Kanal

Mengapa Kebut Pindah Ibu Kota Negara, Tak Ada Urgensinya

Ibu Kota Negara akan pindah ke Kalimantan Timur, tepatnya berada di berada di antara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Proses pemindahan Ibu Kota Negara ini sudah resmi dijadikan undang-undang, yaitu Undang-undang Ibu Kota Negara.

Peraturan ini diketok sah oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, setelah sebelumnya menolak interupsi dari salah seorang anggota dewan. Hanya Partai Keadilan Sejahtera yang menolak, sedangkan partai lainnya menerima keputusan ini.

Seakan seperti dikebut dalam semalam, kebijakan yang menuai pro dan kontra di masyarakat ini menurut hemat kami belum memenuhi unsur urgensi, terlebih pada saat pandemi Covid-19 yang masih terus berlarut-larut.

Beberapa alasan yang dikemukakan pemerintah ini dengan tujuan:

-Mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek
-Mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur
-Mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris
-Memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila
-Meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif
-Memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.

Alasan-alasan di atas sebenarnya sangat debatable. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah nantinya setelah Ibu Kota Negara pindah, akan ada jaminan pembangunan merata, jawa tidak lagi menjadi sentral? Bagaimana kita menjawab pemindahan Ibu Kota Negara bertujuan untuk merepresentasikan identitas bangsa yang bhineka? Terdengar aneh dan kurang logis.

Semua alasan yang dikemukakan pemerintah sebenarnya sangat bisa diwujudkan tanpa melakuka pemindahan Ibu Kota Negara, setidaknya untuk saat ini, dimana banyak dana yang terserap untuk penanganan COVID-19.

Seperti pemerataan pembangunan ke wilayah timur, mengelola pemerintah pusat yang efektif, hingga menerapkan konsep smart city, bisa dilakukan tanpa memindahkan Ibu Kota. Kita bisa lihat Jakarta yang sekarang juga sudah menjadi smart city. Hal yang cukup teknis ini bisa dilakukan tanpa pemindahan Ibu Kota Negara.

Alasan selanjutnya adalah Ibu Kota Negara baru nantinya akan menjadi representasi identitas bangsa yang bhineka. Persoalan kebhinekaan, termasuk penerapan penghayatan terhadap Pancasila adalah sesuatu yang abstrak, berada pada ranah pikiran. Satu-satunya jalan mewujudkannya adalah dengan kebijakan yang mendukung keberagaman, dan mengusung keadilan sosial dan kesejahteraan.

Cerminan bangsa yang bhineka dan masukanya Pancasila dalam penerapan kesaharian bisa dilihat dari undang-undang, perpres, kepres, perda, pergub, dan segenap peraturan lain yang tidak membuat diskrimasi pada setiap warga negara. Dan ini bisa dilakukan tanpa pemindahan Ibu Kota Negara.

Ibu Kota Negara kita memang pernah pindah, namun alasan di balik pemindahan itu sangat darurat atau memenuhi unsur urgensi.

Yogyakarta

Yogyakarta sempat menjadi Ibu Kota Indonesia dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949. 29 September 1945, Jakarta kembali jatuh ke tangan Belanda. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengusulkan supaya ibu kota untuk sementara dipindahkan ke Yogyakarta karena sebagai negara yang berdaulat, Ibu Kota harus bebas dari penjajahan.

Bukittinggi

Bukittinggi pernah dipilih sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) menggantikan Yogyakarta yang jatuh ke tangan Belanda mulai Desember 1948 hingga Juni 1949. Kota di Sumatera Barat ini jadi Ibu Kota Negara, karena Yogyakarta jatuh dan dikuasai Belanda. Sehingga, karena para pemimpin termasuk Soekarno ditangkap dan diasingkan, akhirnya Syafrudin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan di Bukittingi.

Jadi ada urgensi untuk pemindahan Ibu Kota Negara sifatnya harus sangat darurat, sementara kebijakan yang ada saat ini belum memenuhi unsur tersebut, karena alasan-alasan yang dijadikan pijakan pemerintah masih bersifat normatif.

