MarketNews

Menko Luhut Cabut DMO Batu Bara, Tarif Listrik Pasti Mahal

Pasca gonjang-ganjing pelarangan ekspor batu bara, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan akan mengevaluasi DMO batu bara untuk PLN.

Pengamat Ekonomi dan Energi UGM, Fahmy Radhi mempertanyakan rencana penghapusan Domestic Market Obligation (DMO) sebagai bagian dari evaluasi kebijakan batu bara untuk PLN. Di mana, Menko Luhut akan menghapus DMO dan digantikan dengan skema Badan Layanan Umum (BLU).

Dalam skema BLU ini, kata Fahmy, PLN akan membeli batu bara dengan harga pasar (keekonomian), bukan dengan harga DMO yang dipatok US$70 per metrik ton (MT). Dan, selisih harga pasar dengan DMO akan ditanggung oleh BLU tersebut. Di mana, BLU akan menarik iuran dari pengusaha yang melakukan ekspor batu bara.

Skema ini sudah diterapkan di industri sawit, Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDP-KS) adalah BLU-nya. Dan, BPDP ini memungut iuran kepada pengusaha sawit ketika melakukan ekspor. “Skema BLU sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan menimbulkan masalah baru,” papar Fahmy kepada Inilahcom, Kamis (13/1/2022).

Dia bilang, penghapusan DMO digantikan skema BLU, semakin meniadakan jaminan bahwa PLN akan mendapatkan pasokan batu bara sesuai jumlah kebutuhannya, meskipun PLN membeli sesuai harga pasar. “Berdasarkan kontrak jangka panjang, pengusaha akan mendahulukan pasokan batubara kepada pembeli di luar negeri ketimbang menjual ke PLN, yang mendasarkan pada kontrak jangka pendek,” terang Fahmy.

Selain itu, kata dia, potensi terjadi krisis batu bara di PLN semakin terbuka. Jelas ini akan berdampak kepada layanan kepada masyarakat, apalagi sebagian besar PLTU milik PLN berbahan bakar batu bara.

Selanjutnya Fahmy menyangsikan komitmen pengusaha batu bara membayar iuran ekspor kepada BLU. Sementara, kebutuhan dana BLU untuk membayar selisih harga beli batu bara PLN, cukup besar.

Misalkan, kebutuhan batu bara PLN mencapai 5,1 juta ton, maka selisih harga pasar yang dibayarkan PLN dengan harga DMO US$70 per MT, ternyata cukup gede. Diasumsikan harga pasar batu bara mencapai US$203 per MT, maka total subsidi yang harus dibayar BLU mencapai US$816 juta. Atau sekitar Rp11,6 triliun (kurs Rp14.200/US$).

Tentu saja pengusaha batu bara akan sangat keberatan untuk menyangga dana sebesar itu melalui iuran ekspor. “Dengan dana sebesar itu tentunya ada keengganan pengusaha untuk membayar iuran BLU,” tuturnya.

Masalah menjadi serius manakala iuran batu bara tak cukup mensubsidi pembelian batu bara oleh PLN, karena kengganan pengusaha itu tadi. Bisa dipastikan, harga pokok penyediaan (HPP) listrik membengkak. “Dalam kondisi tersebut, kalau tidak ingin bangkrut, PLN harus menaikan tarif listrik yang makin memberatkan rakyat. Tarif listrik menjadi mahal,” ungkapnya.

Ketimbang menggunakan skema BLU, lanjut Fahmy, justru menimbulkan masalah baru. Jadi, lebih baik tetap menggunakan skema DMO batu bara dengan melakukan perbaikan aturannya. Pertama, menetapkan jadual pasokan ke PLN per bulan, bukan pertahun, yang akan digunakan sebagai dasar penetapan sanksi bagi pengusaha yang tidak memenuhi pasokan per bulan.

Kedua, menetapkan sanksi bagi pengusaha yang tidak memenuhi pasokan dengan melarang ekspor pada bulan berikutnya. “Perbaikan aturan DMO akan mecegah kembalinya terjadi krisis batubara yang dialami PLN, maka janganlah dihapus DMO batubara.” ungkap Fahmy.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button