yang namanya sama.

“Bagi saya dipaksakan, ketentuan ini munculnya mengada-ada. Kalau dibahas diganti namanya tetap Dewan Pertimbangan Agung, itu jelas bertentangan langsung dengan UUD,” ungkapnya.

Adapun penggunaan nama Wantimpres adalah supaya kedudukannya berada di bawah presiden, sehingga tidak ada lagi lembaga yang setara dengan presiden, seperti DPA.

“Mari kita coba bayangkan. Pertama, kalau dia adalah lembaga terpisah maka peran orang yang mengisi posisi tersebut akan sangat kuat. Dia akan sangat kuat dan menjadi setara dengan presiden. Jadi kalau kemudian ada dugaan bahwa Ketua DPA nanti yang akan ditunjuk adalah Jokowi, dia akan sangat powerful memberikan saran masukan,” katanya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana jika sang presiden terpilih enggan mendengarkan nasihat atau menerima masukan dari tim penasihatnya? Maka, lanjutnya, bakal ada perseteruan kekuasaan.

Feri mengingatkan, seorang Ketua DPA memiliki peran yang sangat penting bahkan memiliki kekuasaan penuh, sehingga dapat masuk ke ruang-ruang presiden jauh lebih dominan dalam menentukan. Berbeda dengan Wantimpres yang sifatnya hanya masukan biasa.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini mengajak kita untuk kembali membayangkan, bagaimana jika terjadi sesuatu pada presiden, entah itu sakit atau faktor usia dan lain-lain yang tentunya akan mengganggu kinerjanya memimpin negara.

Di sanalah peran Ketua DPA sangat menentukan, termasuk menunjuk sosok yang dapat menggantikan presiden.

“Dia bukan orang di luar kekuasaan, tapi ada di bagian dalam kekuasaan itu. Oleh karena itu, berhati-hati dengan pilihan politik ini,” pesannya.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat ini menjelaskan bahwa pentingnya membayangkan apa saja yang kemungkinan dapat terjadi. 

Menurutnya, inilah yang wajib dilakukan seorang pakar hukum tata negara, termasuk berimajinasi, seperti apa dampak undang-undang ketatanegaraan itu ke depannya.

“Kok orang hukum kerjanya membayangkan? Jadi ini bedanya kami dengan beberapa teman hukum yang sangat pasti, seperti hukum pidana, dia tidak boleh berimajinasi dia harus terjadi. Kalau membicarakan penegakan hukum memang harus terjadi, tapi kalau membentuk hukum undang-undang, dia harus membayangkan apa yang akan terjadi,” jelasnya.

Fungsi dan Kedudukan DPA

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Muhammad Fauzan meminta kepada DPR RI untuk memberikan penjelasan apa fungsi dan kedudukan DPA.

“Sebagai dewan ya harus diperjelas fungsinya. Kalau fungsinya sama dengan Wantimpres buat apa (diganti)?” katanya kepada Inilah.com.

Ia pun menilai pembentukan DPA hanya sekadar bagi-bagi ‘kue’ kekuasaan usai kemenangan Pilpres 2024, dimana Prabowo Subianto diusung oleh Jokowi serta mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Jangan-jangan hanya untuk menjadi tempat atau panggung buat Jokowi. Jadi kayak memberikan ‘kue’ saja gitu loh,” ujarnya.

Mengenai hal ini Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo menjelaskan tidak ada perbedaan yang signifikan antara DPA dengan Wantimpres. Namun ia menegaskan DPA ini berbeda dengan lembaga di era Orba yang ketika itu termasuk lembaga tinggi negara.

“Dalam Revisi UUD 1945 kan sudah ada bahwa lembaga tinggi negara itu hanya ada 8 yaitu MPR, DPR, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Komisi Yudisial, dan DPD RI. Selain itu tidak ada lembaga tinggi negara, yang ada adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang,” jelasnya kepada Inilah.com.

