Kanal

Mendag Zulhas dan Fenomena ‘Crypto Winter’

Hanya beberapa saat memukau dunia sebagai sumber investasi yang segera membuat ekonomi pelakunya ‘meroket’, kini mata uang kripto tengah mengalami apa yang disebut dunia finansial sebagai ‘crypto winter’. Bukan hanya di sisi harga, di mana mata uang kripto dari jenis dan nama apa pun kini konsisten terjun bebas, kabar seputar kripto kini senantiasa mendung dan penuh murung.

Berita baru, pada Ahad (3/7/2022) lalu startup yang dulu disebut-sebut sangat prospektif, Three Arrows Capital (3AC), kini telah bangkrut. Sepekan lalu 3AC telah mengemis pernyataan bangkrut itu dari pemerintah AS, dengan melakukan pengajuan Bab 15 dari Kode Kepailitan AS di Pengadilan Distrik New York. 3AC jatuh pailit setelah gagal menutupi posisi margin call dan luput mendapat pinjaman kripto untuk menutup masalah tersebut. Harga uang kripto yang terus ambruk di pasar dunia, menjadi penyebab utama.

Salah besar bila berpikir 3AC adalah perusahaan hedge fund kripto kaleng-kaleng. Institusi keuangan baru yang didirikan mantan pedagang Credit Suisse, Zhu Su dan Kyle Davies, itu mengelola dana sekitar US$10 miliar pada puncak kejayaannya. Tilemnya 3AC menyeret banyak perusahaan lain ke tubir kubur, meski tak separah dirinya. Pemberi pinjaman cryptocurrency lain, BlockFi misalnya, disebut-sebut mengalami kerugian sekitar US$80 juta karena runtuhnya Three Arrows Capital.

Sehari menjelang bangkrutnya 3AC, Biro Investigasi Federal AS (FBI) memasukkan nama ratu kripto, Ruja Ignatova, ke dalam daftar 10 buronan paling dicari. Ignatova masuk daftar buronan top dengan kejahatan penipuan mata uang kripto, OneCoin, yang membangkrutkan investor hingga US$4 miliar, atau sekitar Rp60 triliun.

Itu di luar kabar buruk seputar harga. Misalnya, sepanjang semester satu tahun ini, nilai uang kripto anjlok antara 50 persen hingga 80 persen. Nama-nama uang kripto utama seperti Bitcoin, Ethereum, dan lainnya, terkoreksi parah. Bitcoin ‘disesuaikan’ pasar hingga 57,27 persen, Ethereum terkoreksi 71,02 persen, sementara token Solana justru ambruk hingga 80,28 persen.

Fenomena lain yang akrab di pemberitaan kripto adalah kriminalitas. Akhir Juni lalu, misalnya, terjadi kasus hacking di pasar kripto yang membuat koin senilai Rp1,48 triliun raib begitu saja. Jelas indiden itu membuat wajah dunia kripto makin bopeng, setelah pada Maret lalu The Ronin Network, yang mendukung permainan kripto game Axie Infinity, kehilangan lebih dari US$600 juta. Belum lagi pada bulan April, Wormhole, jembatan populer dunia kripto lainnya, kehilangan lebih dari US$320 juta karena peretasan.

Oh ya, jangan berpikir dampak melempemnya duit kripto itu hanya terjadi di dunia swasta. Akibat ambruknya Bitcoin, El Salvador–negara yang pada 1980-an ngetop karena gerilyawan Sandinista itu—kini terancam bubar. El Salvador adalah negara pertama yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran sah. Maka, manakala Bitcoin ambyar di saat pertumbuhan ekonomi El Salvador ambles, rasio utang pada PDB negara itu pun kontan meroket ke angka 87 persen!

Segera saja El Salvador jadi negara paria. “Tidak akan ada yang mau meminjamkan uang, kecuali tarifnya 20 persen hingga 25 persen,” kata peneliti kebijakan di London School of Economics, Frank Muci. “Salvador sedang berjalan menuju default.”

Wajar bila sedikit contoh—dari segudang persoalan–buruknya dunia kripto itu membuat orang sangat ekstra hati-hati. Bahkan, Gubernur Bank Sentral India, Shaktikanta Das, Ahad lalu menyebut cryptocurrency sebagai ‘berbahaya’. Bagi dia, hal itu hanya sebuah spekulasi yang dibalut dengan nama canggih. Tidak hanya menyebut cryptocurrency bukan mata uang karena tidak memiliki penerbit, bukan pula instrumen utang atau aset keuangan yang kosong dari nilai intrinsic, Shaktikanta juga menyebut risiko paling besar yang dibawa cryptocurrency: pencucian uang.

