BerbagiRamadan

Mengapa Masih Ragu untuk Berzakat?

Topik soal zakat selalu muncul ketika bulan Ramadan. Pada bulan suci ini semangat umat Muslim untuk menunaikan kewajiban berzakat cukup tinggi. Apalagi momentum untuk berzakat saat ini sangat tepat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih terpuruk setelah terimbas pandemi. Namun, masih ada saja yang sering melupakan zakat.

Rukun Islam keempat ini dalam bahasa Arab disebut ‘zakah’ yang memiliki arti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang. Dinamakan zakat, karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh keberkahan, membersihkan jiwa dan memupuknya dengan berbagai kebaikan.

Menurut istilah, zakat adalah ukuran harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada orang yang membutuhkan atau yang berhak menerima dengan beberapa syarat sesuai dengan syariat Islam.

Seringkali perintah zakat itu disandingkan dengan perintah menegakkan salat. Bisa jadi ini bermakna bahwa salat dan zakat adalah gandengan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Dua hubungan ini haruslah baik demi menggapai kebahagiaan sejati.

Soal kewajiban zakat ini, tidak ada perintah dalam Alquran dan Hadits untuk menumpuk dan menyimpan terus harta benda yang dimiliki untuk diri sendiri. Yang ada adalah perintah mentasharrufkan (menggunakannya) di jalan yang tidak melawan batas-batas syari’at. Dalam Alquran dan Hadits begitu banyak bertebaran kalimat infaq, shadaqah, zakat, jihad harta dan yang senada dengannya.

Orang bijak bilang bahwa tak ada kain kafan untuk mayat yang dibuat memiliki saku (kantong). Ini pertanda bahwa mayat tidak membutuhkan uang cash atau credit card untuk kehidupan pasca-kematiannya. Ketika mati manusia tidak membawa harta atau apapun. Ini memberikan pesan kepada yang masih hidup agar membelanjakan hartanya di jalan Allah salah satunya melalui zakat.

Ada cerita tentang si Qarun yang kaya raya di zaman Nabi Musa yang menganggap harta yang dimilikinya itu adalah benar-benar hasil keringat dirinya sendiri dengan ilmu yang dimilikinya. Jelas sebuah kesombongan. Karena itu, ajaran wajib zakat yang disampaikan Nabi Musa kepadanya dianggap sebagai motif pribadi Nabi Musa untuk memperkaya dirinya sendiri.

Tragis, harta yang dikumpulkan Qarun selama bertahun-tahun, seperti emas, perak, binatang ternak, istana yang megah dan bahan makanan yang melimpah, yang selalu dihitung dan dibangga-banggakannya hilang dalam sekejap mata ditelan bumi. Lengkap cerita bisa dibaca dalam QS Al-Qashas: 76-82. Maukah kisah akhir Qarun menimpa kita?

Realisasi Zakat Masih Rendah

Kesadaran berzakat memang perlu terus ditumbuhkan. Lihat saja potensi zakat di Indonesia Berdasarkan outlook data zakat 2021 Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mencapai Rp327,6 triliun. Namun dari potensi itu, yang terealisasi baru mencapai Rp71,4 triliun atau sekitar 21,7 persen.

Selisihnya jauh bukan? Lalu mengapa masih enggan untuk berzakat? Apakah menganggap bahwa zakat akan memiskinkan dirinya dan mengkayakan tokoh agama dan lembaga-lembaga keagamaan? Pernahkah kita mendengar ada orang menjadi miskin karena rajin memberi zakat dan shadaqah? Yang ada justru yang semakin bertambah rizkinya dan berkah kan? Lalu alasan apa lagi yang memberatkan kita untuk mengeluarkan zakat dan shadaqah.

Yakinlah ketika Allah mewajibkan sesuatu yakinilah bahwa itu untuk kemaslahatan umum. Zakat sangat berpotensi untuk membantu pemulihan ekonomi nasional dan membantu mereka yang tergolong miskin. Data Badan Pusat SBPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin per September 2021 sebesar 26,50 juta orang. Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2021 sebesar 7,89 persen.

Filosofis Zakat

Menarik mencermati pendapat M Quraish Shihab, guru besar tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengatakan, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Ia menggambarkan landasan filosofis kewajiban zakat.

Filosofi zakat yang pertama adalah istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di Bumi). Allah SWT adalah pemilik seluruh alam dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya, pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu, berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh Sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya.

Kedua, solidaritas sosial. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam bidang material yang diperoleh oleh seseorang adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung dan disadari maupaun tidak. Wajar jika Allah memerintahkan untuk mengelurakan sebagian kecil (zakat) dari harta yang diamanatkan-Nya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.

Ketiga, Persaudaraan. Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.

Zakat Lebih Mudah

Zakat ada dua jenis, yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Tiap jenis berbeda sistem dan peruntukannya, namun tujuannya sama yaitu untuk mensejahterakan umat. Zakat hukumnya adalah wajib fardhu bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Syarat itu yakni, Islam, merdeka, baligh dan berakal, harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati, telah mencapai nishab, milik penuh, kepemilikan harta telah mencapai setahun serta tidak dalam keadaan berutang.

Pada bulan suci Ramadan merupakan saat yang tepat untuk mengeluarkan zakat. Saat ini, sudah banyak kemudahan cara membayar zakat. Termasuk pembayaran zakat secara online. Cara membayar zakat fitrah online bisa dilakukan dengan mudah melalui platform dan aplikasi yang disediakan oleh badan amil zakat terpercaya.

Mari kita berzakat. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button