Kanal

Mengunjungi Ukraina di Saat Damai [2]: Kuliah di Negara yang Biaya Kostnya Lebih Murah Dibanding Depok

Pilihan itu diambilnya karena untuk masuk universitas Ukraina tak memerlukan batas minimal TOEFL. Ia memang harus mengikuti matrikulasi dan belajar bahasa selama setahun, yang dilaluinya dengan lancar. “Bayar persiapan pra-kuliahnya juga murah, hanya sekitar 2.100  dolar AS setahun,” kata dia. Setelah itu, biaya kuliah jadi lebih murah dibanding masa persiapan, yakni 1.500 dolar AS setahun. Kampus juga menyediakan asrama yang bayarannya lebih murah dari harga kost mahasiswa di Depok.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

“Selamat pagi,” seorang gadis berambut pirang menyapa saya yang tengah duduk di ruang tamu Gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kiev, di pagi hari kedua berada di ibu kota Ukraina itu, Januari 2020.  Meski sebelumnya pun sadar akan ada staf lokal yang menyapa saya dengan bahasa Indonesia, tetap saja saya kaget dengan lantunan suara dan gestur yang ia bawakan. Sedikit membungkuk, menegaskan kesopanan yang khas Indonesia.

“Saya Marina Kirilchuk, staf lokal di sini,” katanya menyambung, sebelum saya sempat membalas ucapan selamat paginya.  Tertarik dengan kefasihannya berbahasa Indonesia, saya kemudian tak hanya merespons, melainkan mengajukan beberapa pertanyaan yang membuat kami segera terlibat dalam obrolan.

Marina ternyata pernah datang dan belajar selama beberapa lama di Indonesia. Lewat program beasiswa Darmasiswa untuk belajar bahasa Indonesia dari Kemendikbud- Kemenlu, Marina ditempatkan di Bandung. Tak hanya sempat belajar di kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran, dari informasi yang dipostingnya di laman Facebook, Marina sempat pula belajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, serta Unikom. Di laman yang sama Marina bahkan memposting fotonya yang tengah bersama Walikota Bandung (saat itu) Ridwan Kamil.

“Oh, itu mah mahasiswa saya,” kata sahabat saya Martha Fani Cahyandito, pengajar FEB Unpad yang siang itu saya kontak dari Kyiv, mengonfirmasi.

“Itu program yang bagus,” kata Marina, mengomentari program beasiswa Darmasiswa yang diikutinya. “Secara otomatis, saya jadi mencintai Indonesia dan tanpa sadar selalu mempromosikannya dalam banyak obrolan dengan sahabat dan keluarga di sini,” kata dia. Marina mengakui, sebelum tinggal di Bandung, ia sempat sedikit belajar Bahasa Indonesia.

Marina bukan satu-satunya penerima Darmasiswa, tentu. Dibuka pertama kali pada 1974, awalnya program ini hanya menerima mahasiswa dari ASEAN. Diperluas pada 1976 dengan mencakup mahasiswa Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Hongaria, Jepang, Meksiko, Belanda, Norwegia, Polandia, Swedia, dan Amerika Serikat. Sejak 1990-an program tersebut kini mencakup semua negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Saat ini Darmasiswa telah diikuti sekitar 6.000 mahasiswa asing dari lebih 110 negara.

Menurut staf KBRI Kyiv, Prabowo Himawan, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Kyiv National University (KNU) of Taras Shevchenko mulai dibuka pada 1997—setahun setelah berdirinya KBRI Kyiv. Kini Prabowo-lah yang menjadi kepala Program Studi  Bahasa dan Sastra Indonesia di sana. Taras adalah universitas negeri yang namanya diambil dari tokoh politik dan pujangga terkemuka era Ukraina modern. Didirikan sebagai Imperial University of Saint Vladimir pada 1834, sejak 1939 universitas ketiga tertua di Ukraina itu berganti nama menjadi KNU of Taras Shevchenko, demi menghormati sang tokoh.

Karena kurangnya sumber daya pengajar, program itu sempat ditutup, sebelum kembali dibuka pada 2012. Manakala kembali dibuka, pihak KBRI sempat pesimistis akan animo dari anak-anak muda Ukraina yang ingin belajar bahasa Indonesia. “Ternyata mengagetkan. Yang mendaftar berlipat jumlahnya dari target. Ada sekitar 100 calon mahasiswa untuk 10 kursi kuota,” kata Prabowo. Saat ini setiap tahun program itu menerima delapan mahasiswa hasil saringan.

Namun jangan mengira setelah itu program selalu berjalan mulus. Sekitar dua tahun lalu sempat universitas akan menutup program studi itu karena merasa tak punya cukup sumber daya. Untunglah Duta Besar Indonesia untuk Ukraina (saat itu) Yuddy Chrisnandi sigap. Dia bertindak cepat dengan mengontak koleganya Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi di era pemerintahan Jokowi 1. Yuddy pun mendapatkan bantuan para dosen untuk mengajar di program ini.