Padahal, tahun-tahun kemarin banyak pihak optimistis cryptocurrency akan menjadi masa depan dari bentuk pembayaran. Sisi positifnya, cryptocurrency semakin mendekatkan manusia kepada pengaturan sendiri (self regulatory), dibandingkan pengaturan regulator terpusat, seperti bank sentral. Sudah menjadi sifatnya, manusia memang selalu ingin bebas dan membebaskan diri.

Persoalannya, sampai sejauh mana para pemain cryptocurrency bisa segera saling sepakat untuk mengatur diri atas dasar kepercayaan satu sama lain, sementara pula dunia blockchain adalah jagat penuh anonimitas.

Sejatinya, harusnya hal itu bukan persoalan besar. Kita sudah bisa melakukan hal ini dalam banyak transaksi e-commerce. Misalnya, mengapa kita mau mentransfer uang ke virtual account ketika berbelanja daring, padahal barangnya belum kita terima? Karena kita percaya penyelenggara e-commerce tidak akan menyerahkan uang kita kepada pelapak, sampai kita menerima barang pesanan kita. Tidak perlu regulasi dan regulator tingkat tinggi yang mengatur transaksi ini. Pada akhirnya trust is the regulation itself. Nyaris seperti apa yang ditunjukkan Francis Fukuyama dalam berjalannya system kapitalisme, dalam bukunya yang perlahan klasik, ‘Trust’.

Di sisi inilah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bisa berperan dan memberikan legacy untuk kebaikan Indonesia. Sebagai menteri perdagangan, manakala persoalan mata uang kripto ini menjadi tugas Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), organ di bawah Kemendag, otoritas dan peran Zulhas sangatlah signifikan.

Benar apa yang ia katakan seputar mata uang kripto ini, beberapa waktu lalu. Kita, kata Zulhas, tidak bisa membendung teknologi. Yang bisa dilakukan hanya memilih apa yang baik dan tidak, dengan memberikan edukasi yang cukup dan perlindungan yang kuat bagi seluruh stakeholder industri ini.

Potensi Indonesia di dunia kripto yang begitu besar, memang sayang untuk dilewatkan. Tapi bukan sekadar urusan cuan dan laba, tentu. Ini urusan perlindungan pemerintah terhadap warganya. Pada 2020, nilai transaksi aset kripto di Indonesia tercatat sebesar Rp64,9 triliun. Hanya satu tahun kemudian, per Desember 2021, angkanya melonjak sangat signifikan menjadi Rp859,4 triliun, dengan jumlah investor tercatat mencapai 12,5 juta pengguna.

Dengan potensi itu, wajar bila Kemendag berharap Indonesia segera memiliki bursa kripto yang lebih canggih, yang bisa melindungi pelaku kripto, baik dari sisi konsumen, trader dan developer koin atau token. Konsep ini penting, karena hanya dengan memberikan kepastian dan perlindungan untuk semua maka industri kripto Indonesia bisa maju.

Di sinilah tepatnya Indonesia mengedepankan Bappebti. Mereka telah menyiapkan infrastruktur esensial. Paling tidak, ada bursa kripto, lembaga kliring, dan pengelola tempat penyimpanan aset kripto untuk mendukung ekosistem perdagangan fisik aset kripto Indonesia.

Semoga dengan itu masyarakat investor Indonesia bisa menjadi investor berpikiran terbuka. Investor yang mengedepankan sikap prudent, rasional dan penuh kehati-hatian. Investor yang tidak gampang dirasuki sifat serakah dan rakus. Bukan para true believer-nya Gordon Gekko, tokoh tamak dalam film ‘Wallstreet’ yang diperankan Michael Douglas. “Greed is good,” katanya. Dan kita tahu, itu semata kebohongan.

Berpegang erat kepada moral, sama sekali bukan sifat konvensional yang kolot dalam hal ini. Karena hingga hari ini, sifat destruksi dari loba, tamak bin serakah itu telah menjadi bukti sehari-hari.

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,” firman Allah dalam Quran Surat Al Baqarah :96.

Dari khazanah hadits, meriwayatkan. Beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari nomor 6.436).

Itu bukan wejangan khas dunia Timur. Orang-orang purba di dunia barat pun telah lama mewanti-wanti, “Fortuna nimium quem fovet stultum facit. Terlalu banyak keberuntungan, akan membuat orang kurang hati-hati.” [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button