Kanal

Menteri Sandiaga, Kaum Digital Nomad dan Lubang Gentrifikasi

Bagi warga negara sebuah negeri yang sudah lama begitu birokratis, namun seringkali menjelaskan ketidakbecusan, main-mainnya birokrasi dengan sesuatu yang ringkih, tentu sangat riskan. Sementara, sebagaimana cerita Franz Kafka dalam novelnya “The Castle” di awal abad lalu, publik telah melihat birokrasi ibarat “kastil tua yang terus berlagak sok berwibawa, meski plesternya di sana-sini mengelupas, dengan tiang dan tembok yang mulai goyah…”

Rasa bangga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, tentang keberhasilan kementeriannya mendatangkan 3.017 kaum ‘digital nomad’ (pengembara digital) bervisa khusus B-211, di sisi lain layak mendatangkan kekuatiran tersendiri. Sementara kemungkinannya menangguk cuan masih harus dipertanyakan, kebijakan tersebut mulai mendapatkan penentangan, paling tidak, kritik dari publik.

Jurnalis senior, Farid Gaban, dalam laman media sosialnya mengkhawatirkan hal itu akan menyebabkan terjadinya gentrifikasi, istilah keren untuk kondisi yang buruk dan bikin nelangsa. Binatang apa itu?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) punya pengertian yang dingin dan steril dari kata itu. KBBI mengartikan gentrifikasi sebagai migrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yang buruk keadaannya atau baru saja diperbaiki dan dipermodern. Namun, semakin Anda banyak mencari dan menggali dari semua sisi literasi, Anda akan menemukan pengertian tersendiri yang sederhana atas kata ini.  Farid, misalnya, merasa lebih pas mengartikannya sebagai peminggiran warga local secara ekonomi, sosial dan budaya, akibat banjirnya pendatang.

Farid tampaknya merasa ganjil dengan apa yang terkesan dibangga-banggakan Menteri Sandi itu. Ia mengingatkan publik dengan kejadian awal tahun lalu. Pada Januari 2021, seorang warga Amerika Serikat, Kristen Gray, bikin heboh di Twitter. Dia mengajak orang asing hidup dan bekerja di Bali.

Gray bahkan menulis dan menjual buku elektronik, “Our Bali Life is Yours”, berisi kiat dan celah bagi orang asing untuk bisa bekerja di Bali dengan biaya hidup murah dan tanpa pajak. Harganya lumayan, sekitar Rp 400 ribuan. Saat itu, ajakan Gray tersebut dinilai, antara lain, akan memicu gentrifikasi.

Gray segera dikecam banyak pihak, dan pemerintah Indonesia kemudian mengusirnya keluar. Berdasarkan pemeriksaan Imigrasi Bali saat itu, Gray telah menjual sekitar 50 e-book. Selain menjual buku, ia juga menawarkan konsultasi cara masuk ke Indonesia selama pandemi Covid-19. Tarif konsultasi itu 50 dolar AS atau sekitar Rp Rp 700 ribu per 45 menit.

Itu yang membikin berang Imigrasi. “Itu artinya ia berbisnis, bikin dan jual e-book 30 dolar, lalu ada juga konsultasi berbayar,” kata pihak Kantor Imigrasi Denpasar.

Jadi, cara yang ditempuh Kemenparekraf  saat ini wajar membuat heran. “Kini, Pemerintah Jokowi tak hanya melegalkannya, tapi juga aktif mempromosikannya. Pemerintah juga sudah mulai menerbitkan visa baru, agar orang asing bisa bekerja di Indonesia selama lima tahun tanpa bayar pajak,” tulis Farid di sebuah grup WA, forum tempat berbagai kalangan menggelar diskusi dari urusan agama, sosial-ekonomi, politik, hingga urusan bola. Yang dimaksud Farid tentu saja Visa B-211 itu.

Sebagai awam, kita bisa berharap semoga diskusi soal membuka pintu lebar-lebar dengan meminimalkan persyaratan itu bisa berkembang. Meski mungkin akan riuh dan hiruk pikuk, beberapa kepala yang beradu hujjah, membenturkan tesis dan antithesis, biasanya jauh lebih mungkin menghasilkan sintesis yang brilian. Memangnya masih ada pendaulatan “Tuan Tahu Segala” di dunia yang kini kian terbuka?

Jangan-jangan, membuka lebar-lebar pintu kita zonder bayar fiscal, dengan harapan akan banyak warga negara lain masuk, menginap dan berbelanja, hanyalajh impian manis semata? Kita bisa mempertanyakan berapa keuntungan yang kita dapat di masa-masa negara ini membebaskan kewajiban visa—dan bayar fiskalnya—kepada sekian ratus negara. Bandingkan pula peluang pendapatan fiscal yang hilang karena itu.

Kasusnya bisa jadi sama dengan tradisi memberikan tax holiday untuk mengundang investor, yang ternyata hanya gagah di kertas kajian. Saat masih menjadi seorang ekonom independen, Anggito Abimanyu mengatakan tidak ada sejarah yang menyatakan tax holiday akan memancing investasi.  “Saya sejak awal tidak setuju (tax holiday). Pertama tidak ada bukti history dan literatur bahwa ini bisa menarik investasi, karena faktor investasi itu bukan pajak,” kata Anggito saat itu.

Alih-alih positif, Anggito malah yakin kebijakan sok nggak butuh pajak dari investasi  asing itu akan menimbulkan kecemburuan bagi pengusaha yang telah lama membayar pajak. “Itu menimbulkan kecemburuan bagi mereka pembayar pajak lama. Sementara yang baru dapat insentif. Ini jadi moral hazard,”kata Anggito.

Sebagaimana segala hal, gentrifikasi sendiri tak bisa dibuat rigid sebagai selamanya jelek. Tetapi, tampaknya bagi warga negara sebuah negeri yang sudah lama begitu birokratis, namun seringkali menjelaskan ketidakbecusan, main-mainnya birokrasi dengan sesuatu yang ringkih, tentu sangat riskan. Sementara, sebagaimana cerita Franz Kafka dalam novelnya “The Castle” di awal abad lalu, publik telah melihat birokrasi ibarat “kastil tua yang terus berlagak sok berwibawa, meski plesternya di sana-sini mengelupas, dengan tiang dan tembok yang mulai goyah…”    [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button