Tak cukup dengan itu, Yuddy juga memerintahkan Prabowo, seorang staf KBRI yang telah 25 tahun tinggal di Kyiv, untuk memimpin program studi yang ada. “Rata-rata mahasiswa senang kuliah di program ini,” kata Dubes Yuddy.  “Selain bisa kuliah, mereka juga ikut program ekstrakurikuler, seperti menari jaipong hingga karawitan, dan turut mengisi aneka kegiatan di KBRI.”

Hingga 2020, saat saya di sana, prodi tersebut telah meluluskan 12 wisudawan S-1, tujuh sarjana S-2. Sementara mahasiswa yang tengah menuntut ilmu mencapai 38 mahasiswa.

Namun di sisi lain, warga Indonesia justru kurang memanfaatkan kelebihan Ukraina sebagai salah satu pusat pendidikan di Eropa Timur.  Bagaimana tidak bisa disebut salah satu pusat peradaban di kawasan tersebut, bila lembaga pendidikan tinggi menjamur di seluruh pelosok negeri.

Di ibukota Kyiv yang berpenduduk sekitar 3 juta jiwa saja tercatat ada 37 universitas kredibel. Belum lagi di beberapa kota besar seperti Kharkiv (23 universitas), Odessa (10 universitas), serta Dnipro dan Lviv yang masing-masing punya delapan universitas.

Hanya ada seorang mahasiswa Indonesia yang bisa saya temui selama sepekan berada di Kyiv. Alan Maulana Al-Kautsar, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional di National Aviation University. Universitas yang didirikan pada 1933 itu tergolong kampus favorit di Ukraina.

“Keluar SMA saya langsung daftar ke sini,” kata Alan, warga Jakarta. Sesuai kemajuan zaman, semua informasi diperoleh Alan dari internet. Pilihan itu diambilnya karena untuk masuk universitas Ukraina tak memerlukan batas minimal TOEFL. Ia memang harus mengikuti matrikulasi dan belajar bahasa selama setahun, yang dilaluinya dengan lancar. “Bayar persiapan pra-kuliahnya juga murah, hanya sekitar 2.100  dolar AS setahun,” kata dia. Setelah itu, biaya kuliah jadi lebih murah dibanding masa persiapan, yakni 1.500 dolar AS setahun. Kampus juga menyediakan asrama yang bayarannya lebih murah dari harga kost mahasiswa di Depok.

“Untuk biaya bulanan, awalnya saya dikirimi Rp 3 juta. Tapi karena Bapak saya tahu saya bisa berhemat, dikurangi deh jadi Rp 2,5 juta per bulan,” kata Alan sambil tergelak.

Istri Dubes Yuddy, Velly Elvira, termasuk yang menyayangkan masih rendahnya minat orang Indonesia untuk belajar di Ukraina. “Pelajar asing yang banyak di sini adalah mahasiswa-mahasiswa India,” kata Velly, saat menjamu saya makan malam di kediaman Dubes. ”Kebanyakan mengambil Jurusan Kedokteran atau Kedokteran Gigi.”

Velly mendengar, selain karena di Ukraina pendidikan kedua jurusan tersebut tergolong maju, saat pulang ke India pun para lulusan Ukraina itu hanya perlu melewati sekali saja ‘ujian persamaan’ agar ijazah mereka diakui. “Saya dengar, di Indonesia pengakuan tersebut masih sulit,” kata Ibu Velly.

Dalam situsnya, Kementerian Pendidikan Ukraina memang aktif mempromosikan keunggulan  pendidikan tinggi mereka. Bahkan sejak kolapsnya Sovyet yang sekaligus menandai kemerdekaan Ukraina, “…pendidikan kedokteran Ukraina adalah salah satu yang terbaik di dunia. Reputasinya telah menarik kedatangan para mahasiswa asing yang jumlahnya ribuan per tahun,”bunyi sebuah brosur penawaran Pendidikan tinggi.  Hal itu menurut mereka karena Ukraina senantiasa komit mengikuti Bologna Process—rangkaian pertemuan antarnegara Eropa untuk menerapkan standard pendidikan bersama, serta menerapkan standard pendidikan Eropa.

“Ribuan mahasiswa dari sekitar 70 negara setiap tahun datang untuk belajar ilmu kedokteran di sini,”tulis situs tersebut.

Namun pernah sistem pendidikan Ukraina mendapatkan ujian, yakni saat tensi pro dan anti-Rusia menguar kuat di negara itu, pada 2014-2015 lalu. Di Donetsk State Medical University yang berada di bagian tenggara Ukraina yang memanas, misalnya, pernah konflik yang terjadi menimbulkan eksodus mahasiswa asing.  Pasalnya, saat itu timbul pemberontakan warga Donetsk yang kebanyakan memiliki hubungan dengan tetangga Rusia, memicu kemungkinan perang terbuka dengan pasukan pemerintah Kiev.

“Kami memiliki lebih dari 2.500 mahasiswa asing tahun lalu,” kata Pejabat Humas Donetsk State Medical University, Elena Shutskay, kepada Al-Jazeera pada 2015. “Kini yang tersisa tinggal 85.” Universitas Donetsk yang didirikan pada 1930 itu memang dianggap memiliki kampus terbaik untuk jurusan kedokteran di Ukraina.

Semoga perang segera berakhir dan kehidupan di Ukraina kembali normal. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button