Market

Menanti Terobosan Jokowi agar Bandara ‘Mati Suri’ Tak Jadi Besi Tua

Pemerintahan Jokowi diminta mencari terobosan sebagai solusi atas ‘mati suri’ alias sepinya infrastruktur bandara di beberapa daerah. Jika gagal, infrastruktur yang dibiayai APBN triliunan rupiah itu terancam jadi besi tua yang tidak memiliki nilai guna.

“Kalau lima tahun belum produktif, harus dipikirkan terobosan-terobosan lain untuk meningkatkan traffic. Jangan sampai infrastruktur itu menjadi besi tua! Apalagi, itu dibangun (dengan dana) dari APBN,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (23/9/2022).

Paling tidak, terdapat beberapa bandara yang ‘mati suri’ alias sepi penumpang. Bandara-bandara tersebut, antara lain:

  1. JB Soedirman, Purbalingga yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 1 Juni 2021. Proyeksi ini menelan anggaran Rp350 miliar.
  2. Ngloram, Blora yang diresmikan Jokowi pada Desember 2021. Anggaran pembangunan bandara mencapai Rp80 miliar.
  3. Wiriadinata, Tasikmalaya. Bandara yang diresmikan Jokowi pada Februari 2019 ini mengeluarkan anggaran sebesar Rp30 miliar.
  4. Kertajati, Majalengka yang dibangun dengan dana jumbo hingga Rp2,6 triliun dan diresmikan Jokowi pada 24 Mei 2018.

David mencontohkan proyek infrastruktur Monorel yang menyisakan bongkahan tiang beton dan besi tua di sepanjang jalan Kuningan. “Ini terjadi lantaran bermasalah dalam perencanaan, studi dan uji kelayakan (visibility study) dan keuangan,” ujarnya.

Lima Tahun ‘Mati Suri’, Visibility Study Bermasalah

Dia menengarai adanya kesalahan dalam visibility study jika dalam lima tahun setelah diresmikan bandara-bandara tersebut masih sepi sehingga bernilai guna (utilitas) rendah. “Ini berarti ada masalah dalam kajiannya,” timpal dia.

Diharapkan, Pemerintahan Jokowi punya terobosan sehingga setelah lima tahun infrastruktur-infrastruktur itu mengalami kenaikan traffic. “Jangan diberi jeda yang terlalu lama juga. Jangan lebih dari 5 tahun!” tukasnya.

Setalah lima tahun, seharusnya infrastruktur itu dapat menghasilkan cashflow dan bisa membiayai operasional infrstruktur bersangkutan. Sebab, tujuan infrastruk seperti jalan, bandara, dan pelabuhan agar mempermudah akses masyarakat dan logistik.

Dengan begitu, sambung David, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di darerah dapat meningkat. “Seperti Jawa-Bali sekarang mudah dilalui dengan Tol Trans Jawa. Kalau kita lagi Lebaran, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, seperti bisnis oleh-oleh yang berkembang di sepanjang jalan tol,” papar dia.

Yang diharapkan berkembang berikutnya adalah pertumbuhan sektor industrinya. Sebab, infrastruktur itu langsung menuju pelabuhan sehingga mendorong produk ekspor dan seterusnya. “Ininya sekarang yang belum tumbuh,” tuturnya.

Perlu Sinkronisasi Bandara dengan Jalan Tol

Lebih jauh David menjelaskan, sepinya empat bandara itu berkaitan dengan rencana pengembangan ekonomi di daerah masing-masing. “Salah satunya karena alasan ketidaksinkronan antara Bandara dengan jalan tol. Untuk kasus Kertajati, bandara selesai duluan dan jalan tolnya menyusul,” ujarnya. “Itu harusnya sinkron.”

Sebelumnya, ada juga bandara yang jalan tolnya belum jadi. Tapi, bandara tetap hidup karena masyarakat mengaksesnya melalui jalan arteri. “Sekarang, jalan tolnya sudah jadi, terutama untuk daerah barat Bandung, traffic di Bandara Kertajati seharusnya mulai muncul,” ungkap David.

Selain faktor akses, bandara-bandara itu terkendala faktor Pandemi COVID-19 dalam dua tahun terakhir.

Persaingan dengan Moda Transportasi Lain

“Tiga bandara lainnya berada di kota-kota kecil. Itu pasti ada persaingan juga dengan substitusinya, yakni persaingan dengan moda-moda transportasi lain yang mungkin dari segi biaya lebih murah dan akses lebih mudah,” ujarnya.

Begitu juga dengan faktor jarak dari kota. “Kalau misalnya bandara terlalu jauh dari pusat kota, penumpang akan memilih moda transportasi yang lain,” ucapnya.

Terkait jarak dari pusat kota, David mencontohkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang seharusnya langsung menuju ke pusat kota sehingga ongkosnya menjadi murah sebagaimana berlaku di beberapa negara. “Kereta cepat berbeda dengan bandara yang biasa dibangun jauh dari pusat kota,” timpal dia.

Untuk bandara di kota-kota kecil harus dilihat jarak dan persaingan dengan substitusi moda transportasi lain. “Ini sebelum dibangun seharusnya memang sudah ada kajian yang mendalam soal itu, sehingga tidak jadi persoalan baru saat beroperasi,” beber David.

Sementara Bandara Tasikmalaya dan Purbalingga, menurut dia, perkembangan ekonomi kedua wilayah itu sedang baik. “Ke depan, pengusaha-pengusaha daerah akan mengakses transportasi yang cepat, menuju kota-kota lain termasuk Jakarta,” tuturnya.

Dalam jangka panjang, bandara-bandara itu diharapkan akan berkembang dan produktif. Sebab, proyek-proyek infrastruktur itu bukan proyek yang selesai dibangun langsung traffic-nya meningkat, melainkan untuk jangka panjang. Tempo lima tahun ke depan setelah dibangun, harus produktif.

“Seperti BSD (Kawasan Bumi Serpong Damai) yang dibangun 20-30 tahun lalu dan baru berkembang sekarang. Jika proyeksi tepat dari sisi penduduk dan traffic, dan tidak ada kesalahan dalam melakukan kajian atau visibility studies, bandara-bandara itu tidak ada masalah,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button