Menjaga Guru, Menyalakan Obor Pendidikan


Dalam kalender pendidikan di Indonesia, tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Perayaan ini dirayakan dengan cara masing-masing di setiap sekolah, daerah, hingga di level nasional. Semua menyatakan apresiasi yang luar biasa terhadap peran para guru dalam pembangunan bangsa terutama di bidang pendidikan. Para guru pun dalam momen satu hari tersebut sangat bahagia diapresiasi oleh berbagai pihak terkait perannya di dunia pendidikan. Kebahagiaan menjadi guru memang luar biasa.

Sebagai lulusan kampus pendidikan (baca: Universitas Negeri Jakarta), saya pun pernah secara formal menjadi guru di lembaga pendidikan. Saya pernah mengajar di sekolah dan di Perguruan Tinggi. Selain itu, mayoritas keluarga saya adalah guru di berbagai jenjang pendidikan. Ibu dan Bapak saya adalah guru SD. Bapak dan Bapak Mertua saya pensiun sebagai Pengawas SD setelah bertahun-tahun lamanya menjadi guru SD dan Kepala SD. Sementara itu, Ibu saya akan pensiun tahun depan setelah mengabdi puluhan tahun sebagai guru SD. Kakak dan Adik dari Bapak dan Ibu juga para sepupu pun sebagian besar adalah guru.

Saya besar di lingkungan para guru, juga menyaksikan perjuangan Bapak dan Ibu mendidik para siswa di sekolah, apalagi dulu kami tinggal di perumahan para guru. Pengalaman tersebut membuat saya dekat dengan isu keguruan juga pendidikan. Saya sedikit memahami keresahan para guru. Apalagi sekarang saya ikut bergabung di organisasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Setiap hari saya terpapar diskusi keresahan dan perjuangan para guru di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi tulisan ini cenderung personal, terutama dalam memaparkan keresahan-keresahan yang dialami para guru.

Apakah menjadi guru sedemikian meresahkan?

Bisa jadi Iya. Jika ditilik secara normatif di Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disampaikan mengenai hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan. Secara gamblang ditulis bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

Mari kita cermati. Baru sampai bagian “penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai” saja kita akan dengan mudah menggeleng, rasanya berdasarkan pengalaman dan kenyataan tidak semua guru di Indonesia memiliki kedua hal tersebut secara pantas dan memadai. Saya tak mau bicara data statistik, jadi saya bicara berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang saya dapat dari hasil diskusi dengan rekan-rekan guru. Di luar guru PNS yang memiliki sertifikasi guru dan juga guru sekolah swasta elit (sebut saja demikian), penghasilan dan jaminan kesejahteraan yang pantas dan memadai sudah jelas tidak dirasakan. Pergulatan menjadi guru pun tidak kaleng-kaleng. Coba saja secara acak datang ke sekolah negeri atau swasta, ajak guru-guru yang mulai mengabdi cukup lama di sekolah, bagaimana pergulatan mereka sampai di tahap menjadi PNS atau guru tetap yayasan. Niscaya kita akan mendapatkan narasi cerita yang kaya dan luar biasa tentang perjuangan para guru.

Ada guru-guru yang harus sabar mengabdi bertahun-tahun sebelum akhirnya menjadi ASN. “Sabar, kalau sabar pasti nanti bisa terangkat jadi PNS”, demikian kata-kata penguat yang selalu diucapkan para senior guru. Ada yang bersabar dan akhirnya diangkat menjadi ASN, tetapi juga banyak yang tak tahan dan menggapai jalur profesi lain yang lebih menjanjikan. Selain itu, saya juga sering mendengar cerita bagaimana para guru senior yang sudah mendapat sertifikasi saling “patungan” untuk membantu para juniornya yang memiliki gaji jauh dari layak dan sering dirapel. Atau guru-guru senior yang baik hati yang dipinjami “hutangan” oleh para guru juniornya, sebab penghasilan mereka jelas tak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Jika memperhatikan konteks tersebut, diperlukan strategi bertahan hidup (survival strategy) bagi para guru honorer dan guru swasta yang tak memiliki upah yang memadai. Selain strategi personal, dukungan dari rekan-rekan guru senior juga bagian dari mekanisme bertahan hidup di tengah tuntutan kehidupan yang seringkali semakin tidak masuk akal.

