Kanal

Pengalaman Hidup dalam Kerangkeng [4]: Pak AKBP, Kisah Napi Si Sok Polisi

Bung Fajri kena cokok pada saat tengah berperan sebagai polisi. Tentu ia tak akan memilih pangkat ‘Briptu’, atau ‘Barada’. Tapi mengaku jenderal polisi pun tampaknya nggak sanggup. Can kaawakan, kata orang Sunda. Akhirnya ia pilih pangkat yang paling mungkin dari sisi usia maupun gengsi. AKBP. Tapi di penjara, AKBP itu artinya khas “Aku Kira Bapak Polisi”.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Jika kita cermat memperhatikan pepohonan berkambium, misalnya pohon jambu air, jambu batu, manga atau apapun tumbuhan berakar tunggang, kita akan melihat bahwa benalu adalah tumbuhan yang bisa hidup di mana pun. Dan untuk awal-awal pertumbuhannya, benalu boleh dibilang melakukan upaya sangat keras untuk survive.

Awal kehidupannya selalu mengikuti pola yang sama. Seekor burung mematuk biji benalu yang memang manis mengandung gula (sebagai anak kampung, waktu kecil saya sering mengulum biji benalu matang). Saat akan menelan biji yang penuh lendir pekat berperekat itu, si burung kesulitan. Paruhnya ia goyangkan untuk melepaskan biji yang menempel, yang justru kemungkinan membuat biji itu terpelanting, menempel ke ranting atau dahan lain. Entah di pohon yang sama atau pohon berkambium lain di sebelahnya.

Menempellah biji itu dengan erat, menunggu tetesan air yang akan menumbuhkan akar, yang dengan sekuat tenaga akan ia benamkan menembus ranting atau dahan. Setelah akar itu menembus kambium tanaman inang, masa depan si benalu terjamin hanya dengan menghisap sari-sari makanan yang seharusnya untuk kebutuhan pohon inang. Ia pencuri yang menempel di jaringan inang, laiknya koruptor di sebuah lembaga birokrasi yang menghisap dana rakyat. Mungkin saja bahkan dana bantuan sosial.

Benalu juga hidup di sel-sel penjara yang cenderung meniscayakan hidup yang guyub. Bagaimana tidak harus guyub, bila nyaris  dua pertiga kehidupan penghuninya berada dalam petak 2,5 kali 5 meter yang diisi paling tidak delapan orang? Tidak mungkin, misalnya, seseorang membuka sebungkus indomie dan memasaknya tanpa setidaknya berbasa-basi dengan penghuni lainnya.

Namun karena benalu memang tumbuhan anomali yang tak lazim, benalu sel pun bukan jenis orang yang punya rasa malu. Para benalu sel umumnya napi-napi bermuka tembok.

Dari sepuluh orang penghuni sel kami yang lebih luas dibanding sel lain, setidaknya tiga di antaranya tergolong benalu sel itu. Itu menurut pengamatan saya. Rekan saya, Setiyardi, mungkin akan menghitung lebih.

Di dalam kehidupan sel, mereka akan bergaya hidup laiknya napi kere. Di selnya, tentu. Bergaya hidup, karena bisa saja sebenarnya mereka cukup berduit. Itu membuat mereka tidak akan makan nasi cadong jatah para napi. Nggak level buat mereka. Tapi tak akan pula pernah makan di sel apa pun yang mereka beli di warung. Mereka datang ke kantin, ke warung, dan akan selalu makan di sana. Dibawa ke sel hanya memberi peluang bagi napi sejenis mereka untuk nimbrung meminta.

Saya ingin mencontohkan seorang saja. Sebut saja namanya Farji. Kantongnya nyaris mustahil kosong, karena dia tergolong napi ‘pengusaha’. Ia merekrut beberapa napi—istilah saat ini WBP, Warga Binaan Pemasyarakatan—yang telah mengikuti beberapa kursus keterampilan di seksi Bimbingan Kerja (Bimker). Yang ia rekrut adalah para WBP yang bisa menjahit, untuk ia pekerjakan sebagai penjahit produk-produk konveksinya.