Menurutnya lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang di antaranya Ombudsman, KPK ,OJK, Badan Pangan, Badan Karantina, termasuk BPS yang semuanya adalah bagian dari pemerintah.

Terkait dengan DPA, politikus Partai Golkar ini membeberkan revisi yang dilakukan hanya mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Adapun tugas dan fungsinya hanya memberikan nasihat, pendapat kepada presiden.

“Tetapi tidak ada hak bertanya dan tidak punya hak untuk dijawab oleh presiden, hanya memberikan masukan,” katanya.

Rangkap Jabatan

Dalam draf revisi Undang-undang (RUU) No.19 Tahun 2006 tentang Wantimpres menghapus larangan pimpinan partai politik hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) menjadi anggota DPA.

Salah satu pasal yang diubah yakni Pasal 12 Ayat (1) huruf d UU Wantimpres yang berisi ‘Anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak boleh merangkap jabatan sebagai: d. pimpinan partai politik, pimpinan organisasi kemasyarakatan, pimpinan lembaga swadaya masyarakat, pimpinan yayasan, pimpinan badan usaha milik negara atau badan usaha milik swasta, pimpinan organisasi profesi, dan pejabat struktural pada perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta’.

Draf RUU Wantimpres hanya mengatur tiga posisi yang tak boleh rangkap jabatan sebagai anggota DPA, sesuai dengan bunyi Pasal 12 Ayat (1) a, b, dan c.

‘Anggota Dewan Pertimbangan Agung tidak boleh merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. pejabat struktural pada instansi pemerintah; dan c. pejabat lain’.

Pejabat lain yang dimaksud yakni meliputi pimpinan dan anggota komisi, badan, lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dibiayai oleh APBN.

“Di pasal 12 itu ada perubahan mengenai persyaratan. Persyaratan anggota DPA itu tidak dibatasi, itu diserahkan kepada presiden sesuai dengan kebutuhan. Karena itu hak prerogatif presiden untuk menentukan para pembantunya, termasuk dewan pertimbangan itu,” ungkap Firman.

Selain menentukan jumlah anggota, presiden juga akan menentukan ketua DPA. Karena hanya presiden yang tahu betul dan paham siapa saja orang-orang yang akan dipilih.

“Dan yang menentukan ketuanya itu juga presiden. Karena presiden itu kan membutuhkan orang-orang yang profesional, yang mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya,” katanya.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi menambahkan, pada hakikatnya Wantimpres dengan DPA sama karena ditunjuk oleh presiden. Adapun yang membedakan adalah dalam revisi tersebut, DPA dibolehkan rangkap jabatan parpol dan ormas.

“Yang tidak boleh, DPA itu merangkap jabatan dengan pejabat negara lainnya. Jadi orang parpol, ormas bisa masuk tanpa melepaskan keormasannya, tanpa melepaskan kepartaiannya. Jumlahnya tergantung kebutuhan, itu saja. Kalau selebihnya itu sama,” tambahnya kepada Inilah.com.

Sementara itu Anggota Baleg DPR RI, TB Hasanuddin mengaku hingga saat ini belum ada DPA baru, karena revisi UU Wantimpres baru sekadar usulan dan memang disetujui seluruh fraksi untuk membahasnya.

“Belum direvisi dan belum ada DPA baru. Baru ada usulan dan semua fraksi menyetujui untuk membahas. Hasil pembahasannya seperti apa, belum ada keputusannya,” ungkapnya kepada Inilah.com.

Politikus PDIP itu juga belum bisa menjelaskan mengenai kedudukan DPA nanti, apakah sama dengan eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Termasuk siapa yang berhak menunjuk ketua, anggota serta apa parameternya.

“Belum (dibahas). Tapi kalau nanti pengganti wantimpres itu DPA, dan DPA itu setingkat dengan presiden, maka saya tidak setuju. Karena itu sama dengan mengoreksi UUD oleh undang-undang. Kalau mau setingkat, harus melalui amandemen UUD,” tandasnya.

(Harris Muda, Diana Rizky, Vonita Betalia)