Tantangan besar Mengayomi Guru

Tugas negara mengayomi guru memang masih menjadi tantangan besar. Padahal setiap kampanye mulai dari level pilkada sampai pemilihan Presiden/Wakil Presiden pasti isu soal guru diusung selalu dengan gembar-gembor akan menyejahterakan guru, menaikan gaji guru dan lain sebagainya. Guru sebagai target kampanye memang sangat menjanjikan, sebab secara kuantitatif jumlah guru cukup besar yaitu 3.429.530 guru (Data Pokok Pendidikan, 2024) dan juga daya pengaruh guru di masyarakat memang dahsyat. Di sebagian masyarakat ketika musim kampanye masyarakat yang masih bimbang sering mendatangi guru-guru untuk bertanya kira-kira siapa calon pemimpin yang layak untuk dipilih. Tak mengherankan jika menaikan gaji guru dan janji manis lain menjadi hal yang selalu disampaikan calon-calon pemimpin. Soal apakah janji tersebut dipenuhi atau tidak itu menjadi urusan belakangan.

Urusan kesejahteraan guru sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia. Malpraktek pengelolaan guru akan berefek pada kondisi pendidikan Indonesia yang memburuk. Suatu pertaruhan besar ketika negara masih kurang memperhatikan guru. Guru hebat, yang diharapkan Pak Menteri, tidak akan hadir ketika negara masih kurang perhatian pada para guru. Pemenuhan hak ekonomi dan psikologis guru perlu menjadi perhatian utama. Tidak bisa dibayangkan jika guru-guru yang letih dalam memperjuangkan kehidupannya sebab hak ekonomi tidak dipenuhi di ruang pendidikan, kemudian dituntut untuk menemani anak-anak secara presisi. Meski kita tak bisa tutup mata, guru-guru yang dipinggirkan oleh kebijakan yang kurang berpihak pada mereka tetap hadir di sekolah, menjaga anak-anak sepenuh hati. Bekerja menjadi guru, utamanya bagi guru honorer dan guru swasta sekolah marjinal, jelas tak mencukupi hak hidup mereka, tapi toh mereka tetap tersenyum sepenuh hati ketika berhadapan dengan para siswa mereka.

Sorotan pada Guru

Lampu sorot yang menyilaukan selalu diarahkan kepada guru ketika situasi pendidikan tidak kunjung membaik. Jika anak-anak tak membaik karakter dan kompetensinya maka tuduhan bisa langsung ditujukan pada guru. Kondisi demikian terjadi karena harapan terhadap guru memang masih melambung tinggi. Para guru diharapkan dapat memperbaiki akal budi anak-anak bangsa. Tetapi lagi dan lagi, soal isu kesejahteraan kemudian nampak ditutup rapat-rapat untuk menjadi bahan diskusi dan pembahasan.

Para guru adalah manusia biasa yang membutuhkan kebutuhan harian sama seperti manusia lainnya. Ketika bicara itu maka posisi guru sebagai profesi menjadi yang harus dikedepankan. Profesionalitas harus didasarkan pada imbal jasa yang didapat para guru sebab mereka sudah bekerja secara profesional. Mereka mengalokasikan waktu untuk mempersiapkan bahan ajar, memilih metode yang tepat, dan mendidik anak-anak. Poin tersebut yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan. Akomodasi negara terhadap kesejahteraan guru menjadi norma utama, untuk memanusiakan guru-guru Indonesia.

Keluhan terhadap kompetensi guru seringkali digaungkan, tetapi sisi normatif lain terkait pemenuhan kewajiban negara dalam memberikan hak yang layak bagi guru seringkali dipinggirkan. Ketimpangan begitu jelas bahkan di depan mata kita sehari-hari. Sudah banyak riset yang menyoroti sisi ini, termasuk dari laporan-laporan yang pemerintah rilis. Ada pandangan menarik dari Almarhum Prof. Tilaar. Ia pernah menyarankan bahwa kita perlu melakukan demitologisasi profesi guru di Indonesia. Demitologisasi tersebut, menurut Prof. Tilaar (1998), dilakukan dari segi wacana status sosial, status profesi, gender, politik dan kekuasaan, ilmu pengetahuan, dan organisasi profesi. Demitologisasi adalah proses penghapusan mitos-mitos yang tersemat pada profesi guru misal soal guru sebagai pahlawan tanpa jasa, guru sebagai pekerjaan sosial, profesi guru bisa dijalankan oleh siapa saja, puas dengan imbalan minim, hanya perempuan yang cocok jadi guru, pantang berpolitik dan menggalang kekuatan, serta betapa mudahnya ilmu pendidikan dapat dikuasai dengan mudah oleh siapa saja.

Langkah-langkahnya menurut Prof. Tilaar adalah dengan mengaktualkan kebijakan yang membuat guru menjadi profesi yang berhak dihargai oleh masyarakat, mendapatkan imbalan secara profesional seperti profesi lain, tidak bisa dijalankan oleh sembarang orang dan ada syarat profesi, mendapatkan hak dan penghargaan yang sama, dapat berorganisasi untuk menyuarakan hak dan perbaikan hidup, memperkuat Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, dan meningkatkan riset-riset terkait pendidikan anak Indonesia.