Tiap pekan Farji harus punya uang untuk menggaji karyawannya. Tentu tidak sejumlah besaran UMR para pekerja di Jakarta. Tetapi untuk 40-an orang dikali enam hari kerja dikali besaran kesepakatan, maka total upah yang harus ia bayarkan pasti lumayan. Alhasil, ia harus dan pasti punya duit. Karena kalau tidak, proses produksi mustahil bisa berjalan lancar. Hanya sedikit–sangat sedikit–WBP yang bisa sabar bekerja tanpa upah.

Namun jangan harap Farji mau merogoh sakunya untuk menutup berbagai kebutuhan hidup umum di dalam selnya. Sel kami. Untuk air minum, paling tidak. Sebab, meskipun saya selalu menggantungkan keperluan minum pada sebotol dua air mineral ukuran besar, toh untuk konsumsi bersama dalam sel, stok air minum bersama tetap harus disediakan.

Untuk menghemat pengeluaran, hampir setiap hari kami memasak sendiri nasi dengan satu atau dua jenis lauk. Artinya ada keperluan untuk beras, air bersih dan bahan lauk pauk.

Untuk urusan itu, rasanya selama saya di sana, Bung Farji tak pernah tergerak urunan. Sudahlah kalau penghuni lain, karena memang penuh keterbatasan. Tapi untuk dirinya yang cukup punya ‘penghasilan’, ya mbok saling bantulah!

Belum lagi air gentong untuk keperluan mandi, buang air dan sebagainya. Air itu tidak berbondong-bondong datang sendiri, berember-ember naik tangga menuju sel kami di lantai 2, tentu. Bung Farji tentu ikut memakainya, paling tidak untuk cebok atau cuci tangan saat ia berada dalam sel!

Manakala pengurus mushala blok datang ke kamar pada setiap malam Jumat untuk menarik urunan Yasinan dan Barzanzi, biasanya Bung Farji cukup menolak dengan permintaan maaf.

Tetapi itu tak berarti Bung Farji akan menolak bergabung saat nasi sudah panas mengepul, ikan sudah garing digoreng, sambal tersedia di ulekannya, tinggal dicoel lalaban yang pasti ia tak tahu datang dari mana.

Waktunya makan, Bung Farji tak rikuh tetap berada di dalam sel. Kami yang rikuh,  hingga selalu mengajaknya makan bersama. Hanya sesekali saja tawaran itu tidak disambutnya dengan antusias!

**

Jarang kita di penjara tak mengenal orang. Mau atau pun tidak, seseorang akan datang berbisik, bercerita tentang penghuni lain dan bagaimana orang itu bergabung menjadi bagian dari komunitas kecil terpilih ini. Memakai istilah Toynbee, kami memang ‘the selected few’ “tea” (tea dalam Basa Sunda, bukan teh). Bayangkan, dari sekian juta warga Jakarta saja, kami hanya sepersekian persennya. Saya selalu mengatakan ke dalam diri, menjadi Napi itu hanya dan hanya terjadi bila Allah memilih.

Untuk apa? Mungkin untuk membuat kita sadar dan bertobat, bila memang salah. Mungkin untuk menguji kita agar kita lebih dekat pada-Nya, kalau memang kita tak bersalah. Mungkin untuk menjadikan kita penjahat yang lebih hebat dan professional,  seiring bertemunya kita dengan aneka penjahat berbagai jenis dan maqom. Bukankah setiap pekerjaan apa pun harus dilakoni dengan serius agar sukses? Dan itu meniscayakan belajar dari ‘daluang’ (kertas, sekolah) atau ‘luang’ (pelatihan, obrolan, bincang-bincang, dst).  Percayalah, menjadi penjahat medioker itu rugi serugi-ruginya.

