News

Menteri Nyapres Tetap Boleh Menjabat, Pengamat: Keputusan MK Tepat Tapi Kurang Etis

Kamis, 03 Nov 2022 – 09:59 WIB

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat pengecualian baru, memperbolehkan menteri tetap menjabat meski ingin maju menjadi capres dan cawapres. Ada yang menilai, keputusan ini tepat secara konstitusi tapi tidak etis.

Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan menteri yang tidak diharuskan mundur dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai capres dan cawapres, sebagai keputusan yang cukup tepat.

Soal moral, sambung dia, tentu kembali lagi kepada menteri dan presiden. “Putusan itu menegaskan bahwa urusan menteri itu (adalah hak) prerogative presiden, (hak tunggal/istimewa) yang tidak boleh dicampuri. Secara teoritik memang bgitu,” jelasnya kepada inilah.com saat dihubungi pada Rabu (2/11/2022).

Dia mengingatkan, jika presiden merasa menterinya harus fokus pada pekerjaannya sebagai menteri, tentu harus segera diberhentikan. Dan terkait mundur, secara etis tentu menteri harus mundur walau sudah mendapat izin dari presiden.

“Pada pokoknya presiden jika merasa harus fokus (pada pekerjaan sebagai menteri) ya berhentikan. Tapi jika pun presiden memberikan izin, secara etis menteri harus mundur agar bisa fokus berkampanye,” pungkasnya.

Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai putusan ini berpotensi mengganggu kinerja dan bisa menjadi ajang memanfaatkan jabatannya sebagai menteri untuk bertarung di Pilpres 2024.

Dia menjelaskan, menteri yang menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden akan disibukkan dengan banyak agenda kampanye. Pada akhirnya, turut mengganggu birokrasi internal kementerian yang dipimpin menteri tersebut.

“Mereka justru bisa berkampanye, bisa kesana-sini, justru bisa mengganggu kinerja mereka sebagai menteri itu. Tidak fokus lagi, tidak bekerja lagi untuk kementerian atau kepentingan bangsa dan negara, tapi untuk kepentingan soal pencapresan atau pencawapresan,” ujar dia.

Senada, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menyebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang menegaskan anggota kabinet maju pilpres cukup mengajukan cuti, tak perlu mundur, bakal memicu abuse of power atau penyalahgunaan wewenang.

“Sekarang begini ketika seseorang diberikan kewenangan, kekuasaan, kewenangan anggaran, ini bisa berpotensi abuse of power. Jadi saya kira keputusan MK ini keputusan yang blunder kalau menurut saya,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button