Kanal

Mengapa Indonesia Masih Terbelakang dalam Inovasi?

Indonesia memiliki pengeluaran R&D dan pendidikan tersier terendah di antara negara-negara G20. Karena alasan ini, kemampuan inovatifnya tertinggal dari perkembangan dunia. Sejak tahun 2016, 2912 paten luar negeri yang terdaftar di bawah Perjanjian Kerja Sama Paten telah diberikan di Indonesia, sementara hanya 751 paten Indonesia telah diberikan.

Oleh   : Ronald Tundang dan Bryan Mercurio*

Indonesia adalah negara dengan potensi yang sangat besar. Meskipun banyak hambatan menuju kemakmurannya— termasuk akibat krisis keuangan Asia tahun 1997 — negara ini sekarang menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20. Secara tradisional merupakan ekonomi agraris, kini Indonesia beralih ke lebih banyak lapangan kerja jasa dan manufaktur.

Upaya ini telah dipromosikan dengan intervensi pemerintah yang kuat. Indonesia secara aktif mengejar kebijakan industri untuk meningkatkan kapasitas perusahaannya, yang sebagian besar milik negara, untuk bersaing dengan perusahaan asing dalam rantai nilai global.

Untuk mencapai status berpenghasilan tinggi, Indonesia harus lebih kompetitif, karena hanya menempati peringkat 50 dari 141 negara pada tahun 2019.

Peluang negara berpenghasilan menengah mencapai status berpenghasilan tinggi tergolong kecil. Hanya 16 negara berkembang yang melompat ke status berpenghasilan tinggi antara tahun 1960 dan 2014, dan banyak yang melakukannya karena keberuntungan atau bergabung dengan Uni Eropa.

Perekonomian sukses lainnya, terutama Korea Selatan, Jepang dan Singapura, melakukannya dengan menganut perekonomian bertujuan ekspor dan inovatif. Di setiap yurisdiksi, negara campur tangan untuk mengatasi kegagalan pasar atau mendorong perusahaan domestik di industri tertentu untuk berkembang.

Di Indonesia, pemerintah merupakan kontributor utama untuk penelitian dan pengembangan (litbang), dengan sektor swasta hanya menyumbang sekitar 20 persen dari pengeluaran. Pada 2021, Indonesia memusatkan Litbang di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang meniru model Singapura.

Indonesia dapat belajar dari kegagalannya, seperti ketika mencoba untuk memulai industri inovatif dengan membentuk klaster industri berteknologi tinggi seperti industri pesawat terbang. Upaya ini gagal karena tidak ada basis industri dalam negeri untuk menyediakan bahan baku seperti baja dan aluminium.

Hal ini berbeda dengan Korea Selatan yang berhasil membangun industri teknologi tinggi yang komprehensif dari hulu hingga hilir.

Pemerintah Indonesia kini tampak serius berinvestasi dan meningkatkan inovasi sebagai sarana pembangunan ekonomi.

Tetapi strateginya kehilangan komponen penting—kekayaan intelektual (IP). Pemerintah belum menyadari bahwa kekayaan intelektual berperan penting dalam mendorong kapasitas inovatif dan komponen penting dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Revolusi Industri mengilustrasikan keunggulan negara-negara Barat dalam mengangkat umat manusia keluar dari perangkap Malthusiannya karena sifat penemuan didemokratisasi. Itu memungkinkan siapa pun yang menghasilkan ide-ide baru yang mampu diterapkan secara komersial dan industri dilindungi oleh hak kekayaan intelektual.

Tentu saja, tingkat penemuan tidak selalu sebanding dengan ukuran populasi karena pemerintah harus mengembangkan kemampuan inovatif.

Hal itu jarang terjadi di Indonesia. Populasinya yang besar dan pemerintah pusat yang kuat dapat menjadi kewajiban karena pengeluaran publik sering kali difokuskan pada kesejahteraan sosial, bukan pada pendidikan atau kemajuan individu. Indonesia memiliki pengeluaran R&D dan pendidikan tersier terendah di antara negara-negara G20.

Karena alasan ini, kemampuan inovatifnya tertinggal dari perkembangan dunia. Sejak tahun 2016, 2912 paten luar negeri yang terdaftar di bawah Perjanjian Kerja Sama Paten telah diberikan kepada Indonesia, sementara hanya 751 paten yang bisa Indonesia berikan.

Kebijakan industri Indonesia dalam satu dekade terakhir berfokus pada upaya mendorong langkah-langkah non-tarif, seperti persyaratan kandungan lokal serta insentif pajak untuk mengarahkan investasi hilir di berbagai sektor, mulai dari pertambangan hingga manufaktur.

Keberhasilan pendekatan semacam itu patut dipertanyakan karena kebijakan tersebut belum mendorong daya saing global industri-industri tersebut. Sektor manufaktur masih bergantung pada permintaan domestik dan hanya beberapa produk yang menjadi ekspor paling signifikan.

Sudah waktunya bagi Indonesia untuk memikirkan kembali prioritas dan kebijakan industrinya untuk menganut gagasan ekonomi inovatif. Akumulasi pengetahuan melalui pendidikan tinggi dan perolehan keterampilan yang ditargetkan akan memungkinkan negara untuk melompati kurva pembelajaran.

Dengan cara ini, Indonesia dapat mengakses ide dan teknologi asing sebelum mengembangkannya lebih jauh seperti yang dilakukan ekonomi Asia awal industrialisasi pada 1960-an-1990-an.

Untuk melakukannya, Indonesia harus memadukan inisiatif kebijakan dengan tepat. Dorongan harus tentang mendorong inovasi dan penemuan dengan cara yang akan membenarkan perlindungan IP yang lebih kuat.

Industri farmasi akan menjadi penerima manfaat dari ekonomi inovatif yang baru dan direvitalisasi. Indonesia ingin menjadi pusat farmasi regional, tetapi transformasi itu tidak akan mudah. Perusahaan Amerika Utara dan Eropa mendominasi lanskap paten farmasi, sementara perusahaan China dan India memproduksi merek generik murah di bawah lisensi.

Indonesia berkeinginan untuk menjadi inovator dan produsen berbiaya rendah, namun juga berupaya membantu kepentingan hilir dengan mensyaratkan persyaratan kandungan lokal untuk memfasilitasi penjualan kepada pemerintah.

Menjadi seorang inovator akan sulit tanpa perencanaan yang matang dan pengembangan kebijakan, karena negara tidak memiliki basis industri yang kuat dan saat ini memiliki tingkat R&D yang rendah. Bersaing sebagai produsen juga akan memakan waktu karena produsen harus mencari cara untuk memangkas biaya dan mengembangkan industri bahan mentah.

Indonesia harus memastikan bahwa kerangka IP-nya optimal dan memungkinkan negara untuk memanfaatkan, melompati, dan maju dalam mengembangkan obat baru dan menjadi pemegang lisensi tepercaya untuk manufaktur.

Prospek pertumbuhan Indonesia tidak akan maju tanpa budaya inovasi yang lebih kuat. Negara harus menggeser prioritas kebijakan industrinya dan menciptakan sistem terintegrasi yang mendorong dan mempromosikan inovasi dan penemuan. Langkah pertama adalah mengembangkan basis industri hulu yang kuat dan selanjutnya mengembangkan industri hilir. [Asia Times]

Ronald Tundang adalah kandidat PhD di The Chinese University of Hong Kong. Bryan Mercurio adalah guru besar Ilmu Hukum di The Chinese University of Hong Kong.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button