Sungguh mengenaskan nasib Supriyani S.Pd, seorang guru honorer SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara. Ia ditahan polisi atas tuduhan penganiayaan terhadap siswanya berinisial D (6), anak personel Polsek Baito.
Supriyani dijadwalkan menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Kamis depan (24/10/2024), setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan dan ditetapkan tersangka dan langsung ditahan pada Kamis pekan lalu (17/10/2024).
Sekitar enam bulan lalu, yaitu pada April 2024, Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito atas dugaan penganiayaan terhadap anak di bawah umur, yakni muridnya yang duduk di bangku kelas 1 SD dan saat ini sudah duduk di bangku kelas 2.
Saat ini kasus Supriyani tengah viral di media sosial dan juga bertebaran di grup-grup WhatsApp. Berbagai seruan untuk mendukung Supriyani yang sudah bertahun-tahun menjadi guru honorer itu ramai muncul menjelang sidang di PN Andoolo.
“Save Ibu Supriyani, S.Pd. Guru SDN Baito, Konawe Selatan. Ditahan polisi karena menegur siswa yang nakal. Orang tua siswa tersebut adalah anggota polisi. Mohon doa dan bantuannya Ibu Supriyani, seorang guru honor yang sedang dalam masa pemberkasan PPPK setelah honor bertahun-tahun,” tulis salah satu pesan yang beredar, Senin (21/10/2024).
Selain itu, menurut kabar yang beredar, waktu Supriyani datang ke rumah siswa tersebut untuk minta maaf, orang tua siswa meminta Rp50 juta dan orang tua siswa juga minta kepada pihak sekolah agar guru tersebut dikeluarkan dari sekolah. Tapi karena guru tersebut tidak merasa melakukan, sehingga tidak mau membayar dan pihak sekolah tidak mau mengeluarkan siswa tersebut.
Kepala SDN 4 Baito, Sanaali, mengaku tak mengetahui secara pasti kronologi kasus tersebut. Namun, kasus Supriyani menghukum salah satu muridnya terjadi pada Rabu (24/4/2024), ketika korban masih duduk di kelas 1 SD dan saat ini sudah kelas 2 SD. “Informasi awal yang kami dapat, anak itu jatuh di selokan. Namun tiba-tiba saja mengaku dipukul sama ibu guru (Supriyani), luka di paha bagian dalam,” ujar Sanaali dikutip dari Kendariinfo.
Pihak sekolah, tegas Sanaali, membantah keras adanya penganiayaan. Ada sejumlah alasan, di antaranya keterangan dari Supriyani langsung, sejumlah guru, dan teman-teman korban di sekolah. Sejumlah guru juga telah memberikan kesaksian kepada polisi. Semua saksi pun membantah adanya penganiayaan kepada korban. “Tidak pernah ada kejadian Ibu Supriyani menganiaya siswa. Guru-guru lain juga sudah memberikan kesaksian, kenapa tiba-tiba ditangkap,” kata dia.
Ia berharap masalah itu tidak berlanjut. Apalagi Supriyani dan pihak sekolah juga telah berulang kali mendatangi rumah siswa, lalu meminta maaf kepada korban dan keluarganya. “Tujuannya semata-mata hanya menginginkan masalah ini tidak berlarut-larut. Kami sudah datang ketemu dan minta maaf atas hukuman tersebut, ternyata jadi ribet,” ungkapnya, menyesalkan.
Dipenjara Diduga Aniaya Siswa
Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam, menyebut kasus dugaan penganiayaan itu dilaporkan langsung oleh Nurfitriana, orang tua korban di Polsek Baito, Jumat (26/4/2024), dan penyidik dalam memproses kasus tersebut sudah bekerja profesional. “Penanganan kasusnya sudah sesuai SOP,” ujar Febry saat jumpa pers di kantornya, Senin (21/10/2024).
Menurutnya, dalam foto barang bukti yang ditampilkan terlihat ada sapu dan baju seragam korban serta foto paha belakang korban yang memar-memar.
Febry menambahkan, pihak kepolisian menyelidiki kasus tersebut selama tiga bulan untuk memberi ruang mediasi kepada kedua pihak, pelapor dan terlapor. Bahkan mediasi sudah dilakukan selama lima kali namun tidak ada kesepakatan.
Keluarga korban, kata Febry juga tak pernah meminta ataupun membahas dan menyebutkan nominal uang untuk persyaratan atau kompensasi damai dengan pihak Supriyani.
Kedepankan Restorative Justice
Pakar psikologi forensik yang juga konsultan sumber daya manusia dan mantan dosen di PTIK, Reza Indragiri Amriel mempermasalahkan apa sesungguhnya tujuan pidana terhadap Supriyani tersebut.
“Anggaplah pemukulan itu terjadi. Tapi sadarkah kepolisian setempat bahwa bila mengacu pemberitaan media, cara mereka menangani kasus ini justru bisa melukai hati masyarakat,” ujar Reza dalam keterangannya yang diterima Inilah.com di Jakarta, Selasa (22/10/2024).
Reza menyebut penanganan yang terkesan eksesif ini mengingatkan pada istilah hyper-criminalization, yakni betapa otoritas kepolisian dengan mudahnya melihat peristiwa minor dengan kacamata kriminalitas semata. Dengan kacamata sedemikian rupa, konteks pendidikan serta-merta pupus. Kemungkinan hukuman guru bertali-temali dengan kenakalan murid pun sirna dari cermatan.
Menurut Reza, kalau polisi sudah ketagihan menerapkan hyper-criminalization, bakal banyak anggota masyarakat yang dengan sekejap mata akan berstatus sebagai penjahat dan perbuatan mereka dicap sebagai kejahatan. “Coba jawab, apakah itu akan menenangkan masyarakat dan menekan tindak kriminalitas? Tentu tidak,” kata Reza, menegaskan.
“Lagi pula, sebengis apakah, selicik apakah, sebejat apakah, sejahat apakah ibu guru itu sampai harus dijebloskan ke sel tahanan? Apa sesungguhnya tujuan pidana seperti itu? Akan diapakan ibu guru itu nantinya, terlebih jika ia divonis bersalah?” lanjut Reza.
Ia lantas mengingatkan mengenai salah satu komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit yang mewanti-wanti jajarannya untuk mengedepankan restorative justice sebagai solusi. Bukan dengan entengnya membawa persoalan-persoalan minor ke ranah litigasi atau penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan yang berujung pada penahanan atau pun pemenjaraan.
Komitmen Kapolri itu, tegas Reza, seharusnya dipahami sebagai tekad Listyo Sigit agar Polri menomorsekiankan pendekatan punitive atau pidana apalagi retributive atau pembalasan hukuman, bahwa ibu guru tersebut harus dibikin sakit, menderita, dan diasingkan agar kapok.
Jadi, sambung Reza, kalau mau konsekuen, Kapolri perlu mengevaluasi pendekatan kerja satwil terkait. Apakah mekanisme pengawasan Reskrim berjalan sebagaimana mestinya dan apakah personel sudah dan fasih menjajaki kemungkinan restorative justice. Jika ada pihak-pihak di Satwil Polri setempat yang abai akan komitmen Kapolri tadi, dan langsung memproses ibu guru tersebut dengan litigasi, perlu disikapi dengan sanksi dan edukasi sekaligus.
“Sudahlah. Terapkan restorative justice saja. Kalau perlu penggalangan dana untuk mengganti kerugian yang dialami korban, saya siap berkontribusi atas nama anak-anak saya. Insya Allah,” tutur Reza.