News

“Meninggalnya Mahsa Amini Karena Gangguan Otak, Bukan Dipukul Polisi”

Kamis, 20 Okt 2022 – 09:48 WIB

Penulis : DSY

Iran - inilah.com

Demonstrasi solidaritas kematian Mahsa Amini

“Dari 2001 sampai 2022, setidaknya telah terjadi 2.500 demo dan aksi damai di Iran. Semua berlangsung biasa dan aman-aman saja,”kata dia.  Namun, aksi-aksi terakhir menurut dia ganjil. “Massa datang ke jalanan dengan membawa senjata. Aksi-aksi kecil namun dengan persiapan kekerasan yang maksimal. Itu khas aksi dari rekrutan Israel,”kata Dubes Azad.

Mahsa Amini, gadis yang kepergiannya ke alam baka menjadi isu penarik massa untuk berdemonstrasi di jalanan kota-kota di Iran, meninggal bukan karena pemukulan dari Polisi Syariah, melainkan karena  gangguan otak yang dideritanya. Pernyataan tersebut dilontarkan Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Azad, dalam konferensi pers yang digelar hingga jauh malam, Rabu (19/10/2022).

Menurut Dubes  Azad, wanita muda yang kedapatan berpakaian tidak ‘sepantasnya’ dalam aturan di Iran tersebut memiliki riwayat penyakit yang berkenaan dengan otaknya. Pelanggaran-pelanggaran seperti yang dilakukan Amini bukanlah hal yang luar biasa di Iran. Ada yang hanya memakai scarf untuk menutupi sebagian rambut, dan sebagainya. “Biasanya Polisi Syariah mengarahkan mereka yang kurang taat aturan itu ke markas, memberi mereka kursus singkat dan membolehkan pulang,”kata Dubes Azad di rumah dinasnya di Jakarta.

Dubes mengatakan, tidak kurang dari 19 ahli kedokteran Iran telah melakukan pemeriksaan dan forensik, dengan hasilnya tersebut telah diserahkan kepada Parlemen Iran. Sementara saat ditanya pemeriksaan yang memakan waktu lama, Dubes mengatakan isu kematian Mahsa Amini merupakan isu sensitive yang memerlukan penanganan hati-hati dan cermat. “Itu memakan waktu,”kata Dubes Azad.

Dubes mengatakan, organisasi kedokteran forensik adalah lembaga yang paling kompeten dan terspesialisasi untuk mengeluarkan pendapat tentang penyebab kematian. Sayangnya, kata dia, sejak awal banyak negara telah berprasangka dan menghakimi, dengan membuat pernyataan tentang pemukulan dan kekerasan pada bagian kepala almarhumah Mahsa Amini.  “Padahal, sejak hari-hari pertama kejadian ini, sudah dijelaskan tidak ada unsur pemukulan maupun kekerasan apa pun,”kata Dubes.

Berkenaan dengan demonstrasi, Dubes Azad mengatakan, demo-demo terakhir yang terjadi di Iran muncul karena adanya “proyek penciptaan korban” yang dilakukan media massa Barat, bekerja sama dengan kekuatan Israel yang tidak menghendaki kebaikan bagi Republik Islam Iran sejak lama. Misalnya, ada kabar aparat Iran menyiksa wanita, orang tua, bahkan membunuh anak-anak.  Semua itu isu yang sengaja dihembuskan kuat-kuat dengan harapan mereka untuk terus menambah api pada demonstrasi.

“Dari 2001 sampai 2022, setidaknya telah terjadi 2.500 demo dan aksi damai di Iran. Semua berlangsung biasa dan aman-aman saja,”kata dia.

Namun, aksi-aksi terakhir menurut dia ganjil. “Massa datang ke jalanan dengan membawa senjata. Aksi-aksi kecil namun dengan persiapan kekerasan yang maksimal. Itu khas aksi dari rekrutan Israel,”kata Dubes Azad.

Dubes sendiri menyatakan aksi-aksi itu kini telah meredup hanya dalam tiga pekan. Yang masih ada hanyalah aksi-aksi beranggotakan 30-an orang, dihimpun melalui medsos. “Aksinya kecil, tapi disiapkan untuk melakukan kekerasan maksimal,”kata dia. Dubes mencontohkan, para pendemo itu dibayar 500 ribu thoman atau sekitar Rp 200 ribu manakala melemparkan satu bom Molotov. “Asal ada rekaman meledaknya Molotov itu,”kata Dubes.

Dubes Azad mengakui, kehidupan sehari-hari di Iran begitu sulit dan itu menyebabkan rakyat banyak susah. Semua itu diakibatkan terus dipaksakannya sanksi ekonomi dari Barat, terutama Amerika Serikat, yang telah berlangsung 43 tahun lamanya. Akibat sanksi tersebut inflasi di Iran meroket tinggi, hingga mencapai 50 persen. “Kepresidenan sekarang bisa menurunkannya hingga 40 persen, dan tentu ingin lebih turun lagi,”kata dia.

Dubes Iran itu menegaskan, tak ada keadilan dan kemanusiaan dalam sanksi Barat. Bahkan saat meruyaknya pandemic COVID-19 beberapa waktu lalu, Iran tetap tak bisa membeli berbagai obat dan keperluan perlindungan seperti ventilator dan sebagainya. “Kami memang bisa membuat 90 persen lebih obat, tetapi beberapa obat-obat penyakit khusus, itu harus kami datangkan dari luar, dan sanksi tidak memungkinkannya,” kata dia. Dubes mencontohkan, salah satunya obat penyakit Butterfly.

Jadi, menurut dia, yang terjadi sebenarnya, sanksi adalah pemaksaan Barat untuk mengganti pemerintahan yang dipilih rakyat Iran dengan cara membuat rakyat Iran menderita. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button