Saya sendiri? Lama-lama saya meyakini, saya masuk penjara karena Allah ingin saya bisa membaca Alquran. Atau mungkin lebih tepat, agar paling tidak sekali saja dalam seumur hidup saya bisa menamatkan bacaan Alquran.

Nah, tanpa harus mencari-cari pun saya kemudian tahu latar belakang Bung Farji. Saya juga tahu akhirnya, mengapa kadang Bung Farji dipanggil orang dengan sebutan “AKBP”. Info bisa datang hanya karena, misalnya, seseorang ingin mengisap sebatang rokok dan setengah mampus ia tak bisa membeli sebatang pun untuk menghilangkan keasaman mulutnya. Dari orang itu kita bisa tahu detil latar belakang seorang napi.

Tanpa harus kita minta. Lagian, pengisi waktu apa yang paling jitu di penjara, selain kumpul-kumpul ngerumpi laiknya—konon—ibu-ibu, senyampang menunggu kepulangan suami?

Awalnya, saya pikir panggilan AKBP itu datang karena Bung Farji dulu seorang polisi. Ada banyak (mantan) personel militer selama saya di Cipinang. Ada seorang kolonel angkatan udara, yang doktor pula. Dosen di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Dari penuturannya saya tak melihat kesalahan apa pun, kecuali ia seorang yang kukuh pada prinsip yang ia pandang benar. Ia bentrok dengan atasannya, sesama tentara. “Nyaris adu fisik,” katanya saat bercerita.

Ada pula seorang perwira pertama TNI AL. Ada mantan jaksa, beberapa. Bila sang kolonel TNI AU didaulat sebagai imam mushala blok sebelah, sang perwira pertama TNI AL itu adalah penghuni mushala yang tak pernah absen shalat jamaah. Dengan mereka berdua saya bersahabat. Hingga saat ini. Apalagi kami semua sudah berada di luar jeruji, menikmati kebebasan yang tentu harganya tak terperi.

Ternyata salah. Bung Farji bukan seorang (mantan) polisi.

Lalu saya terpikir, mungkin karena gaya rambut. Bung Farji memang selalu memilih gaya rambut bak militer, polisi, taruna, atau profesi yang mengarah pada manusia berseragam. Tapi terlalu banyak napi di Cipinang yang memilih gaya rambut begitu. Praktis memang. Nggak perlu sering-sering keramas. Jadi mengapa harus dia yang dapat panggilan khusus ‘AKBP’? Artinya, tentu sebabnya bukan itu.

Dari pembisik yang bisa menceritakan apa saja—asal bisa ngudud dan ngopi gratis, itu saya tahu raison d’etre panggilan AKBP Bung Fajri.

Ternyata beliau masuk karena urusan yang tak jauh-jauh dari pasal 372-374. Sebagaimana pasal 378, orang yang masuk dengan pasal-pasal itu memang mendapatkan perhatian tersendiri di Lapas. Dari sesama napi maupun dari sipir. Perlu dua bab tersendiri untuk mengulas urusan ini. Lain kali, barangkali.

Bung Fajri kena cokok pada saat tengah berperan sebagai polisi. Tentu ia tak akan memilih pangkat ‘Briptu’ atau brigadir polisi satu. Tapi mengaku jenderal polisi pun tampaknya nggak sanggup. Can kaawakan, kata orang Sunda.

Akhirnya ia pilih pangkat yang paling mungkin. Baik dari sisi usia maupun gengsi. AKBP alias Ajun Komisaris Besar Polisi itulah yang ia pilih. Di zaman jeprut sebelum 2001, pangkat ini disebut Letnan Kolonel Polisi. Gagah kan? Memang pilihan bagus karena cukup “kaawakan”.

Persoalannya, di kalangan kami para napi, arti AKBP untuknya itu bukan singkatan sejati dan seharusnya. AKBP yang diberikan itu dalam pengistilahan napi tak lain dari “Aku Kira Bapak Polisi”. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button