Kanal

Mengapa Anies Dijadikan Seperti Prometheus?

Oleh   :  Widdi Aswindi*

Tulisan ini pendapat pribadi. Sepanjang pengalaman saya mengikuti proses demokrasi di Indonesia, saya belum pernah menemukan seorang (bakal) calon presiden begitu senantiasa dipersulit seperti yang dialami Anies Baswedan. Anies mengalami serangkaian serangan tak henti, sistematis dan massif. Lebih hebat, bahkan dibandingkan Prabowo Subianto sekali pun, yang di saat setiap kali mengajukan diri sebagai calon presiden, selalu muncul gerakan “Jangan Pilih Pelanggar HAM”.

Sebagaimana terhadap Prabowo, serangan terhadap Anies pun datangnya dari kelompok “itu-itu juga”. Kelompok kecil yang nyaring—dan sejatinya lebih kepada nyinyir–, yang bersipongang kuat karena tampaknya mendapatkan dukungan pendanaan tak terkira besarnya.  Yang wajar membuat pikiran orang terarah ke situ adalah karena kuatnya dukungan media, bahkan seringkali dari media arus utama.

Labelisasi politik identitas

Tampaknya kesuksesan menempelkan label “penjahat HAM” kepada Prabowo,  menginspirasi golongan yang meletakkan persatuan bangsa di bawah kepentingan kelompoknya itu untuk juga mencobanya kepada Anies. Entah dari mana asalnya, apa raison d’etre-nya, yang jelas Anies kemudian ditelikung sebagai tokoh pengusung politik identitas.  Ujug-ujug saja ia ditahbiskan sebagai “Bapak Politik Identitas”, bahkan tanpa argumentasi yang cukup masuk akal buat publik.

Tetapi gerakan ini memang tidak memerlukan akal karena sejatinya pun tidak harus berlandaskan akal sehat. Gerakan ini hanya memerlukan sipongang, gema berulang-ulang yang diamplifikasi dengan daya sekuatnya hingga membuat orang merasa bising. Sebab hanya di saat bising meraja, manusia sehat akan menutup telinga dan menunda memakai otak mereka.

Masih ingat pernyataan Paul Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi yang bilang “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan”?  Begitulah cara kerja gerakan tersebut, dan telah mereka buktikan efektivitasnya.

Bila ingin bukti, lontarkan saja pertanyaan sederhana ini kepada diri kita sendiri. Pernahkah pihak yang melabeli Anies sebagai “Bapak Politik Identitas” itu memberikan contoh konkret Anies melakukan sesuatu atau menyatakan sesuatu yang tegas membuat tudingan itu jadi sah dan benar?

Bahkan Anies sendiri, dalam kebingungannya dituding seperti itu, berkali-kali menantang siapa pun untuk membuktikan sahnya tudingan itu secara konkret. “Jika ada secangkir air putih, tetapi 100 orang mengatakan bahwa itu adalah air keras,” kata Anies beranalogi, “Persepsi yang terbentuk adalah cangkir itu berisi air keras.” Dia menilai, cara melawannya adalah melakukan counter dengan mengumpulkan 200 orang untuk mengatakan bahwa cangkir tersebut berisi air putih, bukan air keras. “Namun, jika menggunakan strategi seperti itu, yang terjadi hanyalah kompetisi komunikasi,”kata Anies. Untuk itu, Anies memilih menantang siapa pun membuktikan kebenaran tudingan tersebut. “Kami bertugas di Jakarta, tunjukkan, sesudah berjalan lima tahun, apakah ada bukti bahwa (politik identitas) yang ditudingkan itu menemukan pembuktiannya?” kata dia.

Bila yang ditudingkan tidak menemukan pembuktian, dan ternyata memang tidak ditemukan, alhasil semua pernyataan yang digaungkan itu batal. “Batal demi akal sehat kita semua,”ujar Anies saat itu.

Persoalannya sebenarnya jauh lebih mendasar. Jika kita cermati, narasi ‘politik identitas’ di ruang publik sendiri selama ini tidak berjalan secara alamiah dan sehat. Yang terjadi hanya pengulangan cara lama yang dikenal publik sebagai khas Orde Baru saat memonopoli narasi tentang Pancasila. Alih-alih membiarkan publik berdiskursus dan menemukan konklusi tentang ‘politik identitas’ itu sendiri, negara pun bahkan terasa memonopoli wacana tentang politik identitas ini.

Entah dari mana muasalnya, dengan narasi seragam yang menguasai media, tiba-tiba kognisi kita disudutkan untuk berkesimpulan bahwa politik identitas itu buruk. Titik. Padahal, jika Wikipedia sendiri menegaskan bahwa “Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodasi kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas…”, tudingan itu sangat kedodoran untuk dipakaikan kepada Anies. Atau sebaliknya, pungsat kekecilan.

Bagaimana mungkin Anies dianggap sebagai minoritas yang harus mengusung politik identitas sebagai satu-satunya sarana memperjuangkan cita-cita? Pelototi angka perolehan Anies-Sandi saat memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Pada artikel  20 April 2017, Kompas.com menuliskan judul besar:

“Hasil Final “Real Count” KPU DKI: Anies-Sandi Unggul di Semua Wilayah”. Artikel tersebut berisi data perolehan suara yang menyatakan Anies-sandi memenangkan kesemua wilayah DKI Jakarta. Secara keseluruhan, Anies-Sandi memperoleh 57,95 persen suara, telak mengalahkan Ahok-Djarot yang meraih 42,05 persen. Bagaimana mungkin dengan perolehan suara itu Anies digolongkan minoritas hingga ia harus memakai politik identitas?