Mengurai yang Ruwet

Pengelolaan guru di Indonesia memang sudah dalam titik yang ruwet dan njlimet. Jika memperhatikan kondisi tersebut, tugas pemerintah untuk mengurai hal-hal yang ruwet tersebut. Pertama, dari proses rekrutmen calon guru misalnya, kampus-kampus LPTK bertanggungjawab sepenuhnya dalam menyiapkan calon guru yang bertalenta, berkualitas, dan mentalitas guru. Pembatasan rekrutmen perlu dilakukan, dan tentu saja pemerintah perlu menghitung sebetulnya berapa jumlah guru yang dibutuhkan di seluruh Indonesia, dan memetakannya dalam kebutuhan di level kota/kabupaten dan provinsi serta dalam berbagai jenjang. Jadi tidak akan ada surplus lulusan guru dan tiada minimnya kebutuhan guru karena distribusi yang tidak merata.

Kedua, data eksisting guru yang ada di Indonesia tentu dimiliki oleh pemerintah. Dari data tersebut sudah sepatutnya pemerintah tahu guru yang sudah memiliki sertifikat pengajar, berapa guru ASN, Guru Honorer, dan Guru Swasta. Dari data tersebut juga sepatutnya pemerintah mengetahui dengan seksama rentang penghasilan guru-guru tersebut. Berdasarkan data yang dimiliki tersebutlah kemudian rekrutmen kebutuhan guru dilakukan. Apalagi sesungguhnya pemerintah sudah memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang memuat data satuan pendidikan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, dan substansi pendidikan yang datanya bersumber dari satuan pendidikan yang terus menerus diperbaharui secara online (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 79 Tahun 2015 tentang Data Pokok Pendidikan).

Ketiga, jika lampu sorot kepada guru adalah terkait dengan kompetensinya, maka guru-guru eksisting perlu dipantau pola pendekatan pembelajaran yang mereka lakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah perlu memiliki data yang presisi mengenai kompetensi guru di sekolahnya. Tidak sebatas hal-hal administrasi semata, tetapi juga terkait dengan analisa apa yang sesungguhnya menghambat peningkatan kompetensi guru. Para kepala sekolah sebagai nakhoda di sekolah pun perlu didampingi oleh para pengawas dan dinas pendidikan daerah untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan. Pada titik ini, kepala dinas di daerah harus memahami secara seksama kondisi guru di daerah. Tapi titik fokusnya tidak pada memvonis guru tidak memiliki kompetensi, tetapi mengapa guru-guru memiliki permasalahan pada kompetensi? Jadi titik berangkat dalam meningkatkan kompetensi guru dilandasi dari pemetaan persoalan yang ada di lapangan pendidikan, yang tentu saja akan sangat beragam.

Keempat, memperhatikan kondisi wilayah di mana guru ditempatkan. Distribusi guru memang masih sulit ditempatkan secara merata. Poin pertama tentu melakukan pemerataan distribusi guru. Tetapi juga harus diperhatikan kondisi sosial budaya, kondisi geografis, atau keamanan guru-guru yang ditempatkan di berbagai wilayah di Indonesia. LPTK perlu memberikan pemahaman wawasan kebangsaan yang memadai tentang wilayah-wilayah di Indonesia, juga mengajak calon guru menganalisa secara cermat kondisi pendidikan di Indonesia. Jangan sampai mereka gagap ketika ditempatkan di lokasi-lokasi yang khusus seperti di wilayah 3T. Saya perhatikan sudah ada ragam insentif bagi guru di 3T, tetapi itu masih jauh dari kata memadai dibanding risiko-risiko yang membayangi mereka. Di wilayah-wilayah tersebut, para guru merupakan corong dari setiap kebijakan dan bukti dari kehadiran negara untuk memberikan janji “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sehingga pemerintah perlu memberikan perhatian ekstra bagi mereka.

Menyuarakan agar guru-guru Indonesia sejahtera adalah api yang tak boleh padam. Teknologi boleh semakin canggih, belajar bisa dilakukan di mana saja, tetapi tetap saja para guru adalah obor yang tak pernah padam dalam menerangi pendidikan Indonesia. Agar obor itu tak padam, tentu pihak-pihak yang berwenang harus menjaganya dengan telaten. Mematikan obor, sama juga dengan membiarkan gelap mewarnai pendidikan di negeri ini, maka mari kita jaga guru-guru Indonesia.