Market

Merawat Keragaman, Lakpesdam PWNU DKI Jakarta Gelar FGD soal Radikalisasi dan Ekstremisme Beragama

Sifat dasar dari kemajemukan alias keragaman adalah adanya potensi integratif sekaligus disintegratif. Untuk merawatnya, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarata (Lakpesdam PWNU DKI Jakarta) menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pencegahan Radikalisasi dan Ekstremisme Beragama di Provinsi DKI Jakarta.

Kegiatan ini berlangsung di Balai Yos Sudarso, Kompleks Walikota Jakarta Utara, Minggu (2/10/2022). “Kajian tentang pengenalan keragaman budaya dan agama atau religious diversity sangat menarik dilihat dari peluangnya sebagai upaya untuk mengikis paham, sikap, dan tindakan radikal, baik yang disebabkan oleh perbedaan agama maupun aspek kebudayaan lainnya,” kata Ketua Lakpesdam PWNU DKI Jakarta, Khalilurrahman.

FGD dihadiri Walikota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim dan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Adib. Acara dipandu oleh moderator, Sekretaris Lakpesdam DKI Jakarta Robi Nurhadi.

Adapun para narasumber, Ketua Lakpesdam PWNU DKI Jakarta, Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Kemenag Akmal Salim Ruhana, Abi Ichwanuddin dari MUI DKI Jakarta, dan Sekjen Ikatan Sarjana NU M Kholid Syaerazi.

Menurut Kiai Khalil yang juga didapuk menjadi salah narasumber, kegiatan ini dilatari oleh perkembangan media baru di era revolusi digital yang berimbas pada transformasi diskursus sosial keagamaan. “Ini terutama kaitannya dengan penyebaran paham keagamaan di media sosial,” ujarnya.

Tumbuhnya media baru ini, sambung dia, juga memicu lahirnya otoritas keagamaan baru yang kemudian menggeser otoritas keagamaan tradisional yang biasanya melembaga di berbagai majelis ta’lim, madrasah, maupun pondok pesantren.

“Media sosial tidak hanya mengubah proses produksi dan konsumsi informasi mengenai agama, tetapi juga pola persebaran paham keagamaan,” ungkap Kiai Khalil.

Kondisi tersebut, lanjutnya, memicu sejumlah konflik di Indonesia, demikian pula di beberapa negara lain. “Intinya, kasus-kasus itu menunjukkan bahwa keragaman agama dan keragaman etnik terutama yang terekam dalam linimasa media sosial memiliki potensi disintegratif dan sering kali muncul dalam bentuk tindakan radikal,” ucapnya.

Lebih jauh ia membeberkan, konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, tentu dipengaruhi oleh banyak aspek. “Tetapi, semuanya muncul dalam bentuk aksi-aksi dan tindakan radikal, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau perubahan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem dan bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,” timpal Kiai Khalil.

Sementara Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Kemenag Akmal Salim Ruhana mengatakan, untuk membendung ekstremisme, pemerintah telah mengeluarkan ragam kebijakan. Salah satunya, pembentukan per-UU-an sebagaimana tercermin dalam pemberlakuan UU No. 5/2018 (terorisme), UU No. 16/2017 (Ormas), UU No. 19/2016 (ITE), dan sebagainya, termasuk Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.

Selain itu, pembubaran, pembekuan, atau pencabutan izin ormas radikal, seperti terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Selanjutnya, pembentukan lembaga khusus, seperti BNPT, FKPT, dan lain sebagainya termasuk penguatan Pancasila melalui badan BPIP. Kemudian, pemblokiran situs dan media sosial bermuatan radikal, serta pemutusan aliran dana terindikasi terorisme melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Begitu juga dengan pengarusutamaan moderasi beragama sebagai upaya pencegahan radikalisasi dan ekstremisme dalam beragama. Menurutnya, moderasi beragama bukan antitesa-diametral bagi radikalisme atau terorisme. “Karena, kalau sudah tindakan teror atau ekstrem , sudah urusan BNPT atau Densus 88,” ucapnya.

Akmal menegaskan, moderasi Beragama berupaya menjaga dan menyelamatkan bagian besar umat. “Ibaratnya, moderasi beragama bukan menangkapi hama werengnya, tetapi memupuk kebun yang luas,” ucapnya.

Hasil riset MERIT Indonesia pada 2020 menunjukkan lima model pemahaman beragama yang bergaung melalui media baru, yakni paham keagamaan liberal, moderat, konservatif, islamis, dan radikal (ekstrimis). Temuan utama penelitian ini adalah adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial.

Hal ini terlihat dari pemahaman konservatif yang paling banyak menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase 67,2%, disusul dengan moderat sebesar 22,2%, liberal (6,1%) dan Islamis (4,5%).

Merujuk riset Burhanuddin (2016) dan Hafid (2020), terdapat empat ciri yang bisa dikenal sebagai sikap dan paham radikal, yaitu intoleran, fanatik, eksklusif dan evolusioner.

Data Setara Institute menunjukkan bahwa sejak 2012-2019 terjadi 41 tindakan intoleran terhadap pelajar. Paling banyak terjadi pada 2019, yakni 17 kasus. kebanyakan kasus intoleransi. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk anak-anak mengenyam pendidikan dengan aman dan nyaman, ternyata tidak luput dari intoleransi.

Kasus-kasus konflik antar etnik dan antar kelompok agama saat ini mengarah menjadi ancaman disintegrasi bangsa di tengah-tengah upaya menciptakan kerukunan antar kelompok agama dan antar kelompok etnik demi keutuhan NKRI.

Sejumlah studi juga menunjukkan, kemajemukan budaya merupakan aset dan kekayaan yang sangat berharga bagi suatu bangsa. Sebab, di sana ada peluang untuk bekerja sama antar beragam potensi dalam proses pembangunan bangsa dan terciptanya harmoni sosial (Kerkyasharian, 2008). Pada saat yang sama, itu juga bisa menjadi ancaman disintegrasi (Abdullah, 2014), jika potensi-potensi tersebut tidak dikelola dengan baik bahkan diabaikan.

Keragaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun apadaya, perselisihan antar kelompok (konflik sosial) di tengah masyarakat Indonesia masih sering terjadi. Sentimen etnisisme masih ada pada kelompok-kelompok budaya di Indonesia, dan itu merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI.

Jika kasus-kasus tersebut diabaikan, mereka bisa mengarah kepada disintegrasi bangsa (Tilaar, 2004). Ini tentu tidak tergantung oleh semua pihak yang berkomitmen untuk menjaga keutuhan NKRI dan menciptakan perdamaian dunia.

“Oleh karena itu, harus dimunculkan alternatif-alternatif pemecahannya atas masalah radikalisasi dan ektremisme melalui berbagai upaya dari semua pihak, salah satunya melalui FGD ini,” tutur Kiai Khalil.

Sebab, kemajemukan budaya adalah realitas bangsa Indonesia yang harus disikapi secara bijak. “Kajian tentang radikalisasi dan ekstremisme beragama ini merupakan salah satu upaya untuk menganalisis dua di antara sejumlah isu yang berkaitan dengan multikulturalisme dan etnisitas serta komunitas dengan radikalisme,” paparnya.

Pada akhirnya, kegiatan FGD ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya memobilisasi SDM terdidik (educated human resources) dalam meningkatkan potensi integratif dan mereduksi potensi radikalisme pada kelompok-kelompok etnik dan kelompok agama di Indonesia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button