Mengapa Harga Obat di Indonesia Jauh Lebih Mahal Ketimbang Malaysia?


Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, harga obat-obatan di Indonesia tiga hingga lima kali lebih mahal daripada di Malaysia. Presiden Joko Widodo telah menugaskan kabinetnya untuk segera mengatasinya. Mengapa bisa lebih mahal?

Presiden telah menugaskan untuk segera mengatasi mahalnya harga obat-obatan dan mahalnya peralatan medis di Indonesia. Ia menekankan bahwa industri medis Indonesia perlu tangguh dan siap menghadapi pandemi di masa depan, dan menginstruksikan para menteri untuk menyusun strategi guna meningkatkan daya saing sektor farmasi, kata Menteri Kesehatan.

Dalam pertemuan Selasa (2/7/2024) di Istana Kepresidenan, Jokowi juga menanyakan apakah harga obat-obatan dan alat kesehatan di Indonesia bisa setara dengan negara tetangga. 

Malaysia termasuk negara dengan harga obat-obatan terendah. Harga obat-obatan di negeri tetangga itu bisa setengah dari harga rata-rata global, menurut Indeks Harga Obat-obatan tahun 2019 dari kelompok perawatan kesehatan digital Inggris Medbelle.

Perbedaan harga yang besar telah menyebabkan peningkatan layanan daring yang membantu konsumen Indonesia membeli obat-obatan dari Malaysia. “Selisih harga obat (di Indonesia) tiga kali lipat, lima kali lipat, dibanding Malaysia, lebih mahal 300 persen sampai 500 persen,” kata Menkes Budi.

Channel News Asia (CNA) sebelumnya melaporkan harga obat yang lebih murah di Malaysia. Media berbasis di Singapura ini menyoroti contoh seperti Twynsta, untuk obat hipertensi, atau Micardis, juga mengobati tekanan darah tinggi, serta Lipitor, yang mengurangi kadar kolesterol.

Satu kotak Twynsta yang berisi empat blister dijual seharga RM66 (Rp220.000) di Malaysia – atau sekitar Rp55.000 per blister. Tetapi CNA menemukan obat tersebut dijual seharga Rp196.700 per blister di jaringan apotek terkenal di Indonesia. Obat-obatan biasanya dijual dalam blister tunggal di negara ini.

Satu kotak berisi dua blister Micardis 40 mg di Malaysia harganya RM62 (Rp210.000, atau Rp105.000 per blister) sementara di Indonesia, harganya Rp279.000 per blister. Satu kotak berisi tiga blister Lipitor 10mg berharga RM108 (Rp374.000, atau Rp124.667 per blister) di Malaysia, sementara di Indonesia, satu blister dijual dengan harga IDR249.000.

Selain menawarkan sejumlah obat dengan harga lebih murah, Malaysia juga merupakan destinasi wisata medis yang populer bagi warga Indonesia. Pada tahun 2023, sebanyak 500.000 warga Indonesia berobat ke Malaysia. 

Menkes Budi mengatakan biaya obat-obatan yang lebih tinggi di Indonesia kemungkinan besar disebabkan oleh inefisiensi dalam jalur perdagangan serta masalah tata kelola. Ia juga mengatakan kebijakan pajak Indonesia tidak menguntungkan bagi industri farmasi dalam negeri. 

Misalnya, pemerintah tidak mengenakan bea masuk pada peralatan medis jadi seperti mesin ultrasound, tetapi mengenakan bea masuk sebesar 15 persen pada bahan mentah yang dibawa untuk dirakit di dalam negeri. “Ada inkonsistensi. Di satu sisi, Indonesia ingin mendorong (produksi dalam negeri untuk) industri, tetapi di sisi lain, insentifnya tidak sejalan,” jelas Budi. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang turut hadir dalam rapat tersebut mengatakan, Presiden juga meminta adanya perbaikan tata kelola, termasuk relaksasi pajak di sektor kesehatan. Jokowi menginstruksikan para menterinya untuk meningkatkan investasi di sektor kesehatan, termasuk produksi obat-obatan dan alat kesehatan, tambahnya. “Presiden meminta agar masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dengan harga yang terbaik,” kata Agus. 

Menkes menambahkan, dirinya bersama Menperin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diharapkan dapat menghasilkan formula untuk menurunkan harga obat-obatan dan alat kesehatan. Mereka akan melaporkannya kepada Jokowi dalam dua minggu ke depan.