Anggaran Ratusan Triliun, Dari Mana?

Berapa sebenarnya angka anggaran proses pemindahan Ibu Kota Negara ini? Dari sumber di media-media massa ada yang menyebutkan anggarannya mencapai 500 triliun bahkan lebih. Meski belum ada angka pasti karena ditemukan beberapa versi anggaran pemindahan IKN. Bahkan dalam undang-undangnya sendiri tidak menyebutkan secara rinci anggaran tersebut.

Hal ini menandakan, sebenarnya pemindahan dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Penghitungan belum dilakukan secara maksimal, sehingga bisa saja terjadi pembengkakan biaya dari anggaran yang memang sudah bengkak ini.

Bersumber dari situs Katadata, ternyata 61.9% responden mereka tidak setuju dengan pemindahan IKN, alasan utama mereka di antaranya adalah pemborosan anggaran, utang yang akan bertambah hingga isu kemiskinan yang harus jadi sorotan utama. Kesenjangan sosial di Indonesia tergolong sangat tinggi. Bahkan disebutkan 1% warga Indonesia menguasai 50% aset nasional, dan 90% warga kita memperebutkan 30% aset yang ada. Ini senjang sekali, pemerintah harusnya lebih mengutamakan hal ini dibandingkan buru-buru proses pemindahan IKN.

Banyaknya utang luar negeri harusnya jadi perhatian khusus. Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah hingga akhir 2021 adalah Rp 6.908,87 triliun. Dengan rasio utang 41% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) RI. Utang ini naik Rp 834,31 triliun dibandingkan dengan akhir tahun 2020. Lantas menjadi pertanyaan besar bagaimana dengan utang yang demikian besar, proses pemindahan IKN akan dilakukan?

Dalam UU IKN disebutkan “Pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN, serta penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN bersumber dari APBN dan atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Siapa sumber lain ini? Apakah pengusaha? Para konglomerat? Kita tidak akan pernah tahu. Karena jika melihat pengalokasian anggaran dari sumber APBN saja sudah dipastikan tidak mencukupi. Alasan ini juga mempertegas bahwa pemindahan IKN tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang alias terkesan asal kebut, jadi, pindah.

Saat Ini Banyak yang Lebih Urgent dari Pindah IKN

Beberapa hal yang harusnya menjadi perhatian pemerintah adalah, pemberantasan kemiskinan, bagaimana bahan pokok harganya tetap stabil, karena kita bisa lihat beberapa bulan belakangan harga minyak goreng naik tidak terkendali, impor-impor bahan pokok masih terus terjadi, sedangkan seharusnya pemerintah fokus mewujudkan swasembada.

Tenaga kerja asing yang terus masuk ke Indonesia, bahkan menurut rilis media, tenaga kerja yang ada di sini justru malah mendapat transfer ilmu dari pekerja lokal, sementara pengangguran kita masih tinggi. Azyumardi Azra bahkan sempat sewot kepada pemerintah karena ia menemukan sendiri, pekerja asing di Morowali adalah pekerja kasar, bukan para expert atau ahli yang didatangkan dari luar negeri. Data Badan Pusat Statistik juga menyebutkan ada 9 juta lebih warga negara yang menganggur dan butuh pekerjaan. Menurut Katadata, tenaga kerja asing asal Tiongkok mendominasi di Indonesia dengan jumlah mencapai 38 ribu pada lebih.

Masalah negara ini sangat kompleks untuk diselesaikan dan diurai jika memang orientasi kebijakan pemerintah pada kesejahteraan rakyat, entah jika ada orientasi lainnya. Dan, penyelesaian masalah tersebut bukan dengan pemindahan IKN.

Penulis: Ananda Puja Wandra (Aktivis, Pegiat, dan Praktisi Media Sosial)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ananda Puja Wandra

Jurnalisme Warga - Penulis merupakan Aktivis, Pegiat, dan Praktisi Media Sosial
Back to top button