Hangout

Menyibak Tabir Perubahan Gempita dalam Budaya Baca Indonesia

Indonesia, negeri yang memiliki sejarah panjang dan kaya budaya, tengah menghadapi tantangan besar dalam dunia literasi. Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Arys Hilman Nugraha menguraikan tentang pergeseran paradigma dalam dunia literasi di Indonesia dari buku cetak ke buku digital.

Dalam perjalanan menuju era digital, penerbit buku di Indonesia dituntut untuk beradaptasi dan memanfaatkan teknologi dalam setiap aspek penerbitan buku. “Dari hulu sampai hilir proses penerbitan buku, ada aspek digitalnya,” ungkap Arys saat dihubungi inilah.com, Kamis (25/5/2023).

Hal ini menurut Arys turut mencakup proses akuisisi naskah, pembuatan desain sampul, hingga pemasaran dan distribusi buku. Akses terhadap dunia digital membuka peluang baru bagi penerbit. Sekarang, mereka tidak hanya mendapatkan naskah dari yang dikirimkan ke redaksi, tetapi juga naskah yang tersedia terbuka di dunia daring. “Bagi para penulisnya, karya mereka belum lengkap kalau belum dibukukan secara cetak. Masterpiece dari para penulis sampai kini tetap adalah buku cetak,” lanjutnya.

Arys juga menyinggung tentang peningkatan keterlibatan pembaca dalam proses penerbitan. “Ketika kita membuat cover buku, kita meminta pendapat calon pembaca dari dunia digital sehingga feedback-nya langsung. Sebelum buku jadi, kita sudah bisa memilih cover buku yang mana,” ungkapnya. Ini menunjukkan bagaimana peran pembaca semakin signifikan dalam proses kreatif penerbitan buku.

Tak hanya itu, pemasaran buku juga banyak dilakukan di dunia digital. “Pemasaran yang kita lakukan banyak sekali di dunia digital dan ternyata ini menimbulkan peluang-peluang baru,” ujarnya. Menjual buku melalui platform media sosial seperti TikTok dan Instagram telah menjadi tren baru dan cukup berhasil.

Transformasi digital ini bukan hanya membawa peluang, tetapi juga tantangan. Seiring dengan penjualan buku secara online, proses distribusi buku juga menjadi tantangan baru. Namun, Arys menegaskan bahwa perkembangan ini membawa lebih banyak manfaat, “Buku bisa juga sekarang dijual secara langsung oleh penerbitnya kepada para pembaca melalui toko-toko online mereka, webstore mereka. Proses pengiriman pun sekarang bisa terpantau secara digital.”

Melansir data dari laman explodingtopics.com, rata-rata orang di dunia menghabiskan waktu 6 jam 58 menit per hari pada layar yang terhubung internet. Secara khusus, penduduk Indonesia rata-rata per hari menghabiskan waktu 8 jam 37 menit dengan alokasi 1 jam 19 menit untuk menonton video gim dan 3 jam 17 menit untuk bermedia sosial. Jika dibandingkan dari sisi pendidikan melalui data PISA, kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia sendiri masih berada di bawah rata-rata dunia.

11122019 Indonesia Pisa Score - inilah.com
Indonesia Pisa Score (Asean Post)

Sementara Perpustakaan Nasional RI mencatat, tingkat kegemaran membaca masyarakat sebesar 63,90 persen pada 2022. Jika dihitung secara harian, masyarakat menghabiskan waktu 1 jam 37 menit atau lima bahan bacaan per tiga bulan.

Sedikitnya waktu yang diluangkan masyarakat untuk membaca buku, menurut Arys, terjadi sekitar tahun 2016 dan 2017. Saat itu, mulai banyak konten video dan audio bertebaran di internet. Hal ini dinilai cukup mengganggu minat baca, pemasaran, dan penjualan buku di Indonesia.

Hal ini pun berdampak sehingga Direksi Toko Buku Gunung Agung dalam keterangan bersama secara tertulis pada Sabtu (20/5), menyebutkan, tahun 2020 telah menutup sejumlah gerai yang tersebar di Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta. Menurut rencana, toko buku yang berdiri pada 1953 itu akan menutup gerai yang tersisa akhir tahun 2023.

Dengan segala tantangan dan peluang yang ada, Arys optimis bahwa dunia literasi Indonesia bisa terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. “Bagaimanapun juga, kita tidak kekurangan buku berkualitas. Bagaimanapun juga, kita tidak kekurangan buku menarik. Yang kurang adalah orang yang mau membaca,” tutupnya.

Masa depan literasi di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita menerima dan memanfaatkan teknologi dalam membudayakan literasi. Transisi dari buku cetak ke buku digital bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari era baru dalam budaya baca di Indonesia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button