Sayangnya, media massa arus utama juga seolah lupa fungsi mereka sebagai pers, anjing penjaga demokrasi. Sejauh ini, publik melihat seolah hanya sisi bisnis saja yang jadi urusan mereka.  Lebih jauh lagi, dalam kasus Anies, media massa bahkan seperti ikut-ikutan hendak mengerkah Anies, anak hasil reformasi yang bergulir seiring sekian harapan mulia bangsa ini untuk menjunjung cita-cta demokrasi dan masyarakat madani.

Peran negara yang tak hadir nyata kecuali dalam memonopoli narasi ‘’Politik Identitas”, juga harus kita sayangkan. Bagaimanapun, ketika ‘negara’ tak hadir di saat Anies diserang narasi-narasi tanpa bukti, ada kesan kuat bahwa pembiaranlah yang terjadi. Itu membuat sisi perlindungan negara terhadap warganya, sesuatu yang menjadi tujuan dasar pendirian negara ini sebagaimana Pembukaan UUD 1945, menjadi tidak terbukti.

Mitologi Prometheus

Apa yang dialami Anies mengingatkan saya pada tokoh Prometheus dalam mitologi Yunani kuno. Prometheus adalah manusia baik yang mencuri api milik raja diraja para dewa, Zeus, dan diberikannya kepada manusia. Api—yang konon juga bisa ditafsirkan sebagai ilmu pengetahuan itu disembunyikan para dewa yang memang dekaden. Mereka tak ingin kaum manusia memiliki ‘api’ yang bisa membuat dominasi para dewa berakhir.

Zeus menghukum Prometheus dengan mengikatnya pada sebuah batu di gunung wilayah Kaukasia. Selama dibelenggu di sana, perutnya digerogoti sampai habis oleh burung elang. Lukanya akan pulih untuk kembali digerogoti secara abadi.

Mengapa saya terbayang Anies saat mengingat mitos tersebut? Pertama, sebagaimana Prometheus, Anies datang untuk membagikan harapan dan keadilan. Satu hal yang selama ini didominasi menjadi hegemoni para dewa (oligarki). Kedua, cara-cara keji para dewa menghukum Prometheus, sangat dekat dengan gaya-gaya para oligarki di sini ‘menghukum’ Anies yang tak melakukan apa pun kecuali membagi harapan akan keadilan.

Memang, tidak setiap niat baik akan direspons dengan kebaikan. Kita ingat cerita Prabu Usinara yang dikisahkan Bhisma Dewabrata menjelang ajalnya di Kurusetra. Sang Prabu sampai harus hampir mati mengiris setiap bongkah dagingnya sendiri, karena ingin menolong seekor merpati yang dikejar elang untuk santapan.

Sekian banyak cara dilakukan, hingga hal-hal yang sejatinya merendahkan akal sehat kita. Misalnya, lihat saja para Buzzer yang seperti tak bermalu mengulang-ulang wacana karena tak cukup punya amunisi isu untuk menghantam Anies.

Pekan lalu, misalnya,  beredar sebuah meme lucu. Pada meme bergambar sekian banyak foto para buzzer tersebut tertulis : “Berangkat mulai dari Politik Identitas, belok kanan ke Formula E, lalu belok kiri ke Sumur Resapan, tak ketemu yang dicari akhirnya ambil jalan pintas ke Surat Utang Pilkada, eh ternyata masih buntu juga, akhirnya diputuskan balik lagi ke Politik Identitas. Banyak nyasar jadi Bego!”  Kita boleh tak setuju meme yang diakhiri kata sarkastis itu. Tapi deskripsinya tentang urusan Anies secara kronologis sukar dinegasi.

Tentu penulis tak hendak memprovokasi publik untuk melawan narasi yang ada. Buat apa? Menyia-nyiakan tenaga dan daya, yang seharusnya bisa kita optimalkan untuk melakukan kerja-kerja real yang bisa membawa bangsa ke kebaikan. Ajakan penulis hanya satu saja. Bukan pula ajakan genuine karena telah lama dinyatakan sebagai ajakan oleh sastrawan bangsa, Pramoedya Ananta Toer: Marilah kita adil, bahkan sejak dalam pikiran.

Lainnya adalah menjaga agar tidak melupakan perjuangan Anies menyebar keadilan. Seperti kekhawatiran sastrawan cum filsuf dunia, Franz Kafka, saat menulis sebuah cerita pendek berkenaan dengan mitos yang kita bicarakan, “Prometheus”. Kafka kuatir, perjuangan Prometheus, setelah sekian lama, dilupakan manusia, kaum yang menjadi tujuan perjuangan sang pencuri api. Terlupakan, mungkin karena ketidaktahuan. Atau yang lebih parah, ketidakingintahuan alias ketidakacuhan. [  ]

* Widdi Aswindi, praktisi dan pegiat survei publik

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button