Market

Mencari ‘Kambing Hitam’ Penaikan Harga BBM

Penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah santer menggema di ruang publik. Terlebih, Presiden Jokowi melalui Menteri Keuangan telah mengumumkan bantalan alias bantuan sosial senilai Rp24,7 triliun sebagai konpensasi pengalihan subsidi BBM. Padahal, harganya belum benar-benar ‘ketok palu’ dinaikkan.

Lantas apa biang kerok atau kambing hitam dari penaikan harga BBM? Kata ‘penaikan’ sengaja dipilih untuk menunjukkan proses. “Patut kita sadari bahwa jumlah nilai subsidi BBM saat ini telah mencapai 502 triliun (total subsidi energi), angka yang cukup besar,” kata Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (30/8/2022).

Jumlah tersebut, sambung Josua, mencapai 16% dari total belanja pemerintah dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2022. “Jika pemerintah tidak melakukan pengendalian atau menaikkan harga BBM, angka subsidi ini berpotensi bengkak jadi Rp700 triliun,” ujarnya.

Ia menilai, pilihan menaikkan harga BBM saat ini menjadi lebih realistis. Ini mengingat pengendalian konsumsi melalui digitalisasi masih membutuhkan waktu persiapan. “Padahal, kuota anggaran subsidi diperkirakan habis pada Oktober atau November 2022,” timpal Josua.

Bantalan Sosial sebagai ‘Gula-gula’

Josua juga menilai, bantalan sosial senilai Rp24,17 triliun memang diperlukan ketika harga BBM dinaikkan. “Kenaikan harga BBM akan mengerek inflasi lebih tinggi sehingga menggerus daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selama ini juga sudah mengandalkan bantuan sosial untuk menjaga daya beli mereka,” papar dia.

Dengan diumumkannya ‘gula-gula’ bantalan sosial terlebih dahulu, kecemasan masyarakat miskin mengenai daya beli mereka dapat berkurang. “Ini mengurangi potensi gejolak sosial yang mungkin terjadi,” tukas Josua.

Apakah bengkaknya subsidi energi sudah bisa diklaim sebagai ‘kambing hitam’ penaikan harga BBM? Itu bukan satu-satunya biang kerok atau biang keladi. Bengkaknya subsidi merupakan salah satu masalah di hilir, yang dipicu oleh kenaikan harga minyak global ke kisaran US$100 per barel.

Lifting Minyak Merosot

Namun, ada masalah utama di hulu, yaitu merosotnya lifting minyak. Lihat saja, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menetapkan target produksi minyak siap jual atau lifting di 2022 ini sebesar 640 ribu barel per hari (bph).

Padahal, target yang ditetapkan pada APBN 2022 sebesar 703 ribu bph. Target ini pun masih jauh di bawah kebutuhan konsumsinya yang mencapai 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Untuk menutupi kekurangannya, pemerintah tentu harus mengimpornya dengan harga yang berlaku di pasar internasional. Faktor impor inilah yang menyebabkan harga keekonomian BBM menjadi tinggi.

“Produksi minyak Indonesia dalam kurun beberapa tahun terakhir memang terus mengalami penurunan,” tuturnya.

Apa yang menyebabkan lifting minyak merosot? “Hal ini disebabkan oleh belum ditemukannya giant discovery cadangan minyak mentah yang ada,” ujarnya.

Andalkan Lapangan Minyak ‘Uzur’

Dengan demikian, lanjut Josua, hingga saat ini Indonesia masih mengandalkan lapangan minyak yang relatif sudah tua alias mature dan mengalami penurunan produksi. “Pemerintah terus mengupayakan meningkatkan produksi minyak saat ini, dengan mempertahankan produksi dari lapangan minyak yang ada, serta terus berupaya mendorong kegiatan eksplorasi,” ucapnya.

Namun sayang disayang, kata dia, tantangannya cukup besar. Ini mengingat cadangan minyak potensial saat ini bergeser dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur. Celakanya, di kawasan ini relatif minim infrastruktur. “Belum lagi dengan infrastruktur dari darat menuju laut sehingga membutuhkan investasi tinggi,” ungkap dia.

Penerimaan Negara untuk Infrastruktur dengan Efek Multiplier Tinggi

Menurut Josua, lifting minyak tidak sesimpel yang dibayangkan. “Pengelolaan anggaran negara tentu tidak mengkhususkan hasil pendapatan produksi migas sepenuhnya dialokasikan untuk subsidi BBM,” ucapnya.

Tentu ada pemanfaatan lain dari Pajak Penghasilan atau PPh Migas ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP Migas yang bisa memberikan manfaat lebih dan memiliki efek multiplier atau berganda yang lebih tinggi.

Josua mencontohkan pemanfaatannya untuk membangun infrastruktur dasar, seperti listrik, lalan dan lain-lain, serta pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. “Tentu sangat disayangkan jika pendapatan produksi migas menguap begitu saja untuk subsidi BBM, terlebih anggaran subsidi BBM ini cenderung tidak tepat sasaran,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button