Mengenakan Rompi Pers di Gaza Menjadi Hukuman Mati bagi Jurnalis


Jurnalis Al Jazeera Ismail al-Ghoul mengungkapkan kata-kata terakhirnya yang dimaksudkan untuk menenangkan istrinya. “Situasinya sangat berbahaya, tetapi jangan khawatir,” kata reporter Al Jazeera yang berbasis di Gaza itu kepada istrinya, Malak Azrid, melalui telepon. “Saya selamat dari pemboman beberapa saat yang lalu, syukurlah.”

Kemudian, sambungan telepon tiba-tiba terputus. Meskipun mengenakan rompi pers dan berpergian dengan mobil yang ditandai sebagai media, serangan pesawat nirawak Israel menghancurkan kendaraan itu hingga berkeping-keping, menewaskan Ismail dan juru kameranya, Rami Alrifi.

Mengutip laporan The New Arab (TNA), nasib Ismail menggambarkan krisis yang tak tertandingi yang dihadapi para jurnalis di Gaza, zona pembantaian bagi para pekerja media sejak 7 Oktober. Dari 99 jurnalis yang kehilangan nyawa pada tahun 2023, sebanyak 72 di antaranya adalah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ).

Penghitungan terakhir CPJ pada 9 Agustus menunjukkan bahwa sedikitnya 113 wartawan telah terbunuh di Gaza sejak konflik meletus, jumlah terbanyak selama periode mana pun sejak kelompok itu mulai melakukan pelacakan pada tahun 1992.

Selama beberapa dekade, wartawan di zona konflik mengenakan rompi biru dengan tulisan “PRESS” dalam huruf putih besar yang terlihat jelas. Selain memberikan perlindungan dasar terhadap pecahan peluru, rompi tersebut dimaksudkan untuk mengirimkan tanda peringatan kepada para pejuang agar tidak menembak. Serangan yang disengaja terhadap wartawan merupakan kejahatan perang menurut hukum internasional seperti Konvensi Jenewa.

Penargetan jurnalis secara konsisten oleh Israel sejak 7 Oktober telah mempertanyakan logika ini, membuat warga Palestina bertanya-tanya apakah mereka menempatkan diri mereka pada risiko yang lebih besar dengan mengidentifikasi diri sebagai wartawan. “Gaza adalah tempat paling berbahaya di dunia bagi jurnalisme,” kata Tahseen Al-Astal, wakil kepala Serikat Jurnalis Palestina.

Tahseen menyebut penargetan jurnalis oleh Israel sebagai terencana dan sistematis. “Tindakan itu dimaksudkan untuk menghilangkan mereka dan meneror sisanya, untuk mencegah menyampaikan kebenaran kepada dunia tentang pembantaian yang terjadi di Gaza,” imbuh Tahseen. 

Ismail bergabung dengan Al Jazeera Arabic pada bulan November 2023 sebagai koresponden televisi. Ia dengan cepat menjadi andalan liputan jaringan tersebut, secara rutin tampil di udara untuk melaporkan pemboman brutal Israel di Kota Gaza, tempat ia bertugas, dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. 

Meliput Penderitaan Kehilangan Nyawa

Sejak 7 Oktober, lebih dari 40.000 warga Palestina telah terbunuh dan penduduk Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa hampir seluruhnya mengungsi. Lingkungan perkotaan dan infrastruktur kota telah hancur menjadi puing-puing, dan kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan, dan air bersih telah lenyap.

Sepanjang perang, Ismail dipisahkan dari istrinya Malak, yang melarikan diri dengan putri mereka yang hampir berusia dua tahun ke selatan Gaza, zona yang relatif lebih aman. Bekerja dari Kota Gaza yang dibom, Ismail mengirimi mereka gula dan coklat sebagai hadiah — makanan lezat langka yang telah mengering di tengah krisis kelaparan di selatan.

Melalui telepon, Ismail biasa menanyakan keadaan mereka dan bahkan menjaga semangat mereka dengan membayangkan masa depan pascaperang yang lebih cerah. Ia memberi tahu Malak bahwa, setelah perang, mereka akan membeli sebidang tanah dan membangun rumah baru di atas reruntuhan Gaza.

Ketika ia terbunuh, Malak bahkan tidak dapat mengucapkan selamat tinggal terakhir, karena jenazahnya disimpan di utara dan tentara Israel telah menutup jalan ke daerah itu. “Ismail membayar harga untuk jurnalismenya,” kata Malak. “Karena meliput penderitaan rakyat Palestina, ia kehilangan nyawanya. Ia menolak untuk melarikan diri ke selatan dan bersikeras melanjutkan pekerjaan jurnalismenya.”

Membunuh, Menuduh, Menyiksa 

Taktik Israel adalah membunuh wartawan dan kemudian menuduh mereka, tanpa bukti, bekerja untuk Hamas. Setelah serangan udara yang menewaskan Ismail, militer Israel mengatakan bahwa dia adalah seorang anggota Hamas yang telah berpartisipasi dalam serangan 7 Oktober dan telah memberi instruksi kepada para pejuang Hamas tentang cara merekam operasi, sebuah tuduhan yang oleh Al Jazeera  disebut ‘tidak berdasar’.

Menurut Malak, suaminya berada di rumah bersamanya pada tanggal 7 Oktober. “Dia tidak memiliki hubungan dengan kelompok mana pun yang dianggap Israel sebagai musuh,” katanya, seraya menambahkan bahwa pernyataan Israel tentang Ismail “sepenuhnya salah dan tidak sesuai dengan kenyataan.”

“Mereka hanya ingin menyembunyikan kebenaran tentang apa yang terjadi di Gaza dari dunia, jadi mereka berusaha membungkam suara apa pun yang menyuarakan tentang neraka perang,” kata Malak.

Dugaan hubungan Ismail dengan Hamas tampak tidak dapat diterima mengingat sebelumnya ia pernah ditangkap oleh pasukan Israel dan kemudian dibebaskan, suatu kejadian yang tidak mungkin terjadi bagi seseorang yang dicari oleh militer. Pada bulan Maret, ia ditahan dan dipukuli oleh pasukan Israel setelah mereka menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa dan menghancurkan ruang operasi media darurat yang digunakan di sana oleh para jurnalis. 

pasca-penutup
Jurnalis Gaza memperlihatkan rekan-rekannya yang menjadi korban Israel (Foto: TNA)

Dituduh Terlibat Terorisme

Dalam kasus lain, Israel melontarkan tuduhan terhadap jurnalis Al Jazeera lainnya, Anas Al-Sharif, atas dukungannya terhadap terorisme. Menyusul liputan Anas tentang serangan terkini oleh militer Israel terhadap sebuah sekolah, yang dikatakan menargetkan pejuang Hamas, namun menewaskan sekitar 100 orang, juru bicara militer Israel berbahasa Arab Avichay Adrae mengatakan Anas menutupi kejahatannya untuk kelompok militan tersebut.

Banyak rekan Anas yang khawatir bahwa ini merupakan pertanda pembunuhannya. “Militer Israel tampaknya membuat tuduhan tanpa bukti substantif apa pun sebagai izin untuk membunuh jurnalis, yang merupakan pelanggaran total terhadap hukum humaniter internasional,” kata Pelapor Khusus PBB Irene Khan dalam sebuah pernyataan setelah kematian Ismail al-Ghoul.

Militer Israel memiliki sejarah panjang dalam membunuh wartawan dan lolos begitu saja. Bahkan sebelum perang di Gaza, CPJ mendokumentasikan sedikitnya 20 kasus wartawan yang dibunuh oleh Pasukan Pertahanan Israel tanpa ada yang dituntut atau dimintai pertanggungjawaban. 

Kasus yang paling banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini adalah kasus jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang ditembak di kepala dan tewas – meski mengenakan rompi pers biru seperti biasanya – saat meliput penggerebekan di kamp pengungsi Tepi Barat.

Penyelidikan PBB menyimpulkan bahwa “pasukan keamanan Israel menggunakan kekuatan mematikan tanpa pembenaran… dan secara sengaja atau gegabah melanggar hak untuk hidup Shireen Abu Akleh.” 

Serangan Israel terhadap jurnalis menjadi berita utama lagi setelah 7 Oktober, ketika serangan tank Israel menewaskan jurnalis Reuters Issam Abdullah dan melukai enam lainnya di Lebanon selatan, meskipun kelompok itu dapat diidentifikasi dengan jelas sebagai jurnalis, menurut penyelidikan PBB.  

Bukan hanya Israel mengabaikan konvensi yang telah lama berlaku tentang menghindari wilayah di mana jurnalis berada, tetapi sebaliknya, mereka secara aktif “membenarkan pertumpahan darah jurnalis Palestina… dengan mengklaim bahwa mereka adalah bagian dari pertempuran,” jelas koresponden veteran Al Jazeera di Gaza, Hisham Zaqout. 

Sejak terbunuhnya Ismail, dua wartawan lainnya terbunuh: Ebhrahim Mohareb yang sedang menjalankan tugas pelaporan bersama beberapa wartawan lain yang meliput serangan Israel di Khan Younis ketika terbunuh oleh bubuk mesiu Israel, dan Hamza Mortaji, yang terbunuh dalam serangan di sebuah sekolah yang menampung orang-orang terlantar di Kota Gaza.

Selain secara langsung menargetkan jurnalis, Israel juga membuat pekerjaan jurnalis menjadi kurang aman dan lebih sulit, kata Hisham. Ia menunjukkan bahwa mereka telah memutus akses internet, memblokir akses ke peralatan pelindung seperti helm dan rompi, serta menyita barang elektronik seperti kamera dan apa pun yang terkait dengan pekerjaan jurnalistik.

“Israel ingin menghilangkan setiap suara yang datang dari Gaza yang mengungkap kejahatan dan pembantaian yang dilakukan terhadap warga Palestina. Untuk melakukannya, mereka mencegah wartawan asing masuk, memblokir liputan kami di wilayah yang mereka invasi, dan bahkan menargetkan kami secara langsung,” Hisham menambahkan.  “Hidup kami dan keluarga kami sedang musnah. Kantor, peralatan, dan rumah kami hancur,” jelasnya lagi.

Pekerja media terbaru yang menjadi korban adalah Tamin Muammar, seorang jurnalis di Radio dan Televisi Publik Otoritas Palestina. Serangan udara Israel menghantam rumahnya di Khan Younis, yang juga menewaskan istri dan tiga putri mereka. 

“Meskipun para jurnalis mengalami berbagai kengerian di sini, mereka bersikeras untuk meneruskan pekerjaan mereka karena pekerjaan tersebut merupakan tugas profesional, etika, nasional, dan kemanusiaan,” kata Tahseen. “Jika orang lain mengalami sebagian kecil saja dari apa yang mereka alami, mereka akan meninggalkan posisi mereka dan pergi.”